"Siapa wanita itu?"
Dokter Wina masih belum percaya dengan apa yang ia lihat. Seorang wanita yang sangat mirip dengan Selina, sahabatnya. Bahkan dokter Wina yang telah mengenal Selina sejak kecil hampir tertipu dan mengira wanita yang sedang berbaring sambil memeluk Aaron adalah sahabatnya.
"Dia wanita yang saya temui beberapa hari yang lalu. Saya sudah menyelidikinya dan ternyata dia tidak memiliki hubungan apapun dengan Selina," balas Arham.
"Kalau begitu dia siapa? Kenapa dia sangat mirip dengan Selina? Dan kenapa dia bisa begitu cepat dekat dengan Aaron?" tanya dokter Wina semakin penasaran.
Pasalnya, sejak ia mengenal Arham dan menjadi dokter pribadi Aaron, dokter Wina tidak pernah melihat Aaron dekat dengan siapapun kecuali Arham dan para pekerjanya.
Tidak ada yang bisa menyentuh Aaron. Termasuk dirinya yang sudah begitu lama berusaha mendekati Aaron. Orang lain seakan tidak pernah mendapat ruang di hati anak kecil tersebut.
Lantas, bagaimana bisa seseorang yang baru pertama kali ia temui bisa begitu cepat mendapat hati Aaron. Dan yang lebih mengejutkannya lagi. Arham juga seperti memiliki kedekatan istimewa dengan wanita tersebut.
Belum pernah dokter Wina melihat Arham mengizinkan seseorang selain Aaron masuk ke dalam kamarnya jika bukan untuk membersihkan kamar atau keperluan mendesak. Semua orang seperti memiliki batas yang tidak boleh dilanggar di rumah tersebut. Termasuk kamar Arham yang tidak boleh dimasuki sembarang orang.
"Apa itu berarti wanita itu bukan sembarang orang?" Dokter Wina menyambung pertanyaannya sebelum Arham menjawab pertanyaan sebelumnya.
Arham melirik Alina yang tertidur pulas sambil memeluk Aaron di ranjangnya. Ia pun tidak mengira akan melihat pemandangan seperti itu di kamarnya.
"Saya tidak menyangka Aaron ada di sini. Saya pikir dia sudah tertidur," jawab Arham.
"Pertanyaan ku bukan itu Arham. Tapi wanita ini? Kenapa kamu mengizinkan dia masuk ke kamar kamu?" Dokter Wina merujuk pada Alina.
"Entahlah." Arham menarik selimut dan menutupi tubuh Alina dan Aaron. "Kita bicara di luar. Sepertinya calon pasien kamu sedang tidak bisa diganggu." Arham mengajak dokter Wina keluar dari sana karena Aaron terlihat sangat pulas berada dalam pelukan Alina. Dan Arham tidak ingin mengganggu.
Di ruang tengah, Arham dan dokter Wina tidak membicarakan banyak hal. Fokus Arham hanya tertuju pada luka di wajah Alina dan meminta dokter Wina memberi obat untuk mengobati lukanya.
Ia juga menjelaskan tentang kejadian yang menimpa Alina dan kemungkinan wanita itu terkena benturan keras di belakang kepala atau bagian tubuhnya yang lain.
Jika memungkinkan, Arham meminta dokter Wina memeriksa Alina ketika wanita itu terbangun. Namun, sampai lewat tengah malam, Alina tidak terbangun.
Rasa lelahnya sepertinya mengalahkan rasa sakit yang ia rasakan karena pukulan tadi. Meski Arham khawatir, ia juga tidak bisa menahan dokter Wina lebih lama lagi di rumahnya.
"Sopir akan mengantar kamu pulang."
Dokter Wina mengangguk. "Sebenarnya banyak hal yang ingin aku tanyakan. Tetapi aku akan menahannya untuk hari ini." Dokter Wina memeriksa arlojinya. "Sudah lewat tengah malam. Kamu juga harus istirahat."
"Maaf karena mengganggu waktu istirahat kamu."
"It's okay. Kamu hanya perlu membayar ku dengan penjelasan tentang wanita itu," goda dokter Wina melirik ke dalam rumah Arham.
"Silakan cek saldo rekening kamu," balas Arham sedikit tersenyum.
"Baiklah," balas dokter Wina sedikit kecewa. Itu artinya, Arham tidak akan mengatakan apapun tentang Alina kepada Wina untuk sementara ini.
Dokter Wina segera diantar ke rumahnya oleh sopir yang ditugaskan Arham setelah mereka saling melempar candaan sebentar. Dalam perjalanan pulang, ia masih sangat penasaran dengan wanita yang dibawa Arham ke rumahnya.
"Apa Arham akan membawa wanita itu menemui orang tuanya, ya." Dokter Wina memeriksa sesuatu di ponselnya. Ia kemudian memeriksa jadwal pertemuan rutin keluarga yang diadakan di kalangan pemegang saham W Group. "Sepertinya akan ada kejutan kali ini," gumam dokter Wina tersenyum miring.
Arham kembali masuk ke dalam kamar. Ia berdiri sambil memandang Aaron dan Alina yang tertidur tanpa menyadari kehadiran dirinya di sana.
"Apa ini semua sudah benar? Haruskah saya membuat wanita ini bertahan di sisi kamu, Nak?" tanya Arham sesaat setelah mengecup kening putranya. Sementara netranya melirik Alina yang tertidur di samping Aaron.
***
Pada kenyataannya, Alina tidak bisa merealisasikan apa yang ia rencanakan tadi malam. Ia yang tadinya hanya berniat membaca dongeng untuk Aaron sampai anak itu tertidur ternyata ikut tertidur di samping Aaron.
Dan yang paling membuatnya menyesal karena ia tertidur di kamar seseorang pria yang tidak memiliki hubungan apapun dengannya.
'Sungguh sangat berani, Alina. Setelah kamu berusaha kabur dari pria hidung belang tadi malam. Sekarang kamu malah dengan santainya menginap di rumah pria yang tidak kamu kenal. Dasar gadis bodoh,' sesal Alina merutuk dirinya sendiri dalam hati.
"Bagaimana Nona? Apa ada sesuatu yang Nona butuhkan?" tanya Lastri terlihat lebih bersemangat. Sejak tadi ia berdiri di samping Alina sambil terus tersenyum. Berkali-kali ia melirik Alina hingga membuat Alina merasa risih dan tidak tahan duduk di sana.
"Mbak."
"Iya, Non?"
"Jangan panggil saya Nona. Panggil saya Alina saja." Perasaan tidak enak Alina terpatri jelas di wajahnya.
Lastri menggeleng. "Saya mana berani memanggil Nona seperti itu," jawab Lastri tidak lupa memberikan senyum terbaiknya kepada Alina.
"Iya sudah. Terserah Mbak saja. Tapi apa saya boleh pulang? Saya tidak bisa lebih lama lagi di sini. Pasti sekarang ayah saya sedang mencari saya."
"Tapi Tuan bilang saya harus melayani Nona."
Alina semakin gusar. "Melayani? Saya tidak perlu dilayani. Sungguh! Saya hanya ingin pulang."
Sekarang giliran Lastri yang gugup. "Maaf Nona. Saya tidak bisa membuat keputusan apa Nona boleh pulang atau tidak. Sebaiknya Nona tunggu Tuan Muda turun dulu."
Alina semakin gelisah. Semakin lama ia berada di sana semakin lama lambat juga ia menemui ayahnya. Rasanya Alina tidak tega jika membiarkan ayahnya khawatir di rumah sakit sementara dirinya berada di sebuah rumah besar dengan meja makan sebesar lapangan pingpong yang dipenuhi dengan makanan di hadapannya.
"Apa tidur kamu nyenyak?" Pertanyaan tersebut membuat Alina seketika menoleh ke arah kanannya.
Seorang pria dengan balutan jas sedang berjalan ke arahnya. Pria itu segera duduk di samping Alina yang langsung disambut oleh dua pelayan yang mengambilkan piring dan menyendokkan makanan.
"Kalian boleh pergi. Saya bisa sendiri," perintah Arham.
Matanya kini menatap Alina yang duduk menunduk dengan gelisah.
"Apa tidur kamu nyenyak?" Arham mengulang pertanyaannya.
Alina mendongak dan menatap Arham sekilas. "Saya minta maaf karena telah merepotkan dan sangat berterima kasih karena telah menyelamatkan saya," jawab Alina, tepat tanpa celah.
Arham tersenyum singkat. "Saya tidak tahu kalau kamu punya jawaban yang sangat variatif seperti itu."
"Saya minta maaf tapi saya harus segera pulang. Orang di rumah pasti khawatir karena saya tidak pulang."
Arham menatap Alina penuh arti. Ia tidak mengerti mengapa Alina memberi alasan seperti itu untuk segera pulang. Dari hasil penyelidikannya Arham tahu betul bagaimana kehidupan dan kedudukan Alina di keluarganya tersebut.
Bahkan jika Alina tidak pulang selama satu minggu pun tidak akan membuat ibu dan saudara angkatnya khawatir. Mereka lebih senang Alina tidak pulang ke rumah karena membenci Alina.
Meski terkadang Aluna membutuhkan Alina untuk membereskan barang-barang atau mengerjakan tugas kuliahnya. Sementara sang ibu hanya memerlukan Alina ketika pekerjaan rumah sedang menumpuk. Tetapi menghilang satu malam tidak akan membuat mereka sadar dirinya yang menghilang.
Arham melirik gerak gerik Alina yang tampak tidak tenang di sampingnya. Untuk saja meja makan tersebut tidak terbuat dari plastik atau Alina akan membuat makanan di atas meja bergetar mengikuti gerakan lututnya.
"Baiklah jika memang kamu terburu-buru. Saya langsung saja."
Arham mengangkat tangan kanan dan Rama segera muncul dari balik tembok.
"Ini yang Bapak minta." Rama meletakkan sebuah map di atas meja.
"Apa ini?"
"Lowongan pekerjaan."
Alina memicingkan matanya. "Maksudnya lowongan pekerjaan apa, ya?" Alina tidak paham dengan arah pembicaraan Arham.
"Saya tahu ekonomi keluarga kamu cukup buruk dan kamu sedang kesulitan ekonomi."
Alina mengangkat sebelah alisnya. "Saya? Maksudnya Anda menawarkan lowongan pekerjaan kepada saya?" tanya Alina menunjuk dirinya sendiri.
Arham mengangguk. "Jadi siapa lagi? Saya sedang berbicara dengan Anda di sini."
Alina semakin risih lalu memutar bola matanya. "Tapi maaf sepertinya Anda salah paham. Saya tidak sedang mencari pekerjaan. Saya sudah memilikinya."
Rasanya ia tidak tahan melihat pria asing yang semula membantunya tiba-tiba menawarkan sebuah pekerjaan. Memangnya pekerjaan seperti apa yang bisa ia tawarkan? Apa seorang pelayan seperti para pelayan yang mengambilkan makanan untuknya tadi? Atau baby sitter, seperti seorang wanita yang menawarkan makanan padanya?
Arham tersenyum mencibir. "Maksud kamu pekerjaan di restoran ayam itu?" Arham mencoba menebak. Ia meletakkan sendok dan garpu yang semula dipegangnya di atas meja. Setelahnya, ia bersandar seraya melipat kedua tangannya. "Memangnya kamu pikir masih bisa bekerja di tempat itu setelah apa yang terjadi semalam?"
Alina segera berdiri. "Maaf, jika tidak ada lagi yang ingin dibicarakan, saya mau pulang," kata Alina mengambil langkah tetapi tangannya tiba-tiba diraih oleh Arham.
"Bagaimana kalau kamu tinggal di sini saja?"
"Hah?" Alina mengernyitkan dahinya seraya menoleh memandang wajah Arham yang tampak begitu serius dengan tawarannya.
***