"Jangan!" Alina melangkah mundur. "Jangan dibuka, Mas. Aku akan menolak kalau kamu melamarku malam ini," tutur Alina mengalihkan pandangannya dari Bagas.
Sejujurnya Alina sudah menduga kalau Bagas akan melamarnya dalam waktu dekat ini. Itulah mengapa ia sering berdalih jika Bagas mengajaknya bertemu. Namun, kali ini ia tidak bisa menahan Bagas untuk tidak bertemu dengannya lagi.
"Kenapa Alina? Kamu tidak ingin menikah denganku?" Bagas terlihat kecewa.
"Mana mungkin aku tidak ingin menikah dengan kamu, Mas. Kamu tahu kalau itu adalah cita-citaku untuk menjadi istri dari dokter Bagas yang terpandang. Tapi bukan sekarang. Aku masih kuliah dan sekarang aku sedang cuti. Mana mungkin kamu menikah dengan wanita tidak berpendidikan seperti ku?" Alina merendah.
"Ayolah, Alina." Bagas terlihat kesal. "Sejak kapan aku mengatakan hanya akan menikah jika kamu wanita berpendidikan? Aku hanya butuh kamu, Al. Hanya kamu," bujuk Bagas tidak ingin menyerah.
"Tapi…"
"Alina!" Teriakan seseorang dari seberang jalan refleks membuat Alina menarik tangannya dari genggaman Bagas.
Alina gelagapan. "Itu Ibuku, Mas. Sebaiknya kamu pulang. Kita bicarakan ini nanti, ya," ujar Alina menyerahkan kembali bunga pemberian Bagas dan berlari menjauhi pria itu.
"Al…" Percuma Bagas berteriak, Alina sama sekali tidak mendengar teriakannya.
Wanita itu berlari tanpa menoleh sama sekali. Bahkan ketika Bagas masih memandang punggungnya dengan kecewa. Alina tidak menoleh.
Bagas menghela napas lemah. "Lagi-lagi kamu melakukan ini, Alina," gumam Bagas melemparkan bunga tersebut ke dalam tong sampah sebelum akhirnya benar-benar pergi dari sana.
Plak!
"Ma…" Alina memegang wajahnya yang baru saja terkena tamparan keras dari sang Ibu angkat.
"Kamu masih sempat menemui pria itu walau kamu tahu kalau adik kamu menyukainya, Alina?" tanya Ibu Alia, geram.
Dari kejauhan, ia melihat Alina dan Bagas bergandengan di sekitar kompleks rumah mereka. Meski ibu Alia menyukai Bagas, tetapi ia hanya mendukung jika Bagas bersama dengan anak keduanya, Aluna.
"Maksud Mama apa?"
"Kamu kira Mama tidak tahu kalau kamu diam-diam masih sering menemui Bagas. Kamu harus ingat, Alina. Kamu sudah berjanji pada ayah kamu yang terbaring di rumah sakit untuk menjauhi Bagas demi Aluna, adik kamu. Apa kamu lupa dengan janji kamu karena sekarang ayah kamu tidak mengawasi? Kamu ingin bertindak sesuka hati karena ayah kamu sakit? Hah? Begitu Alina?"tuduh ibu Alia.
Ibu Alia sepertinya tidak puas hanya dengan menuduh Alina. Kini ia kembali menyambung ucapannya. "Kamu memang mirip dengan ibu kamu. Sama-sama tidak punya hati!" hardik Ibu Alia berapi-api.
Alina balas menatap ibunya, nanar. Sungguh tega ibunya mengatakan hal seperti itu kepadanya. Meski ibunya tahu kalau selama ini Alina selalu mengalah kepada Aluna atas apapun yang ia inginkan.
Alina tidak pernah merasa iri ketika Aluna mendapatkan sesuatu atau menginginkan milik Aluna. Justru Aluna yang selalu menginginkan apa yang dimiliki Alina.
Satu-satunya yang Alina pertahankan sampai saat ini untuk tidak ia serahkan kepada Aluna hanya Bagas, pria yang sangat ia cintai.
Tetapi sepertinya ibu Alia memang tidak menyukai Alina meski ia berusaha berbuat baik atau mengalah.
Begitu pun jika menyangkut ayahnya. Alina juga selalu berjuang. Ia bahkan berhenti kuliah karena biaya kuliahnya ia korbankan untuk membayar biaya rumah sakit ayahnya.
Apa ibunya tidak melihat semua itu hingga dengan mudah mengatakan ia tidak memiliki hati dan terus menuduhnya?
"Aku memang tidak punya hati. Karena hatiku telah hancur selalu diperlakukan seperti ini oleh Mama dan Aluna."
"Alina!"
Plak!
Tamparan kedua kembali mendarat di pipi sebelah kiri Alina.
"Berani kamu, ya? Kamu berani membantah ibu kamu sendiri? Apa kamu sudah memiliki keberanian?"
"Tidak." Alina menggeleng lemah dengan cucuran air mata yang tidak mampu ia bendung lagi. "Mana mungkin aku memiliki keberanian untuk melawan Mama. Sementara Mama adalah milik ayah yang paling berharga," balas Alina. Ia menatap meja makan yang telah dipenuhi makanan. Rasanya sangat lapar tetapi moodnya juga telah hancur karena ibunya mengajaknya berdebat.
"Aku akan kembali ke kamar. Mama dan Aluna bisa makan malam berdua saja," kata Alina lagi.
Alina menarik napas dalam, lalu berjalan cepat menuju kamarnya. Ia merasa lebih baik kelaparan di dalam kamar daripada harus satu meja dengan orang-orang yang selalu menganggapnya musuh.
Di dalam kamar, Alina menahan tangisnya di dalam selimut. Ia menumpahkan seluruh amarah dan air matanya. Setelah merasa puas, ia menyingkap selimut yang menutupi kepalanya dan mencoba mencari tisu di dalam tasnya.
Namun, bukannya menemukan tisu, ia malah menarik sebuah sapu tangan berwarna merah muda dengan sulaman benang berwarna putih di pinggirannya.
"Apa ini?" Alina membaca sulaman nama di ujung sapu tangan tersebut. "Selina?"
Alina mengernyitkan dahi. Ia seperti pernah mendengar nama itu. Ah, iya. Kini Alina ingat. Itu adalah nama yang disebutkan oleh Arham kepadanya.
Sayangnya, Alina tidak mengenal Arham dan tidak paham dengan ucapan pria tersebut.
"Apa ini sapu tangan milik anak kecil tadi?" Alina mengingat Aaron yang sempat ia selamatkan di tengah jalan tadi sore. Entah kenapa ia merasa perlu mengembalikan sapu tangan itu kepada pemiliknya.
[Kembali ke kejadian 5 jam sebelumnnya]
Kejadian itu bermula ketika sopir menghentikan mobil di depan lampu merah. Rama yang serius dengan ponsel di tangannya tidak menyadari jika Aaron yang duduk di kursi belakang membuka jendela mobil dan melihat seorang wanita yang hendak menyeberang.
"Mommy?" Aaron mengenali Alina sebagai ibunya dari foto milik ibunya.
"Mommy!" Aaron berteriak memanggil Alina yang telah berjalan jauh di seberang jalan. "Mommy."
"Tuan Kecil? Ada apa?" tanya Rama.
"Itu Mommy," teriak Aaron menunjuk ke arah Alina yang berjalan hendak menyeberang ke seberang jalan lagi. Aaron membuka pintu dan berlari menerobos mobil yang berhenti di samping kanannya.
"Tuan Kecil!" Rama panik dan bergegas keluar dari mobil. Tetapi lampu hijau telah menyala. Sementara Aaron telah berada di seberang jalan.
"Mommy. Tunggu Aaron, Mommy."
Aaron masih mengejar Alina yang semakin mempercepat langkahnya.
"Mom…" Aaron ikut menyeberang.
Beruntung, ketika Alina telah berada di tengah jalan, suara klakson mobil yang sangat keras membuatnya menoleh.
"Hei! Anak kecil. Apa yang kamu lakukan?" teriak Alina panik melihat Aaron berlari ke arahnya tanpa ragu.
"Mommy."
"Hei, awas!"
"Mommy…"
"Astaga!"
Alina dengan cepat berlari menuju Aaron. Lalu, dengan kekuatan penuh menariknya dalam gendonganan dan membanting tubuhnya di pinggir trotoar.
Brugh!!!
"Akh!" Alina terpental ke trotoar hingga lengan kanannya membentur tanah dengan keras ketika melindungi kepala Aaron.
"Mommy," panggil Aaron lagi. Ia tersenyum seraya mendongak menatap Alina yang masih memeluknya erat.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya Alina. Ia masih berbaring di trotoar sambil memegang kepala Aaron.
"Mommy."
"Tuan Kecil."
Rama yang baru sampai di tempat kejadian segera menarik Aaron dari pelukan Alina. Walau sebenarnya ia terkejut melihat wajah Alina, tetapi ia tidak bisa mengabaikan kondisi Aaron.
"Anda tidak apa-apa?" Rama memeriksa tubuh Aaron dan menggendongnya.
"Mommy… Jangan tinggalkan Aaron." Aaron kembali berteriak. Ia menunjuk ke arah Alina yang masih duduk di aspal sambil memegangi lengannya.
"Aaron mau Mommy."
Rama masih menggendong Aaron dan hendak berlari meninggalkan Alina tetapi kembali berbalik.
"Tolong ikut saya ke rumah sakit," kata Rama kepada Alina. Pada akhirnya ia tidak bisa mengabaikan Aaron yang terus memanggil Alina dengan sebutan mommy.
Alina mengangguk hendak mengikuti Rama dan Aaron untuk memastikan kondisinya. Ia tanpa sengaja menginjak sapu tangan milik Aaron dan memungutnya.
***
Di sisi lain, Arham tidak bisa melupakan pertemuan pertamanya dengan Alina beberapa jam yang lalu. Meski pertemuan itu hanya beberapa menit, tetapi ia merasa perlu untuk bertemu lagi dengan Alina.
Arham menatap foto mendiang istrinya yang sedang mengenakan sebuah gaun pernikahan. Ia menatap foto itu lamat-lamat. Tidak ada perbedaan jika ia ingin membandingkan wajah mereka berdua, Alina dan Selina.
Bahkan mata hazel yang diyakini Arham hanya indah di kelopak mata Selina, tampak sama indahnya di mata Alina.
"Alina?" Arham bergumam.
Entah kenapa ia merasa terganggu dengan pertemuan singkat itu. Mungkinkah mereka akan kembali bertemu? Atau Alina hanya wanita biasa yang sekadar lewat dalam hidupnya.
Tok! Tok!
"Masuk."
Seorang wanita membuka pintu setelah mendengar perintah dari Arham.
"Ada apa Lastri?" tanya Arham seraya kembali meletakkan foto mendiang istrinya di atas meja.
"Maaf mengganggu waktu istirahat Anda, Tuan. Tapi sejak tadi Tuan Aaron tidak berhenti bertanya mana Mommy mana Mommy. Saya tidak tahu harus menjawab apa, Tuan. Sementara Pak Rama sudah pulang," jawab Lastri tidak berani menatap majikannya.
Ia tahu kalau Arham tidak suka diganggu di waktu istirahat seperti ini.
"Kamu bisa keluar. Saya akan tidur di kamar Aaron malam ini," jawab Arham santai.
Lastri mengangguk kepada Arham dan keluar dari dalam kamar.
Masih di tempatnya, Arham menghela napas lemah. Sudah lama Aaron tidak menanyakan tentang ibunya. Apakah ini saatnya ia menceritakan kebenarannya? Arham masih menimbang ketika memasuki kamar Aaron. Kamar dengan nuansa kebun binatang yang dulu didekorasi sendiri oleh mendiang istrinya.
Di dalam sana, Aaron sedang berbaring sambil memeluk foto Selina.
"Mommy… Mommy…" Aaron mengigau dalam tidurnya.
Segera, Arham berlari mendekati Aaron. "Aaron, ini Daddy. Hei, tenanglah. Ada Daddy bersama mu." Arham duduk di tepi ranjang sambil mengelus rambut putranya.
Matanya seketika sedih ketika melihat foto Selina sedang berada dalam pelukan Aaron.
"Daddy?"
"Hei. Apa Daddy membangunkan mu?" tanya Arham, lembut.
Aaron mengusap matanya dan ikut duduk di samping ayahnya. "Tidak. Aku memang sedang menunggu Daddy."
"Oh, iya?" Arham tersenyum kecil. "Ada apa Tuan?" tanya Arham sedikit bercanda.
"Daddy, Aaron melihat Mommy. Mommy yang menyelamatkan Aaron tadi. Apa Mommy bersama Daddy?"
Arham menatap mata Aaron lalu memeluknya erat. "Daddy akan membawa Mommy untuk Aaron."
"Sungguh?" tanya Aaron antusias. Matanya berbinar mendengar janji ayahnya. "Mommy benar akan pulang?"
"Tentu saja. Sudah saatnya Aaron bertemu dengan Mommy." Arham berjanji dengan kesungguhannya.
"Janji?" tanya Aaron mengulurkan tangannya.
"Apa ini?"
"Paman Rama selalu melakukan ini ketika dia berjanji pada Aaron. Aaron juga sering melihat Daddy melakukan ini ketika di kantor," jelas Aaron tampak bersungguh-sungguh.
"Ah." Arham tertawa kecil. "Iya, sepertinya ini pertama kalinya Daddy membuat janji dengan Tuan Kecil. Maafkan saya Tuan karena tidak menyadarinya," ujar Arham menjabat tangan Aaron.
"Mulai hari ini Daddy berjanji akan membawa Mommy kembali kepada Aaron."
"Terima kasih, Daddy," balas Aaron segera memeluk tubuh ayahnya. "Aaron tidak sabar ingin tidur bersama Mommy dan Daddy."
Arham kembali tersenyum kecil. Ada rasa bersalah sekaligus sedih mendengar keinginan sang anak. Mungkinkah Arham bisa mewujudkan keinginan sang anak?
"Baiklah, sekarang Aaron tidur," pinta Arham menengok jam dinding yang telah menunjuk angka 10.
Tatapan mata Aaron yang begitu berbinar ketika membicarakan tentang ibunya diam-diam membuat Arham sedikit bersemangat dan penasaran tentang wanita yang ia sebut Mommy tersebut.
***