Chereads / Sehelai Mahkota Untuk Ratu / Chapter 20 - Bab 20

Chapter 20 - Bab 20

"Mau apa kamu datang kemari?!"

Ratu tertegun. Mulutnya terasa kelu. Pikirannya terasa buntu. Bahkan untuk berucap pun Ratu seakan kehilangan suaranya.

"Nak Ratu, Umi mohon. Umi mohon dengan sangaaaatttt! Jangan mengganggu Yusuf lagi. Carilah lelaki lain yang selevel denganmu. Pasti banyak di luar sana yang mau. Tapi jangan anak Umi," pinta Umi Laila dengan penuh harap. Bahkan kedua tangan keriputnya menangkup di depan dada.

Wanita tua itu telah di rias sedemikian rupa di resepsi pernikahan anaknya. Umi Laila tidak ingin, hari bahagia ini terancam kacau karena kehadiran Ratu. Bukan itu saja. Umi Laila tidak mau Yusuf terbayang-bayang oleh sosok Ratu.

Yusuf telah berubah status sekarang. Ada hati yang harus dijaga dan dibahagiakan. Jika Ratu muncul, pasti akan membuat galau hati Yusuf. Dan Umi Laila tidak mau melihat menantunya bersedih di awal pernikahannya.

"Tolong, pergilah! Sudah tidak ada lagi yang bisa kau harapkan disini. Carilah hidupmu sendiri. Hiduplah dengan lebih baik dan menjadi perempuan muslimah seutuhnya. Carilah imam yang bisa menuntunmu. Ada banyak di luar sana. Yang sesuai kriteria menantu idaman ayahmu!"

Ratu menatap ke arah Umi Laila. Kenapa Umi Laila menyebut ayahnya? Apa mereka sudah pernah bertemu?

"Tak perlu lagi kau menemui Yusuf. Lupakan dia. Sama seperti Yusuf yang akan memulai hidup baru dan melupakanmu. Kamu hanyalah kekhilafannya sesaat. Untuk hidup dan masa depannya, ada Nafisa yang akan menemani dan menjadi bidadari surganya."

Lagi-lagi Ratu terdiam. Bidadari surga? ya, tentu saja. Dirinya tak pantas untuk menyandang sebutan itu. Jadi tidak salah jika Umi Laila lebih memilih Nafisa. Karena memang baik ilmu agama dan budinya. Sementara dia? ah, sudahlah.

Ingin sekali rasanya Ratu menangis saat ini. Tapi sekuat hati, di tahannya Isak yang hampir lolos. Tidak, dia tidak boleh menunjukkan kerapuhannya. Itu hanya akan membuat Yusuf merasa bersalah.

Cukup sudah dirinya menjadi sosok yang buruk selama ini. Jangan lagi pada pria yang dia cinta. Mungkin Yusuf memang lebih baik dengan Nafisa.

Ratu menghela nafas panjang mencoba mengendalikan kesedihannya.

"I-iya, Umi. Bolehkah Ratu mengucapkan selamat kepada mempelai?" tanya Ratu pelan.

Umi Laila nampak menimbang-nimbang. Sebelum akhirnya menatap mata Ratu intens.

"Baiklah, untuk terakhir kalinya. Dan jangan pernah mencoba untuk menggoyahkan Yusuf. Karena cinta saja tidak cukup untuk menjadi hamba yang dirindukan surga," tegas Umi Laila.

Ratu mengangguk kaku. Lalu mengikuti langkah Umi Laila menuju pelaminan. Di sorot banyak pasang mata dari tamu undangan. Ratu berusaha tegar.

Sedangkan Yusuf, duduk dengan tegak mematung.

"Selamat atas pernikahan kalian. Semoga bahagia," ucap Ratu tercekat di hadapan Yusuf dan Nafisa. Yusuf hanya diam tanpa membalasnya.

Merasa kecanggungan, Nafisa meraih tangan Ratu dan berpelukan sekilas. Nafisa tersenyum tipis.

"Terimakasih sudah datang. Maaf jika tidak mengirim undangan. Semoga segera menemukan jodohnya dan menyusul kami, Mbak," ucap Nafisa tulus.

Ratu mengangguk kaku. Saat matanya beralih ke arah Yusuf, Yusuf menatap dalam ke arahnya sekilas lalu mengalihkan tatapannya. Dan Ratu mengerti isyarat itu.

"Selamat, Suf," ucap Ratu kemudian.

Yusuf mengangguk samar.

"Maaf," gumam Yusuf.

Ratu tak lagi ingin berada disana. Dengan gegas, dilangkahkannya kaki menuju keluar tenda. Isaknya mulai tak tertahan. Tak dihiraukannya mata demi mata yang mengikuti geraknya. Seolah mencari cela untuk lebih membuatnya buruk.

Nafisa tahu apa yang tengah melanda hati suaminya. Dengan lembut, diusapnya bahu Yusuf. Yusuf menoleh dan menemukan wajah teduh itu tersenyum manis.

"Maafkan aku," cetus Yusuf.

Nafisa mengangguk.

"Kita mulai dari awal," jawab Nafisa.

Yusuf mengangguk pelan.

***

Ratu menemukan Dion berdiri bersandar kap mobil dengan tangan bersedekap. Ratu berpura-pura menatap ke atas untuk menahan air yang nyaris tpah dari matanya. Tak ingin kelemahannya menjadi tontonan.

Dion mengerti apa yang terjadi. Karena tadi sempat mengikuti Ratu ke dalam tenda. Namun Dion enggan jika harus ikut campur. Itu bukan ranahnya. Biarlah anak nyonyanya itu menghadapi masalahnya sendiri.

Simpati, Dion membukakan pintu untuk Ratu. Kemudian baru dirinya masuk dan duduk di belakang kemudi. Tak ada kata yang terucap. Tak ada tanya yang terlontar. Dion diam, membiarkan Ratu dengan pikirannya sendiri.

Sementara Ratu menempelkan wajahnya ke kaca jendela. Bukan untuk melihat pemandangan, tapi untuk menyembunyikan airmatanya.

"Ku antar pulang?" tanya Dion memecah keheningan.

"Ya," jawab Ratu dengan suara serak.

Mobil pun menuju kediaman Ratu. Tak butuh waktu lama, mereka pun sampai.

Ratu turun begitu saja tanpa mengucapkan apapun pada Dion. Pikirannya sedang tidak jernih saat ini. Ratu hanya ingin mengurung diri di kamar. Tanpa bertemu siapa pun. Dia ingin menikmati rasa sakit hatinya sendiri. Tentu sendiri, karena memang tiada satu pun yang peduli.

"Aaaarrrrrgggghhhhh!" jeritnya.

Ratu luruh di lantai kamar mandi. Tubuhnya bergetar karena isakan di bawah kucuran air dari shower. Tak di pedulikannya pakaian yang masih lengkap di badan. Ratu sakit, hancur, hampir tak bersisa harapan untuk mewujudkan hidup yang lebih baik.

Untuk apa dia hidup jika hanya selalu kecewa dan tersakiti?

"Apa salahku? Kenapa semua tak menginginkanku seutuhnya? Kenapa semua menjauh dariku? Kenapa hidupku tak adil?" rintih Ratu. Diusapnya wajahnya dengan kasar. Airmata bercampur kucuran air menjadi saksi betapa patah hatinya.

"Apa aku tak pantas mendapatkan cinta tulus? Apa aku tak pantas untuk bahagia? Lalu kenapa aku dilahirkan? Kenapa kau memberiku kehidupan Tuhaaannnn!" jerit Ratu putus asa.

Seminggu setelah kejadian hari itu, Ratu bersikap murung dan dingin. Tak ada senyuman maupun melakukan hal yang menyenangkan. Ratu menyibukkan diri dengan bekerja.

Pergi pagi dan pulang setelah malam. Tak ada kegiatan lain. Ratu seakan kehilangan separuh jiwanya. Sinar di wajahnya pun terasa redup.

Aksara menyadari itu. Namun keserakahan mematikan rasa ibanya. Baginya, selama Ratu bekerja dengan baik dan menguntungkan, tidak masalah. Selama Ratu tetap menjaga nama baiknya.

Hingga suatu siang, saat sedang memeriksa laporan. Ponselnya berdering. Nomor tak dikenal memanggilnya.

Ratu tak menghiraukannya. Pikirnya, hanya pengganggu saja yang menelponnya. Sampai dering ponselnya beberapa kali, Ratu tetap mengabaikannya.

Tak lama, layar HPnya mati. Tapi tak lama. Karena setelahnya, nomor milik mamanya memanggil.

Ratu mengerutkan keningnya. Mamanya menelepon? tumben sekali. Karena memang Nabila bisa dihitung jari meneleponnya. Itu pun sekedar basa-basi.

Ratu mengedikkan bahunya cuek. Buat apa mengangkatnya jika hanya sekedar say hello? pekerjaannya sedang banyak. Dan itu harus dia selesaikan agar pikirannya teralihkan dari Yusuf.

Dan selama seminggu ini memang Ratu tak pernah bertemu dengan mamanya. Padahal mereka tinggal satu atap. Atau mamanya memang tidak di rumah?

Ponselnya terus berdering membuat Ratu jengkel. Dengan kesal, digesernya tombol hijau.

"Iya ada apa, Ma?" tanya Ratu dengan nada malas.

Namun jawaban dari seberang membuat darahnya seakan berhenti mengaliri wajahnya. Wajah Ratu pucat dengan raut terkejut. Kemudian HPnya pun terlepas dari genggaman dan jatuh. Menimbulkan bunyi benturan yang nyaring.

Ppprrraaakkkk!