Chereads / Mommy Untuk Aaron / Chapter 8 - Penolakan Alina

Chapter 8 - Penolakan Alina

Alina dengan cepat menarik tubuhnya menjauh dari jangkauan Arham. Ia kemudian mendorong tubuh Arham hingga tubuh pria itu terpental ke belakang.

"Apa yang kamu lakukan?" bentak Alina sedikit berteriak.

Tidak dipungkiri jika apa yang dilakukan Arham barusan membuat jantungnya berdegup begitu kencang. Ia sampai menarik napas dalam setelahnya.

Wajah Arham berubah serius. Sorot mata yang seharusnya mengarah kepada Alina sejak tadi melirik ke arah tempat parkir. Di dalam sebuah mobil Van terdapat seorang pria yang sedang mengarahkan kamera ke arah mereka.

"Tetap berdiri seperti itu. Jangan menoleh!" perintah Arham tanpa memandang Alina.

Atensinya tidak terlepas dari mobil yang sejak tadi mengikuti mereka.

"Sebenarnya apa yang kamu mak—" Suara Alina terpotong oleh gerakan tangan Arham yang lagi-lagi menyentuh tangannya tanpa permisi.

"Hei …"

Mata Arham menatap Alina dengan serius. Pria itu masih bersikap tenang meski ia belum bisa memastikan siapa yang sejak tadi mengikuti mereka.

Untuk sesaat, netra mereka kembali beradu. Suara bising di sekitar mereka seakan senyap memberi ruang bagi keduanya untuk saling menyampaikan sinyal.

"Apa saya boleh minta tolong?" tanya Arham seketika memecah keheningan.

"Lepas!" Alina menepis tangan Arham dan kembali mengambil jarak. "Kamu tahu tidak sudah berapa kali kamu menyentuh tangan saya tanpa permisi hari ini? Apa kamu memang selalu seperti ini?"

Arham mengangkat kedua tangannya. "Maaf jika saya saya membuat kamu terkejut. Ada kotoran di tangan kamu jadi saya ingin memastikan apa itu berbau atau tidak," jawab Arham mengarang cerita. Terlihat ia juga kebingungan dengan jawabannya.

"Apa?"

Alina mengernyit tidak percaya. Alasan macam apa yang diucapkan pria di hadapannya ini? Apa dia sedang melucu? Jika iya. Demi Tuhan, lelucon yang ia lontarkan itu sama sekali tidak lucu.

"Apa semua orang kaya memang sekurang ajar ini? Apa kalian tidak diajarkan sopan santun?" Alina tersulut emosi.

"Tenanglah." Arham mencoba menenangkan Alina yang tersinggung dengan ucapannya.

Jujur saja. Sebenarnya Arham juga tidak tahu dengan apa yang baru saja ia katakan. Setelah memastikan mobil yang sejak tadi mengikuti mereka pergi, Arham menjadi tidak fokus hingga mengarang cerita.

"Sebenarnya saya hanya ingin meminta tolong."

Alina semakin mengerutkan keningnya. Setelah memeluk dan mencium tangannya. Sekarang pria di hadapannya meminta tolong? Apa dia sudah kehilangan akal? Apa Arham tidak berniat meminta maaf?

"Kamu gila, ya? Minta tolong?" Alina mendecih. "Kamu sadar tidak kalau apa yang kamu lakukan itu bisa dicap sebagai pelecehan seksual dan perbuatan tidak menyenangkan?" Alina berbicara tanpa rem. Membuat atensi beberapa orang berpusat padanya.

"Kecilkan suaramu atau kamu akan membuat semua orang menatap kemari," bisik Arham kembali mendekati Alina tetapi dengan sigap wanita itu berjalan mundur.

"Jangan macam-macam kamu!"

"Oke, oke. Maaf. Saya minta maaf," ucap Arham sedikit mengambil jarak di antara mereka. "Saya sebenarnya tidak bermaksud apapun. Saya hanya ingin minta tolong. Dan untuk apa yang baru saja saya lakukan, saya meminta maaf," kata Arham meminta maaf seraya sedikit menunduk. Ekspresi wajah Arham yang terlihat serius membuat Alina menjadi tidak enak hati.

Sesaat ia diam, tetapi kembali membuka suara. "Baiklah. Katakan apa yang bisa aku bantu. Aku akan membantu kalau aku bisa." Alina menjawab walau matanya tidak melihat ke arah Arham.

Arham tersenyum sebelum akhirnya mengutarakan keinginannya. "Jadilah teman kencan saya malam ini," pinta Arham.

Alina dengan cepat memandang Arham. "Teman kencan?" Kerutan kembali tergambar di dahi Alina. Ia menggeleng tidak percaya.

Untuk sesaat ia kebingungan tetapi akhirnya mengerti maksud dan tujuan pria di hadapannya. Setelah memikirkan semuanya, Alina akhirnya tahu apa yang sebenarnya Arham ingin katakan sejak tadi.

"Sepertinya saya paham dengan sikap kamu ini. Baiklah… Saya tahu, saya memang cantik, hingga membuat beberapa orang mungkin tertarik kepada saya. Tapi maaf …" Alina mengangkat tangan tepat di depan wajah Arham. "Saya tidak menyukai Anda," tegas Alina mengangkat dagunya sedikit menyombongkan diri.

Arham seketika tertawa kecil. Pria itu tidak menyangka akan mendengar Alina berbicara seperti itu. Ternyata Alina wanita yang cukup percaya diri.

"Ke-kenapa kamu tertawa? Apa saya mengatakan sesuatu yang salah?" tanya Alina sedikit malu dengan ucapan spontan yang baru saja ia lontarkan.

"Tidak." Arham sedikit batuk. "Saya suka dengan sifat kamu yang seperti ini. Kamu percaya diri, cerdas dan tahu batasan. Menarik," puji Arham tidak menyembunyikan ketertarikannya pada Alina.

"Tapi niat saya belum sejauh itu. Saya hanya ingin meminta kamu menjadi teman kencan saya malam ini. Itu saja." Arham menyambung.

Tetapi Alina sepertinya tidak memiliki minat sedikit pun pada Arham. Dengan tegas ia menolak ajakan Arham. "Maaf saya menolak. Saya harus menemani ayah saya di rumah sakit. Dan lagipula saya juga tidak tertarik dengan Anda."

Alina membenarkan posisinya lalu membungkuk sedikit kepada Arham.

"Terima kasih atas bantuan Anda tadi malam. Saya tidak akan melupakannya, tapi saya berharap kita tidak perlu berurusan lagi," kata Alina sebelum akhirnya mengulas senyum tipis dan berjalan menyusuri koridor rumah sakit.

Arham diam membisu. Untuk sesaat ia seperti terhipnotis hingga mengikuti langkah Alina yang begitu cepat di hadapannya.

"Apa yang akan Anda lakukan, Pak? Sepertinya mereka itu adalah mata-mata yang disewa oleh ibu Anda." Rama menginformasikan setelah mencari tahu tentang mobil yang sejak tadi mengikuti mobil Arham. Ia mendekati Arham setelah melihat Alina masuk ke dalam rumah sakit.

Namun, Arham tetap membisu. Pandangannya tidak terlepas dari koridor rumah sakit yang kini sunyi setelah Alina memasuki pintu lift.

"Pak Arham? Pak Arham?"

"Ck." Arham memasang wajah dingin. Penolakan yang baru saja ia terima begitu keras menyayat hatinya. Tidak disangka ia yang begitu digilai banyak wanita mendengar penolakan setelah wanita tersebut berpikir bahwa ia menyukainya.

Arham beralih menatap Rama. "Apa wajah saya menunjukkan keriput?" tanya Arham tiba-tiba kepada Rama yang membuat pria jangkung tersebut mengerjab berkali-kali.

"Iya, maksud Bapak?"

"Ah, lupakan!" Arham melambaikan tangan lalu berjalan menuju mobilnya. Bayangan Alina semakin merasuk ke dalam kepalanya.

***

Di depan pintu lift yang baru saja tertutup, Alina melangkah pelan menuju kamar tempat ayahnya di rawat. Kegelisahan yang ia rasakan sejak tadi kini semakin menjadi-jadi.

Alina berhenti ketika berada di depan pintu kamar ayahnya. Samar-samar ia mendengar suara ibunya dan Aluna. Begitu pun dengan suara ayahnya yang terdengar tertawa sesekali.

Bukannya senang, Alina semakin khawatir. Bukan karena ayahnya yang tertawa. Karena pasti keadaan ayahnya telah membaik jika ia tertawa seperti itu. Tetapi karena ibunya.

Alina sangat yakin kalau ibunya telah mengadu dan mengarang cerita kepada ayahnya. Terlebih semalaman ia tidak ada kabar dan mematikan ponselnya. Entah apalagi yang harus Alina katakan untuk membela dirinya karena sebenarnya memang dirinya yang bersalah kali ini.

"Kenapa kamu hanya berdiri di situ?" tanya Aluna yang seketika membuat Alina bergeser dari depan pintu.

"Aluna? Kamu bukannya di dalam?"

Aluna mengerutkan keningnya, tetapi malas menjawab pertanyaan Alina. Ia hanya melirik sebentar lalu dengan santai membuka pintu.

"Pa, Ma. Ini dia calon pengantin kita baru datang," teriak Aluna merentangkan kedua tangannya dan menarik Alina masuk ke dalam kamar.

"Ca-calon pengantin?"

Alina terseret begitu saja mengikuti Aluna yang tidak merespon dirinya.

"Alina," sapa Pak Cokro. Pria tua itu tersenyum bahagia tatkala melihat Alina berjalan ke arahnya.

"Papa." Dengan cepat Alina berlari memeluk ayahnya yang telah sejak tadi merentangkan kedua tangannya bersiap menangkap Alina. Ia memeluk erat ayahnya yang beberapa hari tidak sadarkan diri setelah operasi.

Pemandangan tersebut jelas membuat Aluna dan ibunya saling melirik dengan wajah tidak suka.

"Selamat, ya, Nak. Kamu akhirnya akan menikah," tutur Pak Cokro yang seketika membuat Alina meregangkan pelukannya.

"Menikah?" Alina menatap ayahnya. "Maksud ayah menikah …?"

"Iya, Alina. Kamu akan menikah." Aluna bersemangat. "Kamu akan menikah dengan anak pemilik restoran tempat kamu bekerja." Aluna mewakili Pak Seno menjawab. Ia menepuk pundak kakaknya meski terlihat terpaksa.

"Apa?" Alina setengah berteriak. "Maksud kalian, aku akan menikah dengan Digo?"

Ibu Alia memegang bahu Alina. "Iya, sayang. Dan kami telah menerima lamarannya tadi. Iya, kan, Pa? " tanya Ibu Alia kepada Pak Cokro yang segera diangguki oleh Pak Cokro.

"Tidak!" Alina menepis tangan ibunya dari bahunya. "Aku tidak mau. Aku tidak mau menikah dengan Digo. Aku tidak akan setuju dengan ini," kata Alina menggeleng keras. Sedetik kemudian air matanya menetes.

Alina mengusap air matanya dengan kasar lalu berlari menuju pintu dan keluar dari ruang rawat ayahnya.

***