Aksara mengedarkan pandangannya ke bangunan rumah kecil dari jendela mobi. Kemudian mendengus tanda mencela. Betapa jeleknya rumah itu menurutnya. Kecil, tanpa terlihat ada kemegahan di sana. Apa yang bisa dibanggakan?
Bahkan halamannya saja tak cukup luas untuk memarkir satu mobil. Tak ada bunga hias yang berharga. Hanya bunga-bunga murahan yang walaupun tertata rapi, tak akan cukup membuat Aksara mengaguminya. Dengan cat yang hampir pudar, membuat Aksara semakin menatap remeh rumah itu.
Namun, Aksara tetap turun dari mobilnya dan berjalan memasuki halaman. Dibiarkannya sopir menunggu di mobil. Ada yang harus dia selesaikan dengan cepat. Aksara tak mau bertele-tele dengan urusan yang menyangkut nama baiknya.
Dengan sedikit enggan, diketuknya pintu rumah itu. Beberapa kali tanpa ada rasa sabar di setiap ketukannya. Biarlah, memang orang miskin pantas diperlakukan seenaknya, begitu pikir Aksara.
Pintu terbuka menampilkan sosok wanita yang Aksara taksir tak jauh darinya. Wanita itu menatap Aksara dengan kening berkerut.
"Iya, maaf Bapak siapa? ada keperluan apa di rumah saya?" tanya Umi Laila.
Ya, Aksara memang menyambangi rumah Yusuf. Dengan terpaksa karena ada tujuan tentunya.
"Bisa saya bicara dengan anda?"
Bahkan Aksara merasa tak perlu berbasa-basi dengan Umi Laila. Hanya membuang waktunya yang berharga. Dia akan langsung pada pokok permasalahannya.
"Oh, silakan duduk, Pak," kata Umi Laila sambil menunjuk kursi di teras.
"Tidak perlu! kedatangan saya kemari hanya ingin memperingatkan Anda dan juga anak Anda yang bernama Yusuf. Jauhi anak saya, Ratu. Jangan berpikir untuk bisa menjadi bagian dari keluarga saya. Karena tidak ada tempat untuk orang miskin di dalam keluarga saya. Jangan berpikir bisa memanfaatkan Ratu, karena saya tidak akan pernah tinggal diam," tegas Aksara.
Kata-kata tajam yang dilontarkan oleh Aksara sukses membuat Umi Laila terkejut. B
"Maksud Bapak? Saya tak pernah sekalipun berpikiran seperti yang barusan Bapak ucapkan. Dan saya yakin anak saya pun begitu. Walaupun kami miskin, pantang bagi kami melakukan hal yang tidak benar hanya demi harta. Tolong dijaga kata-kata Anda!" balas Umi Laila tidak terima. Netranya menatap tajam ke arah Aksara.
"Apa lagi yang kalian incar jika bukan harta? Saya yakin anak Anda itu mendekati Ratu demi merubah nasibnya yang hanya sebagai penjual nasi goreng. Siapa yang tidak tertarik dengan anak saya? cantik, menarik, dan kaya raya. Tentu menjadi incaran bagi orang-orang miskin seperti keluarga Anda untuk bisa memanfaatkannya!" tuduh Aksara.
"Astaghfirullah! jaga ucapan anda, Pak. Jika kemari hanya untuk memberikan tuduhan-tuduhan yang tidak benar dan hanya membuat keributan, lebih baik Anda pergi! Walaupun miskin, kamu masih punya harga diri!"
Aksara menatap remeh ke arah ibu Yusuf sambil menyeringai sinis. Tangannya bergerak meraih saku jas dan mengeluarkan selembar kertas lalu meletakkannya di meja di hadapan mereka.
"Ini cek senilai lima ratus juta. Kalian bisa menggunakannya untuk ... yah modal usaha dan merenovasi rumah yang tak layak ini. Saya rasa ini harga yang pas untuk kalian. Cukup jauhi anak saya dan uang ini bisa kalian dapatkan. Coba bayangkan, berapa tahun waktu yang kalian butuhkan untuk uang sebanyak ini mengandalkan jualan nasi goreng?"
Umi Laila menatap Aksara dengan marah. Bahkan netra tuanya mulai merembangkan airmata karena rasa marah dan terhina. Sekalipun di dalam hatinya Umi Laila beristighfar dan mencoba sabar, namun hinaan yang Aksara lakukan sungguh melukainya.
"Silahkan Anda pergi dari sini dan jangan pernah sekalipun menginjakkan kaki anda ke rumah saya!" tekan Umi Laila.
Aksara tertawa terbahak-bahak. Sungguh lucu baginya. Orang miskin yang sok jual mahal, itulah sebutan yang aksara sematkan untuk Umi Laila.
"Jangan sombong, Bu! jangan munafik dan membesarkan gengsi dengan mengatasnamakan harga diri. Harusnya Anda bersyukur sekarang saya masih mau menawarkan kebaikan ini. Oh saya tahu, anda merasa kurang? oke! Sebutkan berapa yang Anda mau!" tantang Aksara.
"Saya tak butuh uang Anda! Dan juga tak butuh anak Anda menjadi menantu saya! Yusuf anak saya lebih dari mampu untuk mempunyai istri yang baik paras dan budinya. Anda pikir anak Anda gadis idaman? cantik paras tapi tak punya kecantikan hati. Jadi silakan Anda angkat kaki dari rumah saya!" usir Umi Laila yang sudah habis batas sabarnya. Nafas Umi Laila terengah-engah. Wanita tua itu mulai merasa sesak akibat kemarahan yang berkumpul.
"Cih! sombong sekali Anda! Baiklah jika niat baik saya Anda tolak. Tak masalah," ujar Aksara enteng.
"Niat baik? Anda datang kemari tak lebih hanya untuk sebuah penghinaan!"
Aksara mengabaikan kata-kata Umi Laila dan lebih memilih berdiri. Dimasukkannya kembali cek yang ditolak. Lalu menatap ke arah Umi Laila tajam.
"Saya pegang kata-kata Anda tentang menolak Ratu. Jadi mulai sekarang, bilang kepada anak Anda untuk jangan mendekati Ratu. Seorang Ratu tidaklah pantas bersanding dengan kaum jelata seperti kalian! camkan itu!"
Usai mengatakan kalimat yang penuh hinaan itu, Aksara melenggang keluar dari rumah Yusuf dengan santai seolah tak terjadi apa-apa. Pria paruh baya yang terlihat berkharisma itu menaiki mobilnya dan melaju pergi.
Umi Aqila terisak sepeninggalan Aksara. Hatinya terasa amat sakit. Hinaan demi hinaan yang dilontarkan Aksara melukai perasaannya. Sungguh, dia tak mampu menerimanya. Hatinya yang tua terlalu rapuh untuk hinaan itu.
Apalagi Aksara begitu meremehkan anaknya. Yusuf, satu-satunya berlian berharganya. Tak ada ibu yang menerima jika anaknya di hina. Walaupun Umi Laila sadar, memang dirinya miskin dan tak berharta. Tapi bukan berarti bisa dihina dan dipandang sebelah mata.
Tak ada yang ingin terlahir miskin dan kekurangan. Namun bukan berarti karena kemiskinan harga dirinya bisa dibeli. Bahkan sekalipun kekurangan setelah ditinggal mati oleh suaminya, Umi Laila tak pernah menadahkan tangan sekali pun. Pahitnya kehidupan dia telan sendiri tanpa berharap belas kasihan dari orang lain.
Umi Laila semakin yakin untuk mendesak Yusuf menikah dengan Nafisa. Apalagi yang hendak diharapkan dari Ratu? selain Nafisa lebih baik dari Ratu, keluarga Nafisa pun sudah dekat dengannya dan almarhum suaminya sedari dulu. Hingga mengetahui bagaimana keluarga itu. Tak ada rasa ragu dalam diri Umi Laila untuk mengambil Ratu sebagai menantu dan berbesanan dengan keluarga sahabat almarhum suaminya.
Andai saja suaminya masih hidup, tentu akan lebih tegas terhadap Yusuf. Dan Yusuf tak perlu menjadi penjual nasi goreng hingga bertemu dengan gadis tidak baik itu. Dirinya juga tak akan direndahkan oleh orang yang tak dia kenal.
Umi Laila beristighfar sambil menangis. Bukan dia tak menerima takdir yang Tuhan kehendaki. Tapi rasa sakit karena hinaan Aksara membuat pikirannya kurang jernih. Akankah Yusuf mau merubah hatinya dan menerima perjodohan yang dia inginkan? karena jika Yusuf tetap pada pendiriannya, Umi Laila tak akan ridho bermenantukan Ratu.
"Bi, apa yang harus Umi lakukan untuk meluluhkan hati anak kita? Umi sakit hati Bi, Umi sakit hati dengan hinaan ini. Umi rindu Abi, Umi rindu Abiii ...." Umi Laila tergugu sambil menatap foto suaminya yang tergantung di dinding. Berat rasanya hidup tanpa suami yang sangat dicintainya itu. Hanya Yusuf lah penguat dan semangatnya. Tapi bintang hatinya itu sekarang tengah salah pilih. Tugasnya lah untuk meluruskan.
"Andai Abi masih hidup, tentu semua takkan seberat ini!"
Bbrrrakkkk ...
"Umi?!"