"Dimana ini? Kenapa rasanya nyaman sekali?" Alina bergumam dalam tidurnya. Aroma wewangian yang tercium dari ruangan tersebut membuat ia enggan membuka mata meski ia telah tersadar.
"Panggilkan dokter Wina sekarang."
Telinga Alina bergetar. Sensor motorik pada telinganya seperti menangkap sebuah suara.
"Segera jemput dia dan katakan ini sangat penting."
"Lagi?" Samar-samar terdengar suara seorang pria membelai telinganya. Ia seperti mendengar suara yang asing tetapi sedikit familiar.
"Kabari saya jika dokter Wina sudah datang."
"Seorang pria?" Mata Alina terbuka seketika. Nyatanya suara pria tersebut sangat mengganggunya. Jelas ini bukan mimpi. Matanya semakin membola tatkala melihat seorang anak kecil duduk di sampingnya seraya memegang tangannya.
"Mommy," seru anak tersebut tersenyum lebar.
"Eh!" Alina melonjak kaget. Tangannya yang dipegang anak tersebut segera ia tarik.
"Mommy sudah bangun?" tanya anak itu lagi.
"Ka-kamu kenapa ada di sini?" tanya Alina. Ingatan tentang anak tersebut membuat ia bertanya seketika. Anak tersebut adalah pria yang ia selamatkan beberapa hari yang lalu.
"Welcome home, Mommy," sambut Aaron melompat dalam pelukan Alina. "Aaron kira Mommy akan sakit lagi, tapi Daddy bilang Mommy hanya tertidur sebentar. Jadi, Aaron duduk di sini menunggu Mommy bangun," cerita Aaron.
'Apa-apaan ini? Kenapa aku berada di sini," batin Alina. Ia mengedarkan pandangannya menelusuri setiap ruangan. Jam weker yang berada di atas nakas menunjuk pukul 11 lewat.
Ah, rupanya hari belum berganti. Alina tidak pingsan begitu lama. Itu artinya ia belum baru sampai di rumah tersebut.
"Tapi ini dimana?"
Tidak ada orang selain dirinya dan Aaron di sana. Kamar luas tempat ia berbaring tersebut terlihat mewah dengan furnitur yang tampak mahal.
Bagaimana mungkin ia berada di tempat seperti itu? Apa mungkin ia diselamatkan oleh seorang pria kaya yang tidak ia kenal.
Alina yakin tidak berada di tempat Digo. Dilihat dari betapa berkelasnya hunian tersebut. Walau Digo anak seorang pemilik restoran. Tetapi mereka tidak tidak mungkin bisa memiliki rumah sebesar itu.
Jelas sekali Alina berada di tempat yang belum pernah ia datangi. Terlebih dengan keberadaan anak kecil yang masih membingungkan Alina.
"Ahh." Alina mendesah, kesal. Kepalanya masih terasa berat setelah kejadian yang menimpanya barusan. Kepalanya masih sakit akibat benturan keras pada besi di halte bus.
"Apa Mommy masih sakit? Daddy bilang Mommy sakit dan harus istirahat tapi Aaron bersembunyi di belakang Bi Lastri dan masuk ke sini," cerita Aaron terlihat bersemangat.
Alina tersenyum singkat. Meski ia masih merasa kesakitan, tetapi cerita Aaron sedikit membuat kelegaan di hatinya.
"Sakit sekali," keluh Alina masih memegangi kepala bagian belakangnya. Benturan yang ia rasakan tadi sangat keras. Jika ia bisa bertahan setelah terbentur, itu bukan karena benturan itu cukup pelan. Tetapi karena ia mencoba menjaga kesadarannya agar Digo tidak melakukan hal buruk padanya.
"Lalu ini dimana?" Alina bergumam. Ia masih belum mendapat informasi tentang keberadaannya. Meski keberadaan Aaron sedikit memberinya petunjuk.
Kemungkinan besar ia sedang berada di rumah pria yang menyelamatkannya tadi. Jika seperti itu, maka Alina bertemu dengan pria yang mengenalinya dengan nama lain. Apakah ini takdir? Atau hanya sebuah kebetulan? Alina tidak bisa memprediksinya.
"Mommy sudah sembuh?" tanya Aaron memandang Alina yang masih hanyut dalam pikirannya.
"Ah. Iya. Saya tidak apa-apa. Tapi ini dimana? Kenapa saya dibawa kemari?" Alina mulai bermonolog tanpa memandang Aaron yang tidak berhenti memandangnya.
"Ini di rumah, Mommy. Ini kamar Mommy dan Daddy."
"Hah?" Alina tersentak mendengarnya. Kedua alisnya tertaut oleh kerutan. "Ka-kamar Mommy dan Daddy?"
"Iya. Lihat." Aaron mendongak lalu menunjuk sebuah foto berukuran besar di atas kepala Alina. Ia mengikuti pandangan Aaron dan benar, potret dirinya sedang berdiri dengan seorang pria menggunakan balutan gaun pernikahan terpampang nyata di atas kepalanya.
"Arham Fauzan?" Suara Alina meninggi ketika mendikte nama Arham. Yang lebih mengagetkan dirinya adalah wanita yang berada di samping Arham terlihat sangat mirip dengan dirinya.
Apa ini masuk akal?
Ia mengucek mata dengan kedua tangannya. Sekali dua kali untuk memastikan penglihatannya. Namun, ia tidak salah lihat. Memang wajahnya yang ada di sana. Dan anehnya, Alina yakin tidak pernah melakukan foto seperti itu. Apalagi dengan Arham. Pria yang bahkan baru ia temui dua kali.
"Argh." Alina memegang kepalanya. "Pasti tadi kepalaku terbentur sangat keras sampai penglihatanku memburuk seperti ini. Ah, sial. Ups." Alina mengatupkan bibirnya.
Tidak seharusnya ia mengatakan hal buruk seperti itu di depan anak kecil. Terlebih ketika anak itu sedang menatapnya dengan puppy eyes yang sangat menggemaskan.
Alina benar-benar kebingungan dengan apa yang sedang terjadi. Bagaimana mungkin dalam satu malam ia menjadi istri dari seorang konglomerat dan ibu dari seorang anak berusia lima tahun.
"Aku pasti sedang bermimpi."
"Mommy." Aaron kembali menarik tangan Alina.
"Ya?" jawab Alina, cepat tanpa sadar. Ia kembali mendesah pelan seraya menggaruk kepalanya. "Kenapa anak kecil?"
Aaron menggeleng dengan pipi menggembung. "Aaron bukan anak kecil, Mommy. Aaron anak Mommy."
"Aaron? Iya. Nama kamu Aaron? Daddy kamu dimana? Saya harus pergi dari sini sekarang."
Aaron kembali mengangguk."Mommy jangan pergi. Aaron masih ingin bersama Mommy." Aaron beralih memeluk pinggang Alina. "Aaron akan tidur di sini bersama Mommy dan Daddy."
Alina lagi-lagi hanya bisa tersenyum kecil yang dipaksakan. Matanya tidak lepas dari pintu di hadapannya. Ia begitu penasaran dengan suara pria yang ia dengar tadi.
Mungkinkah itu benar-benar Arham? Apa Arham menyelamatkannya?
Seharusnya Alina tidak pingsan tadi. Jadi ia tidak harus dibawa ke rumah Arham dan memuatnya bertemu dengan Aaron. Jika sudah seperti ini, ia tidak bisa berbuat apa-apa selain mengikuti keinginan Aaron atau Aaron akan sedih.
Alina sangat tidak bisa membuat seseorang bersedih karena dirinya. Apalagi jika itu seorang anak kecil yang begitu menyukainya.
"Tapi kenapa kamu belum tidur?" tanya Alina menatap Aaron yang sejak tadi mencari perhatiannya. Sebaiknya ia menyelesaikan urusan dengan Aaron terlebih dahulu sebelum pergi dari rumah itu. Masih ada waktu beberapa menit sebelum tengah malam. Jika Alina bisa bergerak lebih cepat, ia mungkin masih bisa memesan taksi online menuju rumah sakit.
"Aaron akan tidur setelah Mommy membacakan dongeng untuk Aaron."
Alina tersenyum kecil. "Dongeng? Kamu mau aku membacakan dongeng untuk kamu?"
Aaron mengangguk cepat. Lalu, mengeluarkan buku dongeng dari dalam bajunya. "Mommy akan membacanya, kan?" tanya Aaron berbisik.
"Kenapa kamu berbisik? Hanya ada kita di sini."
"Sstt." Aaron meletakkan telunjuk mungilnya di bibir. "Daddy selalu melarang Aaron membaca dongeng. Tapi teman-teman Aaron selalu membicarakan tentang dibacakan dongeng oleh Mommynya. Tapi Daddy bilang Mommy sakit dan tidak biasa membacakan dongeng untuk Aaron," cerita Aaron menunduk sedih. Membuat hati Alina tersentuh.
Ia seperti melihat dirinya ketika berada di panti asuhan dulu. Ketika semua anak bercerita tentang ibu mereka yang mendongeng untuk anaknya. Alina hanya bisa menjadi pendengar tanpa bisa bercerita.
Nasib malang yang menimpanya hingga ia ditelantarkan oleh kedua orang tuanya dan dirawat di panti asuhan. Beruntung ia bisa diadopsi oleh ayahnya yang sekarang. Meski tetap mendapat perlakuan buruk dari ibu dan saudara angkatnya.
"Mommy? Mommy?" Aaron menepuk-nepuk tangan Alina karena panggilannya tidak berbalas.
"Iya."
"Mommy akan membacanya?" tanya Aaron.
Alina mengangguk seraya mengelus rambut Aaron. "Tentu saja."
Akhirnya Alina membaca dongeng yang diberikan oleh Aaron untuknya. Rasanya ia tidak tega mengabaikan seorang anak kecil yang menginginkan perhatian darinya. Terlebih ketika ia melihat wajah Aaron yang begitu bahagia melihat ia akan membacakan dongeng untuknya.
"Apa kamu suka dibacakan dongeng?"
Aaron memiringkan kepala seraya berpikir. "Entahlah. Tapi sepertinya Aaron akan menyukainya karena ini dongeng pertama Aaron dari Mommy."
Alina semakin tidak tega melihat Aaron. Meski sebenarnya ia mulai khawatir karena waktu menunjukkan hampir tengah malam. Sementara ia harus segera ke rumah sakit untuk menjaga ayahnya. Pasti ayahnya masih terjaga karena menunggunya.
'Aku akan segera menyelesaikan ini dan segera pulang,' batin Alina mulai membuka halaman awal buku di tangannya.
Aaron berbaring sambil memeluk pinggang Alina. Maniknya tidak henti memandang Alina dengan penuh cinta. Aaron tertawa tatkala Alina mulai membuka ceritanya dengan auman singa yang terdengar aneh di telinga Aaron.
Sementara Alina dan Aaron memulai kedekatan mereka dengan dongeng. Arham sibuk mengurus pekerjaan lain di dalam ruangannya. Ia menghubungi Rama untuk mengerjakan sesuatu yang penting.
"Tolong kamu urus semuanya, ya, Rama," kata Rama sebelum menutup teleponnya.
Tok, tok, tok!
"Maaf, Tuan. Dokter Wina sudah datang." Lastri menginformasikan dari depan ruang kerja Arham.
"Terima kasih, Lastri."
"Kalau begitu saya permisi, Tuan."
Lastri menemui dokter Wina yang masih menunggu di ruang tengah. Wanita berambut panjang itu tampak baru pulang dari rumah sakit dan segera datang ketika Arham menghubunginya.
"Dokter Wina ditunggu di kamar Tuan Muda."
"Oh, iya." Dokter Wina segera beranjak dari kursinya dan berjalan mengikuti Lastri. Setelah sampai di depan kamar Arham, dokter Wina berdiam di sana sambil menunggu Arham.
"Win? Kenapa kamu berdiri di sini?" tanya Arham melihat Wina hanya berdiri di depan kamarnya.
"Kamu tidak apa-apa?" Wajah dokter Wina terlihat sangat khawatir ketika mengatakan itu. Ia berjalan cepat mendekati Arham dan memindai tubuh pria tersebut dengan netranya.
"Bukan saya yang sakit." Arham menginformasikan.
Dokter Wina semakin panik. "Berarti Aaron? Kenapa kamu tidak mengatakan dari tadi." Karena sangat panik, dokter Wina terburu-buru berjalan meninggalkan Arham hendak menuju kamar Aaron tetapi terhenti karena ucapan Arham.
"Bukan Aaron juga."
Dokter Wina diam membatu. Ia menoleh menatap Arham dengan wajah penasaran.
"Bukan kamu ataupun Aaron? Jadi siapa yang harus aku periksa?"
Arham menarik napas dalam lalu memutar kenop pintu dan membukanya.
"Dia ada di dalam," kata Arham melirik ke dalam kamar yang segera diikuti mata oleh dokter Wina.
Dokter Wina yang semula terkejut semakin membulatkan matanya, tidak percaya dengan apa yang ia lihat.
"Selina?"
***