Alina berlari tanpa tujuan. Melewati koridor demi koridor hingga tanpa sadar ia telah berada di luar gedung rumah sakit.
Air matanya tidak berhenti tertumpah ruah. Perasaan Alina yang kalut dan terkejut membuat ia tidak merasakan lelah setelah berlari menuruni tangga darurat dan akhirnya berada di tempat ia berdiri saat ini.
Alina tahu betul apa yang terjadi. Ia yakin semua keputusan itu diambil dan diusulkan oleh ibu dan adiknya.
Semua keputusan memang hanya boleh diambil oleh mereka berdua, tetapi Alina tidak menyangka mereka sampai berbuat sekejam itu hingga ingin menjodohkan Alina dengan pria yang memiliki tabiat buruk seperti Digo.
Tidak ada yang bisa Alina salahkan selain Aluna. Wanita itu pasti telah merencanakan semua itu karena Bagas sampai saat ini masih sangat mencintai Alina.
Ponsel Alina berdering. Sebuah panggilan video dari seseorang yang mungkin adalah pemicu dari masalah yang ia hadapi saat ini.
Melihat nama Bagas di layar ponselnya membuat Alina menghela napas lemah. Bukan kelegaan atau bahagia yang ia rasa ketika melihat Bagas yang selalu berusaha menjaga hubungan mereka. Tetapi rasa sakit dan beban.
Semakin ia mempertahankan hubungan mereka, semakin Aluna dan ibunya membenci dirinya. Dan semakin sering mereka berbuat seenaknya kepada Alina.
Alhasil, Alina hanya memandangi layar ponselnya sebentar lalu kembali memasukkannya ke dalam saku bajunya. Ia tidak menyadari bahwa pria yang sedang menghubunginya tersebut sedang berada di belakangnya.
Bagas yang tadinya tersenyum melihat Alina di sana seketika muram. Senyumnya perlahan berubah menjadi datar. Setelah beberapa lama menatap Alina dalam diam, Bagas memutuskan untuk tidak menghubungi Alina lagi.
Ia juga memasukkan ponselnya ke dalam saku jubahnya dan berbalik meninggalkan Alina tanpa berniat menyapa Alina lagi.
'Apa benar yang dikatakan Aluna, Alina? Kamu benar-benar sudah menemukan pria lain sehingga kamu bersikap seperti ini,' terka Bagas dalam hatinya.
Pasalnya, ini juga bukan yang pertama Alina mengabaikan panggilan telepon darinya. Alina juga kerap menolak setiap kali Bagas mengajaknya bertemu. Dan, di beberapa kesempatan pun, Alina terkadang berusaha menghindari Bagas ketika pria tersebut sengaja mengunjunginya.
Walau itu semua jelas bisa menimbulkan kesalahpahaman, tetapi kita semua tahu kalau Alina melakukan itu karena tekanan dari ibu dan adiknya.
Alina cukup lama duduk di kursi taman sambil memikirkan semuanya. Meninggalkan ayahnya seperti tadi memang sangat tidak baik. Alina pasti telah membuat ayahnya yang masih sakit semakin sedih.
Terlebih ketika melihat reaksinya yang terkejut dan marah. Alina yakin saat ini ayahnya sedang memikirkan cara untuk menyelesaikan permasalahan ini tanpa membuat satu dari mereka bertiga merasa bersalah.
Dan seperti itulah yang terjadi di ruangan Pak Cokro. Ibu Alia tidak ingin membatalkan rencana yang sudah ia siapkan untuk Alina begitu saja. Termasuk membatalkan pernikahan Alina dan Digo.
"Papa kenapa tiba-tiba berubah seperti ini sih? Dari awal kan papa tahu sendiri kalau Digo itu menyukai Alina. Dan sekarang, kenapa harus menolak niat baiknya, Pa?" Ibu Alia masih terus membujuk suaminya yang masih duduk di atas ranjang perawatan dengan Aluna yang juga duduk di sisi ranjang sambil memijat lengan ayahnya.
"Iya, Pa. Keluarga Digo juga kan telah banyak membantu keluarga kita." Aluna ikut membantu ibunya membujuk sang ayah.
"Tapi kalian lihat sendiri bagaimana reaksi Alina. Dia terkejut dan bahkan menolak pernikahan ini. Bagaimana kita bisa membiarkan dia menikah ketika Alina sendiri tidak ingin menikah," balas Pak Cokro yang menyadari kegelisahan Alina.
Meski sebenarnya Pak Cokro juga menyukai Digo. Di matanya, Digo pria yang baik dan sopan pada orang tua. Pertemuan mereka yang terjadi beberapa kali membuat hati Pak Cokro tergerak untuk menerima lamaran Digo yang terkesan dadakan beberapa hari yang lalu.
Namun, Pak Cokro juga tidak ingin mengambil keputusan yang tidak membahagiakan putrinya. Menurut Pak Cokro, keputusan mutlak ada di tangan Alina saat ini.
"Ini bukan tentang keputusan Alina, Pa. Tapi ini tentang keputusan kita sebagai orang tuanya Alina. Kita ini ayah dan ibunya. Sudah sepatutnya kita membantu anak kita dalam memilihkan calon yang baik untuk anaknya agar masa depannya terjamin.," tutur Ibu Alia. "Lagipula, Digo itu anak baik. Dan dia juga peduli pada keluarga kita," sambung Ibu Alia melirik Aluna untuk menyambung perkataannya.
"Iya, Pa. Aku yakin, Alina akan bahagia dengan pernikahannya ini." Aluna ikut meyakinkan ayahnya dengan pandangan yang sangat serius.
Tidak lama setelah itu, Alina tiba-tiba membuka pintu dan mengejutkan Aluna dan ibunya.
"Alina!" seru Pak Cokro ketika melihat Alina berdiri di ambang pintu. "Kemarilah," panggil Pak Cokro terlihat sumringah melihat kedatangan Alina.
Dengan pelan Alina mendekati ranjang ayahnya. Sesekali ia melirik ibu dan adiknya yang terlihat tidak senang dengan keberadaannya di sana.
"Bagaimana Alina? Kamu sudah memikirkan semuanya?"
Pertanyaan Ibu Alia sontak membuat Alina yang sejak tadi masuk dengan kepala menunduk mengangkat kepalanya.
"Maaf, Ma. Bisa biarkan aku dan Papa bicara sebentar? Ada hal yang ingin aku bicarakan."
Aluna menatap sinis kakaknya. "Apa yang ingin kamu bicarakan? Kamu ingin menolaknya dengan membujuk Papa?"
"Aluna!" Ibu Alia segera menahan anaknya yang sepertinya tersulut emosi. "Tenang, sayang. Kita keluar sebentar, ya."
"Tapi, Ma …"
"Alina." Ibu Alia seketika tersenyum manis kepada Alina dan meraih tangannya. "Mama percaya sama kamu, sayang. Mama yakin kamu pasti tahu apa yang terbaik untuk keluarga kita," bisik Ibu Alia seraya menekan kuku ibu jarinya yang panjang ke telapak tangan Alina.
Alina hanya tersenyum kering melihat kelakuan ibunya tersebut.
"Ayo, Aluna. Kita tunggu di luar. Biarkan Papa dan Alina berbicara berdua sebentar. Kita juga harus membeli makan siang untuk keluarga, kan?" ajak Ibu Alia menarik tangan anaknya untuk segera menuju pintu.
Pandangan Aluna masih terfokus pada Alina yang kini berdiri di samping ranjang ayahnya.
"Alina, ingat janji kamu."
"Aluna, ayo." Ibu Alia akhirnya menarik paksa Aluna keluar dari kamar sebelum Pak Cokro semakin penasaran dengan sikap Aluna kepada Alina tersebut.
Plak!
"Mama!"
"Diam kamu!" Ibu Alia membentak anaknya setelah menamparnya di pipi kiri.
"Kamu kenapa sih, tidak bisa menahan sedikit emosi kamu? Kalau Papa kamu tahu kamu dan Alina tidak akur, Papa mana bisa membujuk Alina untuk menyetujui pernikahan ini?"
"Mama pikir aku akan tenang dengan semua ini? Mama tidak melihat tatapan Alina?"Aluna menunjuk ke arah pintu ruang rawat ayahnya. "Dia itu pasti punya rencana, Ma. Aku sangat yakin kalau Alina akan membujuk Papa dan menolak pernikahan ini."
Ibu Alia menghela napas panjang. Ia kemudian memegang bahu anaknya dan mengajaknya duduk di kursi.
"Tenang lah, Aluna. Mama tidak akan pernah membiarkan siapa pun merebut Bagas dari kamu. Bagas hanya akan menjadi milik kamu, dan Alina akan menikah dengan Digo. Mama akan memastikan itu." Ibu Alia berusaha meyakinkan Aluna.
"Mama janji, kan?" tanya Aluna berusaha menahan air matanya.
"Janji, sayang." Ibu Alia memegang pipi Aluna. "Maaf, ya. Mama menampar kamu."
Meski berusaha bersikap tenang, tetapi dari dalam lubuk hatinya, Ibu Alia juga merasa khawatir. Jika Alina tidak menyetujui perjodohan ini, maka terpaksa ia harus merelakan Aluna yang menggantikan Alina. Karena tidak ada yang mengetahui jika ibu Alia selama ini sering meminta uang kepada Digo dengan iming-iming perjodohan dengan Alina.
Beberapa menit kemudian, Alina keluar dari kamar. Ia sengaja mengambil jalan lain untuk menghindari pertemuan dengan Aluna dan ibunya.
Lagipula, ia sudah mengambil keputusan. Pada akhirnya semua yang terjadi memang harusnya terjadi seperti itu.
"Papa, Alina mana?" tanya Aluna ketika melihat kamar ayahnya kosong.
"Aluna keluar sebentar ingin membeli sesuatu," jawab Pak Cokro tanpa membuka mata meski ia tidak berniat untuk tidur.
"Lalu apa keputusan Alina, Pa?" tanya Aluna tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.
"Dia setuju."
"Ha?" Aluna seketika tersenyum lebar. "Serius Pa?"
"Iya, sayang. Setelah Papa keluar dari rumah sakit, kita persiapkan pernikahan kakak kamu."
Aluna mengangguk paham. Rona kebahagiaan tampak terpancar dari wajahnya. Akhirnya semua yang ia inginkan akan terjadi.
Sementara di samping Pak Cokro, Ibu Alia yang sejak tadi terlihat tenang dan tidak terlalu peduli diam-diam tersenyum mendengar kabar bahagia tersebut.
'Akhirnya semua rencana ku berhasil,' kata Ibu Alia dalam hati. Sedetik kemudian, ia melirik Aluna dan saling melempar tatapan dan tersenyum menyeringai.
***