"Jadi benar Bapak akan menikah dengan Nona Alina?" tanya Rama yang sudah penasaran sejak tadi. Rasa penasarannya semakin memuncak ketika melihat ekspresi wajah Arham yang terlihat begitu percaya diri ketika mengatakan hal tersebut kepada keluarga besarnya. Terlebih beberapa pemegang saham yang memiliki relasi di stasiun televisi juga berada di sana.
Bukan tidak mungkin jika berita tersebut akan menyebar bagai angin di seluruh negeri. Dan benar saja, belum beberapa menit mereka sampai di rumah. Ponsel Rama sudah berdering. Beberapa wartawan kenalannya langsung menghubungi untuk mengkonfirmasi kebenaran berita yang ditayangkan di televisi saat ini.
Arham segera menyalakan televisi dan berita yang langsung mereka lihat adalah berita tentang rencana pernikahan Arham dengan seorang wanita yang masih dirahasiakan namanya.
"Bapak lihat?" Rama menunjuk layar televisi, lalu memperlihatkan ponselnya kepada Arham. "Seperti dugaan saya. Ini reporter yang sering membantu kita, Pak. Apa yang harus saya katakan? Dia pasti ingin mengetahui kebenaran dari berita yang saat ini beredar di televisi.
Arham terlihat diam tidak menganggapi perkataan Rama. Bahkan ketika Rama melambaikan tangan ke depan wajahnya. Arham tetap bergeming.
"Pak Arham," panggil Rama.
"Angkat saja. Katakan kalau berita tersebut benar adanya. Tapi saya meminta agar mereka tidak mengusik Alina. Saya tidak ingin terjadi keributan."
Rama terlihat terkejut, tetapi segera mengangguk paham. "Baik, Pak."
"Oh iya, Ram." Arham memanggil Rama yang hendak meninggalkan ruangan hendak mengangkat teleponnya.
"Kenapa Pak?"
"Cari tahu kontak Alina. Saya perlu bertemu dengannya dan perlu membicarakan banyak hal."
"Banyak hal?" Rama terlihat kebingungan. "Maksud Bapak?"
"Saya perlu bicara dengan Alina tentang rencana pernikahannya dengan pria yang kamu katakan itu. Tolong atur pertemuan saya dengan Alina. Kalau bisa besok. Sebelum ibu saya mendahului."
"Baik Pak."
Rama kemudian pergi dari ruang kerja Arham. Dari percakapan tersebut Rama baru mengetahui jika pengumuman yang Arham umumkan hanya tindakan impulsif semata.
Rama menghela napas lemah. Sepertinya pekerjaannya akan semakin sibuk mulai hari ini.
Dan benar saja. Pagi-pagi sekali ketika Rama datang untuk menjemput Arham di rumahnya. Kerumunan wartawan telah memenuhi halaman rumah Arham. Mobil Rama sampai tidak bisa masuk saking banyaknya mobil wartawan yang terparkir di depan rumah Arham.
Terpaksa Rama menjemput Arham lewat jalan rahasia di belakang rumah Arham. Begitu pula dengan Aaron yang terpaksa harus berada di rumah. Hanya guru private yang dipanggil oleh Arham untuk mengajar Aaron di rumah.
Sementara Arham tetap ke kantor seperti biasa. Tetapi menggunakan jalan rahasia yang hanya bisa dilewati olehnya dan para eksekutif kantor.
"Bagaimana Rama? Apa kamu sudah bisa menghubungi Alina?" tanya Arham kepada Rama ketika mereka masih berada di dalam lift.
"Saya sudah mendapatkan nomor teleponnya, Pak. Tetapi nomornya tidak bisa dihubungi. Tetapi saya menemukan sesuatu yang mengejutkan Pak."
"Apa itu?"
"Pria yang akan menikah dengan Nona Alina adalah pria yang bernama Digo. Dia adalah anak dari pemilik restoran tempat Nona Alina bekerja, Pak."
"Digo?" Arham memicingkan mata mendengar berita yang tidak terduga tersebut. "Pria itu? Kamu melakukan apa yang saya minta kan waktu itu?" tanya Arham.
"Iya Pak. Kami sudah melakukan seperti yang Bapak minta tetapi …"
"Tapi?"
"Sepertinya orang tua Digo memiliki relasi di kalangan kepolisian karena dia hanya diberi peringatan dan denda. Dan pihak keluarga korban juga telah memaafkan perbuatan Digo tersebut."
"Alina memaafkan pria itu?"
"Sepertinya Nona Alina tidak mengetahui hal ini Pak. Karena saya tidak pernah melihat Alina berhubungan lagi dengan pria itu. Justru ibunya yang mengurus hal ini tanpa sepengetahuan Nona Alina," jelas Rama.
Mendengar hal tersebut membuat Arham meradang. Ia tidak menyangka pria sampah seperti Digo bisa lolos begitu saja tanpa melalui proses hukum yang jelas.
"Tidak perlu menghubungi Alina, kita langsung temui keluarganya," perintah Arham, geram.
Rama terlihat mengangguk tanpa melakukan apapun. Membuat Arham yang sudah kesal melirik ke arahnya.
"Sekarang, Pak?" tanya Rama menyadari tatapan Arham yang menusuk bagai pisau yang siap menerkamnya.
"Terus kapan lagi?"
"Oh, baik, Pak." Rama dengan cepat memencet tombol lift untuk segera kembali ke mobil mereka.
Arham sudah tidak sabar untuk segera menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi Alina. Meski sebenarnya ia juga sebentar lagi mungkin akan memberi masalah baru untuk Alina.
Mereka meninggalkan kantor tanpa mengundang perhatian para wartawan yang sudah menunggu mereka di depan kantor. Rama mengendarai mobil menuju rumah Alina karena menurut informasi yang didapatkan dari informan kepercayaannya, ayah Alina sudah keluar dari rumah sakit dan sekarang sedang berada di rumah mereka.
***
Alina sedang tidak berada di rumah saat ini. Ia dalam perjalanan menuju rumah Digo. Tiba-tiba ia ingin memperjelas semua yang sedang terjadi dengan Digo.
Buru-buru Alina menaiki bus yang sering ia tumpangi ketika akan ke tempat kerjanya. Sementara Arham yang tanpa sengaja melihatnya masuk ke dalam bus tersebut dengan cepat menyuruh Rama memutar kemudi dan mengikuti Alina.
Dalam perjalanan, Alina tanpa sengaja mendengar orang-orang membicarakan tentang pernikahan. Alina sama sekali tidak tertarik dengan pembicaraan mereka. Namun, setelah salah seorang di antara wanita yang sedang duduk di sampingnya menyebutkan nama Arham Fauzan, telinga Alina seketika melebar.
'Arham Fauzan? Bukannya itu pria yang pernah menolongku? Dia akan menikah?' Alina menghela napas berat. Rupanya seseorang juga sedang mempersiapkan pernikahannya. Sama seperti dirinya.
Tapi bedanya, Arham akan menikah dengan suka cita. Sementara dirinya akan menikah dengan rasa terpaksa. Sungguh miris. Alina tersenyum sinis memikirkan hal tersebut.
Padahal baru beberapa hari pria itu mengajaknya tinggal di rumahnya. Rupanya sekarang ia sudah menemukan wanita yang bisa membacakan dongeng untuk anaknya.
Seketika Alina merindukan Aaron dan ingin melihat anak itu lagi. Tapi Alina segera menyadarkan dirinya untuk tidak memikirkan hal tersebut dan fokus pada hidupnya.
Bukan keinginan Alina untuk menikahi Digo. Di saat seperti ini ia hanya menginginkan seseorang untuk membantunya. Membantu dirinya untuk keluar dari permasalahan yang sedang ia hadapi saat ini.
Alina juga teringat dengan Bagas, kekasihnya. Alina yakin bahwa Bagas akan sangat terluka jika ia tahu apa yang akan Alina lakukan. Terlebih ia belum menemui Bagas semenjak kejadian di malam itu. Malam ketika Bagas akan melamarnya.
Haruskah Alina meminta bantuan Bagas untuk menyelesaikan masalahnya tersebut? Alina kebingungan hanya dengan memikirkan hal tersebut.
Ia mencintai Bagas. Sangat mencintainya. Itulah sebabnya ia tidak ingin pria tersebut kesulitan karena dirinya.
Pernikahan itu tidak boleh terjadi. Bagas tidak boleh meninggalkan dirinya tetapi ia juga tidak ingin mengecewakan ayahnya.
Sembari memikirkan hal tersebut, Alina tidak sadar jika ia sudah sampai di depan rumah Digo. Entah apa yang ingin ia lakukan di sana. Kakinya hanya menuntut dirinya untuk datang ke sana.
Sampailah Alina di depan pintu rumah Digo. Rumah yang tidak pernah Alina bayangkan akan menjadi rumahnya juga. Jika pernikahan itu benar-benar terjadi, maka bukan tidak mungkin jika Alina harus tinggal di rumah itu. Rumah dari pria yang pernah berniat untuk melecehkan dirinya.
Alina tidak akan sudi. Ia harus membatalkan pernikahan tersebut, tetapi tidak dengan membuat ayahnya kecewa padanya.
"Aku akan melakukan apapun untuk menghentikan pernikahan ini. Tuhan… tolong beri aku kekuatan untuk menghadapi pria bejat itu." Alina berdiri di depan rumah Alina sambil berdoa.
Uniknya, doa tersebut terdengar lantang sampai ke telinga pria yang sejak tadi mengikutinya.
Arham tersenyum kecil mendengar permohonan Alina.
'Jika kamu tidak menginginkan pernikahan ini, lalu mengapa kamu menyetujuinya? Dasar perempuan aneh,' komentar Arham dalam hati.
Ia tetap berada di dalam mobilnya sampai Alina masuk ke dalam rumah Digo.
"Bapak akan membiarkan Nona Alina masuk ke rumah itu?" tanya Rama dari kursi kemudinya.
"Kita tunggu dulu. Saya penasaran dengan apa yang akan dilakukan Alina." Arham menjawab pertanyaan Rama tanpa mengalihkan pandangannya dari punggung Alina yang kini sudah masuk ke dalam rumah besar di hadapannya.
"Ouhh… rupanya calon istriku yang cantik benar-benar datang," kata Digo menyambut Alina yang masih berdiri di ambang pintu.
Perasaan Alina tiba-tiba tidak karuan ketika melihat Digo berjalan ke arahnya.
Akankah ia melangkah dan menampar pria di hadapannya itu. Atau haruskah ia berlutut agar Digo membatalkan pernikahan mereka?
"Ayo masuk. Kenapa hanya berdiri di situ." Digo duduk di sofa setelah mempersilakan Alina duduk. Namun, Alina tidak bergerak. Entah kenapa kakinya tiba-tiba terasa berat.
Ingatan tentang kejadian malam itu membuat ia berkeringat dingin. Terlebih setelah Alina melihat senyum Digo yang terlihat begitu seram.
Kedua kaki Alina seketika lemas dan mati rasa. Ia tidak kuat lagi dan terjatuh ke belakang.
GRAP!
Seketika sebuah uluran tangan dengan sigap menangkap tubuh Alina yang hampir tumbang.
"Lain kali jangan pakai sepatu yang terlalu tinggi seperti itu. Kaki kamu bisa terluka," ujar Arham tersenyum kepada Alina yang saat ini berada dalam pelukannya.
"Ka-kamu?" Alina mendongak ketika mendengar suara seorang pria. Matanya membelalak ketika melihat Arham yang tiba-tiba sudah berada di belakangnya sembari menahan tubuhnya yang hampir jatuh.
"Apa kita perlu melakukan ini beberapa detik lagi?" tanya Arham masih tersenyum hingga membuat Alina mengerjab tidak karuan.
"Ah, terima kasih," ucap Alina segera memperbaiki posisinya dan berdiri tegak.
Sementara Digo yang baru menyadari keberadaan seorang pria asing di depan pintunya terkejut.
"Hei! Siapa kamu?" tanya Digo menunjuk ke arah Arham dengan ekspresi wajah tidak suka.
Arham dengan seringai miringnya menatap Digo. Lalu, merangkul pundak Alina seraya mengarahkan pandangannya pada wanita tersebut.
"Maaf saya hanya berniat membantu calon istri Anda," kata Arham seraya mengedipkan mata kirinya kepada Alina.
Alina hanya mengernyitkan dahinya mendengar penuturan Arham.
***