Chereads / Sehelai Mahkota Untuk Ratu / Chapter 19 - Bab 19

Chapter 19 - Bab 19

"Aduh!"

Lagi-lagi Ratu mengaduh saat sebuah pulpen dilemparkan oleh Dion.

"Jangan suka berpikiran buruk! Apalagi pada orang yang seharusnya kau hormati dan junjung tinggi! Jangan sampai kau menyesali semua pikiranmu itu," tegas Dion.

"Memang apa yang ku pikirkan? dasar asisten sok tahu! tidak punya malu! brengsek! kurangajar! tak punya harga diri!" dan umpatan-umpatan lain Ratu keluarkan dengan menghentak-hentakkan kakinya seperti anak kecil merajuk.

"Ya ya ya! terserah kamu menyebutku apa. Daripada kamu, tuan putri yang cuma mengandalkan mata tapi otak zonk!" hina Dion.

"Ka-mu-me-mang-breng-sek!!!" Setiap suku kata Ratu tekankan bersamaan dengan melayangnya kepalan-kepalan tangan Ratu ke dada Dion.

Dion mengerang. Bukan karena sakit. Tapi karena kesal terhadap anak dari atasannya itu.

"Diam atau kupanggil Brama brengsek itu sekarang untuk membawamu!" bentak Dion.

Ratu pun berjengit mendengar nama Brama dan menghentikan serangannya pada Dion.

"Buat apa kau mengubah penampilanmu jika tingkahmu saja bar-bar!"

"Jangan bawa-bawa hijabku!" sentak Ratu tak terima.

"Aish! Sudahlah. Ayo lekas keluar! Ku antar kau pulang. Aku banyak pekerjaan daripada harus meladeni tingkah absurdmu!" gusar Dion.

Ratu mencebik. Padahal Dion yang menyebalkan, kenapa dia yang disalahkan? Ratu kemudian melangkah dengan kesal menuju pintu keluar.

Dion menggelengkan kepala dan mengikuti gadis itu.

"Jangan ke rumah!" cegah Ratu saat Dion mengarahkan mobilnya ke rumahnya.

"Terus kemana?" tanya Dion heran.

"Antarkan aku ke jalan Armada 5," pinta Ratu.

Dion mengiyakan dan memutar kemudinya.

"Belok kiri di gang depan dan berhenti di rumah nomor 19," pinta Ratu lagi.

Dion tak menanggapinya namun mengikuti kata gadis itu.

Sampailah mereka di depan rumah Yusuf.

"Tunggu sebentar, aku hanya sebentar saja," kata Ratu.

"Kau membuang-buang waktuku!" sungut Dion.

"Sebentarrrrrr saja. Aku cuma mau mengecek saja. Tidak lama," tambah Ratu.

Dion hanya mendengus sebagai jawabannya.

"Cepatlah! kalau kelamaan ku tinggal kau!" ketus Dion yang membuat Ratu mengerucutkan bibirnya.

Ratu segera turun. Namun beberapa kali salam yang dia ucapkan tak mendapatkan jawaban dari rumah itu. Sepertinya Yusuf dan ibunya memang tengah pergi.

Bahu Ratu merosot. Kecewa, karena Yusuf tidak memberikan kabar padanya. Padahal sebelumnya Yusuf berniat berusaha memperjuangkan hubungan mereka.

"Kamu kemana sih, Suuuffff?" desah Ratu sambil terus menatap ke arah kediaman Yusuf itu.

"Nyari Umi Laila, Neng? Lagi nggak ada," celetuk salah seorang ibu yang kebetulan lewat.

Ratu pun menoleh dan menatap penasaran ke arah ibu itu.

"Iya, Bu. Pergi kemana ya? apa sama Yusuf juga?" tanya Ratu sopan.

Tapi justru Ibu itu menampilkan ekspresi terkejut menyadari siapa Ratu.

"Loh, Neng yang pelakor itu kan? Yang ngincar Mas Yusuf? Aduh, jangan ketinggian kalau mimpi, Neng. Nggak level Mas Yusuf mah sama pelakor," cerocos ibu-ibu itu.

Ratu merasa tersinggung, namun dia membutuhkan info kemana Yusuf dan uminya sebenarnya.

"Bu, kalau berkenan, bisa Ibu beritahu saya Yusuf dan uminya pergi kemana?" pinta Ratu.

"Kenapa Neng? Mau mengacaukan hari pentingnya Mas Yusuf?" tanya tetangga Yusuf itu ketus.

"Hari penting? hari penting apa ya Bu?"

Mata ibu itu membola, lalu tiba-tiba mengubah ekspresinya menjadi senyuman. Tapi Ratu tidak menyukai senyuman itu. Terlihat seperti tidak tulus.

"Neng belum tahu, ya? Saya kasih alamat saja ya, Neng. Biar Neng tahu sendiri. Tapi awas ya, kalau sampai bikin keributan. Saya nggak ikut tanggungjawab," ancam Ibu itu.

"Iya iya. Cepat Bu, mana alamatnya?" desak Ratu tak sabar.

Tetangga Yusuf itu pun menyebutkan sebuah alamat dan di catat oleh Ratu memakai ponsel.

"Makasih ya, Bu. Saya pamit," kata Ratu cepat.

"Ya ya ya, sana pergi. Takut bawa apes pelakor lama-lama di sekitar sini. Eh, awas jangan jantungan yaaa ...," seru Ibu itu dan tak digubris oleh Ratu.

"Tetangga rese!" gumam Ratu sambil melangkah cepat ke arah mobil Dion.

"Antar aku ke alamat ini, ya!" pinta Ratu sambil menunjukkan layar ponselnya ke Dion.

"Apa lagiiii...?" gusar Dion.

"Kata tetangga Yusuf tadi Yusuf dan uminya di alamat ini. Tidak terlalu jauh, kok. Mungkin rumah kerabat mereka," ujar Ratu.

"CK! Merepotkan!" desis Dion.

Tapi tetap saja Dion mengantarkan Ratu. Walaupun di sepanjang jalan Dion menekuk wajahnya kesal.

Sementara Ratu hanya diam sambil menatap jalanan. Batinnya penasaran. Apa yang dimaksud tetangga Yusuf tentang hari penting? Apakah Yusuf tengah mengadakan acara keluarga?

Ada perasaan tidak enak menyelinap di hati Ratu. Namun segera ditepisnya. Mungkin Yusuf memang sedang sibuk, batin Ratu.

"Sudah dekat!" cetus Dion.

Ratu menegakkan badannya dan melihat mobil yang mereka tumpangi masuk ke sebuah gang.

"Kayaknya yang itu, deh!" tunjuk Ratu ke arah sebuah rumah yang berada paling pojok. Rumah dengan halaman yang luas dan terpasang tenda hajatan.

"Apa ada sanak Yusuf sedang hajatan?" gumam Ratu.

"Kamu tunggu disini saja!" perintah Ratu pada Dion.

Ratu pun keluar dari mobil Dion dan menghampiri rumah yang tengah ramai orang itu.

"Maaf, permisi. Apa benar ini rumah saudara Yusuf?" tanya Ratu pada salah seorang wanita ada di barisan penerima tamu.

"Saudara?" cetus salah seorang penerima tamu.

Deretan penerima tamu wanita berjumlah enam orang itu nampak saling berbisik. Sesekali mereka menatap ke arah Ratu. Membuat Ratu merasa risih di tatap sedemikian rupa.

"Eh, Yusuf yang saya maksud adalah Yusuf yang jualan nasi goreng di jalan Sangsaka. Masih muda tinggi, berkulit sawo matang dan berlesung pipi. Ibunya biasa dipanggil Umi Laila. Biasa memakai jilbab besar. Apa ada yang mengenalnya?" ulang Ratu dengan menyebut ciri Yusuf dan uminya.

Berpikir bahwa pertanyaan pertamanya tadi kurang tepat. Karena mungkin saja mereka warga di sekitar sini sehingga tidak mengenal Yusuf dan uminya.

"Ada perlu apa sama Yusuf?" celetuk salah wanita yang berdiri paling pinggir.

"Saya ada keperluan pribadi sama Yusuf. Kalau boleh, bisa tolong panggilkan? hanya sebentar saja," pinta Ratu.

"Kalau ada perlu langsung masuk saja."

Mendapatkan ijin masuk, Ratu pun melangkahkan kaki memasuki halaman yang telah berhias bunga-bunga. Khas dekorasi hajatan pernikahan.

Banyak sorot mata ke arah Ratu saat dia datang. Beberapa nampak memasang wajah kaget kemudian tersenyum mencemooh. Mereka yang menatapnya miring pasti sudah menonton video vitalnya yang beredar.

Ratu yang sudah biasa mendapatkan tatapan itu bersikap seolah tak terjadi apa-apa. Tujuan utamanya adalah Yusuf. Matanya mengedar mencari sosok Yusuf dan uminya di antara tamu yang duduk.

Kemudian Ratu mematung kaget. Mengucek matanya untuk memastikan dia tak salah lihat. Ya, akhirnya dia berhasil menemukan sosok Yusuf.

Namun semua tak seperti yang disangkanya. Yusuf tidak berada di deretan para tamu. Seperti yang dipikirnya tadi. Yusuf berada di sana. Di atas kursi pelaminan bersanding dengan Nafisa yang telah di make up sangat cantik. Yusuf pun terlihat amat tampan dan serasi mengenakan jas putih yang senada dengan baju pengantin yang Nafisa kenakan.

Seperti mimpi buruk. Air mata segera mengalir di pipi Ratu. Tidak, dia tidak salah lihat. Memang di kursi pelaminan, duduk sepasang pengantin. Dan pengantin laki-laki itu adalah Yusuf, laki-laki yang sempat mengungkapkan keseriusan kepadanya.

"Yusuf?" gumam Ratu lirih. Tentu saja tak terdengar di sana karena ramai orang.

Namun seolah mempunyai ikatan batin, setelah Ratu mengucapkan namanya. Di pelaminan Yusuf mengarahkan mata ke tempat Ratu berdiri mematung. Yusuf pun terkejut dan sontak berdiri.

Mereka saling tatap dengan mata yang saling menyiratkan luka. Umi Laila yang melihat arah pandang anaknya pun segera berdiri dan datang ke arah Ratu. Yusuf sendiri semula hendak menghampiri Ratu.

Namun, Yusuf sadar, akan menarik perhatian tamu jika dia menghampiri Ratu sekarang. Yusuf masih berpikir jernih untuk tidak mengacaukan hari penting yang diimpikan uminya itu.

"Mau apa kamu datang kemari?!"

Ratu tertegun.