"Mi, tapi Yusuf tidak mencintai Nafisa," lirih Yusuf.
Terlihat di wajahnya rasa tertekan. Ini kali pertama Yusuf merasakan getaran terhadap perempuan. Dia sadar, Ratu bukanlah wanita yang baik dalam agama. Bukan wanita yang dianjurkan untuk dinikahi. Tapi hatinya tidak bisa menolak rasa cinta yang tumbuh.
"Suf, cinta bisa datang secara perlahan. Apalagi pada perempuan seperti Nafisa. Perempuan yang jelas dari keluarga baik-baik dan berakhlak baik pula," imbuh Umi Laila.
Yusuf pun berjongkok di hadapan uminya lalu menggenggam tangan yang mulai mengeriput itu. Menatap penuh harap agar uminya mengerti.
"Mi, ini pertama kalinya Yusuf merasakan rasa tertarik terhadap perempuan. Bukankah setiap orang mempunyai kesempatan untuk menjadi lebih baik, Mi? Yusuf yakin Ratu tidak akan mengecewakan. Yusuf mohon, Mi. Beri satu kesempatan untuk kami," pinta Yusuf dengan netra penuh permohonan.
Umi Laila menghela nafas panjang. Berpikir sejenak sebelum memberi jawaban untuk putranya itu. Sejujurnya, Umi Laila pun tidak suka melihat Yusuf kecewa. Namun Umi Laila juga tidak ingin Yusuf salah pilih istri. Umi Laila ingin Yusuf menikah dan bahagia dengan perempuan berakhlak baik, dari kalangan yang baik juga.
Banyak di luaran sana menantu dan mertua yang tidak akur. Atau sesama besan yang saling mencibir. Dan perbedaan cara hidup serta status sosial adalah salah satu penyebab yang paling sering terjadi. Umi Laila tidak ingin Yusuf, anaknya, dihina dan direndahkan oleh keluarga Ratu yang berasal dari kalangan atas. Jika terhadap anak sendiri saja mereka tega, apalagi terhadap orang dari luar? Begitu pemikiran Umi Laila.
"Mi?" panggil Yusuf yang melihat uminya terdiam.
"Baiklah. Tapi Umi tidak berjanji untuk menerima Ratu. Umi beri waktu kamu satu bulan. Jika kamu mampu membuat Umi yakin dan juga Ratu menjadi perempuan yang lebih baik, Umi akan pertimbangkan." Umi Laila menatap tegas ke arah Yusuf.
"Umi melakukan ini semata-mata demi kebaikanmu. Umi tidak ingin kamu salah pilih. Jika pun gadis itu menjadi baik, bagaimana dengan orangtuanya? menikah bukan hanya soal dua hati, tapi dua keluarga pun menjadi satu. Pikirkan lagi apa yang umi katakan," sambung Umi Laila.
Yusuf mengangguk sambil sambil mencerna ucapan uminya. Dia tahu, apa yang Umi Laila katakan benar adanya. Tapi Yusuf akan mencoba dan berusaha. Untuk hasil, serahkan pada yang maha kuasa.
"Terimakasih, Umi," ucap Yusuf sambil menciumi punggung tangan Umi Laila.
Umi Laila hanya mengangguk sambil mengulas senyum tipis. Dalam hatinya, Umi Laila beristighfar dan memohon ampun karena memberi harapan palsu. Yusuf telah salah langkah menurutnya. Dan sebagai orangtua, Umi Laila akan meluruskan kesalahan itu.
"Temui gadis itu. Dan besok, ajak ke rumah. Biar Umi bisa lebih mengenalnya. Sekarang keluarlah, lanjutkan jualanmu. Umi mau istirahat dulu," titah Umi Laila yang diangguki Yusuf. Yusuf pun kemudian melangkah meninggalkan Umi Laila dengan pikiran yang berkecamuk.
***
Ratu terpekur menatap meja di depannya. Setelah tak sengaja mendengar percakapan Yusuf dan uminya. Bukan niat Ratu menguping pembicaraan ibu dan anak itu. Tapi ruangan yang tidak begitu besar dan hanya tersekat oleh dinding dari triplek membuat percakapan Yusuf dan uminya terdengar sampai di luar. Tidak keras, namun cukup ditangkap telinga Ratu.
Apa dirinya begitu buruk dan tidak mempunyai kesempatan hingga Umi Laila pun enggan menerimanya? Sungguh, di dalam hati Ratu, dirinya ingin berubah menjadi lebih baik. Bukan hanya karena Yusuf, tapi Ratu menyadari, betapa berdosanya dia selama ini.
Dan memang perbuatannya akhir-akhir ini sangat kurang bagus. Mungkin memang dirinya tak cukup baik untuk Yusuf yang hidup lurus. Tapi bagaimana dengan rasa cintanya? cinta yang datang tanpa disengaja. Rasa itu tidak salah. Ratulah yang salah karena tidak cukup baik untuk menjadi seorang calon menantu idaman.
"Hey, ngelamun? tidak baik gadis sore-sore begini melamun," ujar Yusuf mengagetkan Ratu.
"Eh, enggak kok. Cuma lagi mikirin kerjaan," balas Ratu dengan senyuman. Berusaha menutupi rasa tertekan yang melanda hatinya.
"Kirain mikirin kita, eh aku maksudnya," canda Yusuf mencairkan suasana.
Ratu terkekeh mendengarnya. Menatap balik Yusuf yang duduk di hadapannya. Terpesona dengan laki-laki itu.
"Aku mau bicara serius sama kamu," kata Yusuf setelah beberapa saat dalam keheningan.
"Jika aku ingin kita lebih serius, apa kamu mau?" Yusuf memandang Ratu dengan tatapan serius.
Jantung Ratu berdebar. Kalimat Yusuf membuatnya salah tingkah.
"Emh, mak-maksud kamu?" gagap Ratu.
"Aku menyukaimu, Ratu. Dan jika kau berkenan, maukah kamu berusaha bersamaku untuk menjalani kehidupan yang sesaat ini?"
Ratu tiba-tiba merasa gugup saat Yusuf mengungkapkan niatnya itu. Namun tak dipungkiri, hatinya teramat bahagia. Karena cintanya berbalas.
"Aku mau. Ajarkan aku menjadi perempuan yang baik," jawab Ratu dan diangguki oleh Yusuf. Dua muda-mudi itu pun larut dalam rasa bahagia yang membuncah.
***
Hari berikutnya, Ratu sengaja tidak masuk kantor untuk memenuhi permintaan Yusuf. Umi Laila memintanya bertandang ke rumah. Dengan cemas, Ratu memilih pakaian yang pantas untuk dikenakan. Semalam, sepulang dari tempat Yusuf Ratu sempat mampir ke butik langganannya untuk mencari baju gamis.
Banyak gamis yang dia beli karena bingung model mana yang cocok untuknya. Setelah beberapa waktu, akhirnya Ratu memutuskan mengenakan gamis simpel berwarna peach dengan jilbab senada. Terlihat sangat cocok dengan kulitnya yang putih bersih.
Lalu Ratu pun pergi ke alamat yang sudah Yusuf berikan kemarin. Sebuah alamat yang Ratu ketahui adalah daerah pinggiran kota. Tak begitu jauh dari pusat. Tapi yang Ratu dengar, masyarakat disana adalah kelas menengah ke bawah.
Hanya tiga puluhan menit waktu yang Ratu butuhkan untuk sampai ke tempat tujuan. Sebuah rumah minimalis satu lantai. Tidak terlalu besar tapi terasa asri dengan hiasan tanaman hias di halaman yang tak begitu besar. Ratu memarkirkan mobilnya dan menuju ke pintu yang tertutup.
Menghela nafas panjang untuk menyiapkan diri, kemudian Ratu mengetuknya.
Tok tok tok
Tak berapa lama, pintu terbuka menampilkan sosok Yusuf yang menjulang. Yusuf tersenyum menyambut kedatangannya. Membuat Ratu gugup sambil meremas-remas jemarinya.
Setelah berbasa-basi sebentar, Ratu mengikuti Yusuf masuk ke dalam rumah. Ratu duduk di sofa minimalis yang ada di ruang tamu. Menunggu kedatangan Umi Laila yang tengah dipanggil Yusuf.
"Maaf ya, Umi sedang di dapur," kata Umi Laila.
Ratu mengambil tangan Umi Laila dan menciumnya seperti yang kemarin Yusuf lakukan. Bahkan pada papa mamanya Ratu sekalipun belum pernah. Biasanya Ratu hanya bersalaman dengan teman atau rekan kerja. Hanya bersalaman biasa.
"Duduklah dulu Nak Ratu. Kamu bisa memasak? Umi ingin memasak bersama," kata Umi Laila.
Yusuf pun menatap ke arah Ratu yang duduk dan terlihat kurang nyaman.
"Emh, sa-saya ti-tidak bisa memasak, Umi," sahut Ratu malu.
Seumur hidupnya, Ratu belum pernah memasak. Semua kebutuhannya dilayani oleh para pembantu. Jangankan memasak, menyalakan kompor saja belum pernah Ratu lakukan.
"Tidak bisa memasak?" Umi Laila menatap Yusuf dengan tatapan sulit diartikan. Sementara Yusuf berdehem untuk mencairkan suasana. Nampak Ratu semakin terlihat tidak nyaman dan gelisah.
"Biar Yusuf dan Ratu bantu Umi memasak, ya. Umi tinggal bilang apa yang harus kami lakukan, iyakan Ratu?"
Ratu mengangguk dengan senyum canggungnya.
"Tidak perlu. Dan lagi kamu harus ke pasar untuk membeli bahan untuk nasi goreng. Sudah, kamu ke pasar saja, Suf. Biar Umi nanti yang masak," titah Umi Laila
"Tapi Mi, apa tidak sebaiknya Yusuf libur dulu jualan?" tanya Yusuf yang merasa agak keberatan meninggalkan Ratu sendiri di rumah. Pasti suasana akan sangat kaku karena Ratu tak sesuai harapan uminya.
"Tidak perlu. Biar Umi masak dibantu ...."
"Assalamu'alaikum," salam sebuah suara dari arah luar.
Bertiga pun menoleh ke arah pintu. Netra Yusuf membola melihat siapa yang datang. Pun dengan Ratu memicingkan matanya penasaran.