Chereads / Mommy Untuk Aaron / Chapter 7 - Menarik Dalam Pelukan

Chapter 7 - Menarik Dalam Pelukan

Untuk sesaat Alina terpaku pada wajah rupawan pria yang memberinya penawaran menarik. Tetapi ia segera sadar dengan menatap pria tersebut ganas.

"Anda gila, ya? Maaf, ya, Pak. Tapi saya bukan wanita seperti itu." Alina menolak saat itu juga.

Dirinya tidak terima diperlakukan seperti itu.

Ajakan tinggal di rumah tersebut pasti mengarah pada hal yang melanggar norma. Alina bisa langsung menebak. Terlebih melihat gaya hidup glamor sang pemilik rumah. Hal seperti itu wajar di kalangan masyarakat hedonis seperti mereka.

Gelak tawa memenuhi seisi ruang makan. Belum pernah Arham merasa selucu ini. Begitu pula dengan para pegawai di sana. Mereka yang sedang berada di balik ruangan terkejut mendengar suara tawa majikan mereka yang sudah lama tidak pernah terdengar.

"Anda menertawai saya, ya?" Alina menatap tidak terima.

"Bukan, bukan seperti itu, tapi—"

"Permisi," potong Alina tanpa berniat mendengar kelanjutan dari ucapan Arham lagi. Alina yang sejak tadi berdiri di samping Arham dengan cepat menjauh hendak keluar dari sana.

"Mommy."

Langkah Alina terhenti ketika melihat Aaron berlari dari arah pintu ke arahnya. Ia berdiri mematung menunggu anak tersebut sampai di tempatnya.

Di belakang Alina, Arham diam-diam semakin berbinar ketika melihat Aaron berlari ke arah mereka dengan seragam sekolah.

"Good morning, Mommy," sapa Aaron mendarat dalam pelukan Alina.

"Hei, good morning." Alina membalas pelukan Aaron dan berlutut di hadapan anak tersebut. "Bagaimana tidurnya? Apa kamu tidur nyenyak?"

Aaron mengangguk. "Tentu saja. Apalagi saat Aaron bangun dan Mommy masih berada di samping Aaron. Aaron sangat senang." Aaron berbicara dengan sangat ceria.

"Jadi selama ini kamu tidak senang tidur dengan Daddy?" Arham mencoba menggoda putranya.

"Tentu saja Aaron senang. Tapi Aaron lebih senang jika bersama Daddy dan Mommy," jawab Aaron riang, bergantian menatap Alina dan Arham.

Ada kehangatan yang menjalar dalam tubuh Alina. Sebuah perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Dan ia merasa nyaman dengan hal tersebut. Termasuk dengan perbincangan mereka pagi ini. Sesuatu yang tidak pernah Alina bayangkan sebelumnya.

"Mommy akan terus tidur bersama Aaron, kan?" tanya anak tersebut tanpa dosa.

"Tentu saja," jawab Arham, cepat. Kemudian ia berpindah lalu menuntun putranya duduk di kursi. Alina ikut kembali duduk di kursi.

Alina hanya bisa diam melihat semua itu. Bagaimana mungkin seseorang bisa begitu nyaman secepat itu dengan kehadirannya. Berada di antara dua orang asing sama sekali tidak membuat Alina merasa seperti orang asing. Mereka memperlakukan Alina lebih hangat dari perlakuan keluarganya sendiri di rumah.

"Keluarga!" Alina menepuk kepalanya. Ingatan tentang ayahnya kembali menjalar dalam kepalanya. Kekhawatirannya semakin meningkat ketika ia sadar belum memberi kabar tentang keberadaannya kepada ayahnya sejak kemarin.

"Ada apa? Kamu terlihat gelisah?" tanya Arham di sela-sela makan mereka.

"Ah, itu. Aku harus segera pulang. Aku mengkhawatirkan ayahku," jawab Alina tidak mampu menyembunyikan wajahnya yang sangat cemas. Namun, ia berbicara dengan suara yang sangat kecil agar tidak mengganggu Aaron.

Arham meneguk air dan memandang Aaron. Tidak biasanya ia melihat Aaron begitu bersemangat dalam melakukan sesuatu. Termasuk sarapan sebelum berangkat ke sekolah.

Ragu-ragu ia mencoba berbicara dengan putranya. "Aaron, hari ini kamu ke sekolah bersama Paman Rama dan Bi Lastri, ya. Daddy harus mengantar Mommy ke suatu tempat."

"Suatu tempat?" Aaron beralih menatap Alina. "Apa Aaron boleh ikut, Mommy?"

"Tidak, Aaron. Hari ini kamu harus sekolah. Nanti Daddy yang akan menjemput kamu sepulang sekolah." Arham memberi pengertian tetapi sepertinya Aaron tidak ingin mengerti.

Ekspresi wajah anak itu seketika berubah sedih meski ia tidak menampakkannya di hadapan Arham. Aaron meletakkan sendok makan di atas meja dan menundukkan kepalanya.

Alina menyadari kekecewaan Aaron. Terlebih ketika ia bisa dengan jelas melihat wajah Aaron yang terlihat begitu imut ketika sedih. Ia kemudian mengulas senyum kepada Aaron dan memegang tangan mungil anak itu.

"Aaron harus ke sekolah hari ini. Jadi tidak bisa ikut tapi lain kali Aaron boleh kok ikut. Kita jalan-jalan." Alina berbicara seperti menghindari beberapa subjek. Karena sejujurnya ia tidak ingin memberi harapan kepada anak kecil tersebut.

"Sungguh?" Manik mata Aaron seketika berbinar. "Baiklah, Mommy." Aaron kembali bersemangat dan melanjutkan makannya setelah melihat Alina mengangguk.

Sarapan yang tidak pernah Alina rasakan telah berakhir beberapa menit yang lalu. Aaron juga telah diantar ke sekolah oleh Rama dan Lastri.

Sementara Alina ikut bersama Arham menggunakan mobil pria tersebut.

"Sepertinya kamu cukup lihai menghadapi anak kecil." Arham memulai pembicaraan ketika mereka berada di atas mobil menuju rumah sakit.

Alina tersenyum singkat. "Aku dulunya anak panti asuhan jadi aku cukup sering bergaul dengan anak-anak." Alina menjawab tanpa canggung.

"Berarti kita sama."

"Sama?" Pernyataan Arham sontak menarik perhatian Alina yang sejak tadi hanya melihat ke arah luar jendela. "Maksud kamu sama...?"

"Sama-sama suka bergaul dengan anak kecil," jawab Arham tersenyum kecil. Senyum kemenangan terpatri di wajahnya. 'Ternyata sangat mudah menarik perhatian kamu, Alina,' pikir Arham.

Kali ini, Alina bereaksi cukup tenang dari sebelumnya. Jika sebelumnya ia seperti cacing kepanasan ketika berbicara dengan Arham. Di kesempatan itu, ia terlihat lebih tenang. Mungkin karena ia merasa nyaman berada di antara orang asing yang nyatanya lebih terasa seperti bukan orang asing. Bahkan menganggapnya keluarga.

"Terima kasih," sapa Alina menutup pintu mobil dan memberi salam perpisahan. Tetapi rupanya mereka tidak berpisah. Arham dengan santai keluar dari mobil dan berdiri di samping Alina.

"Silakan."

Alina mengernyitkan dahi tidak mengerti. "Silakan? Maksud kamu? Kamu mau mengantar saya sampai ke dalam?" tanya Alina waspada.

"Kalau memang perlu. Mengapa tidak?"

"Tidak, tidak!" Alina mengambil satu langkah mundur. "Kamu jangan macam-macam, ya. Saya tidak ingin menarik perhatian."

"Perhatian?" Arham mengedarkan pandangannya menyadari orang-orang yang mulai tertarik pada mereka berdua. "Perhatian seperti apa ya kamu maksud? Saya lihat keadaan baik-baik saja. Atau kamu mencoba melakukan atraksi atau semacamnya untuk menarik perhatian," tanya Arham terlihat sangat polos ketika mengatakannya.

Suasana hati Alina yang sebelumnya tenang kini kembali teraduk. 'Apakah pria ini tidak sadar kalau tanpa melakukan atraksi pun kita sudah menarik perhatian? Apa dia tidak melihat sekitar?'

"Alina?" Arham melambaikan tangan di depan wajah Alina yang melamun. "Alina!"

"Iya!" Alina terkesiap mendengar Arham yang memanggil namanya. Buru-buru ia mengembalikan kesadarannya.

"Bukan aku tapi kamu!" Alina menunjuk Arham. "Apa kamu tidak sadar kalau keberadaan kamu saja sudah menarik perhatian banyak orang?"

Arham lagi-lagi melebarkan senyumnya. "Menarik perhatian itu, kalau saya melakukan ini."

CUP!

Dengan berani Arham menarik tubuh Alina dalam pelukannya dan mendekapnya erat. Detik selanjutnya, ia mengambil tangan Alina dan mendaratkan bibirnya di punggung wanita tersebut.

"What the—"