"Di-dijodohkan? NGGGAAKKKK!" tolak Ratu kencang.
"Ratu tidak mau dijodohkan dengan siapa pun! Ini hidup Ratu jadi pilihan ada di tangan Ratu! sudah cukup Papa mengendalikan hidup Ratu!" tambah Ratu dengan tegas.
"Keputusan Papa sudah bulat! Kamu akan Papa nikahkan dengan Brama Alfarez. Suka tidak suka, mau tidak mau, kamu akan menikah dengannya! Ini semua demi perusahaan dan membersihkan nama keluarga yang kamu coreng!" tegas Aksara.
"Sudah Ratu bilang, Ratu nggak mau, Pa. Stop mengatur Ratu!"
"Hidupmu ada ada karena Papa!" hardik Aksara.
"Dan Ratu menyesali hidup Ratu karena terlahir dengan ayah seperti Papa!" seru Ratu.
"Kurangajar! Kamu pikir kamu bisa membantah keinginan Papa? coba saja! dan akan Papa pastikan, penjual nasi goreng miskin itu kehilangan nyawanya!" ancam Aksara dengan seringai kejam.
"Ap-apa? Tidakkkk!" jerit Ratu.
"Papa jahat! Jangan menyertakan Yusuf dalam masalah ini, Pa!"
Aksara tergelak melihat ketakutan Ratu.
"Ratu ... Ratu ... Sudah Papa bilang, kamu tidak akan bisa melawan Papa. Kamu cuma anak kemarin sore yang belum punya pengalaman hidup melintang. Terima saja nasib kamu dan jangan berulah!" tandas Aksara.
Ratu menatap ayahnya itu tak percaya. Bagaimana bisa dia mempunyai ayah sekejam papanya? Dan rasa benci pada papanya menyeruak di hati Ratu.
"Sekali saja Papa mencelakai Yusuf, maka Ratu pastikan, nama besar Papa akan hancur saat itu juga. Papa mengancam Ratu, Ratu pun bisa," cetus Ratu dingin.
Ayah dan anak itu saling menatap tajam dan penuh perhitungan. Dua generasi satu turunan. Tentu watak keras Ratu pun menurun dari Aksara.
"Coba saja kalau kamu berani!" tantang Aksara.
"Apa Papa tidak mau? rela mengorbankan anak sendiri hanya demi ambisi?" ucap Ratu pelan. Ratu merasa lelah saat ini.
"Ambisi? ini juga demi hidup kamu! Kamu pikir menjalin hubungan dengan laki-laki gembel bisa membahagiakanmu? kamu pikir hidup tanpa fasilitas yang lengkap akan memuaskan mi? tidak! Hidup tanpa harta itu menyakitkan!" seru Aksara.
""Hidup dalam kemiskinan tidak akan dianggap orang! Orang miskin hanya dipandang sebagai kotoran masyarakat. Tak ada yang akan mengenal nama kita saat miskin. Tapi saat kita berharta, saat kita mempunyai nama besar, semua akan berlomba mendekati kita dan menggaungkan nama kita!"
"Coba saja jika kamu menikah dengan penjual nasi goreng itu! Apa kamu pikir kamu bisa hidup seperti mereka? Kamu pikir bisa bahagia dengan uang pas-pasan bahkan kadang tak cukup untuk sekedar makan? Fasilitas terbatas, kamu yakin mampu bahagia hidup seperti itu?" Panjang lebar Aksara menyuarakan pikirannya.
"Lalu apa Papa pikir saat ini Ratu bahagia? hidup mewah, segala ada. Uang berlimpah dan dikenal banyak orang. Tak perlu pusing memikirkan kebutuhan hidup. Papa pikir Ratu bahagia saat ini? Papa pikir semua itu ada artinya ketika Ratu sendiri bahkan tak diberi kesempatan untuk melakukan apa yang Ratu mau?" Ratu bertanya balik pada Aksara.
"Papa begitu menghina kemiskinan tapi Papa seolah lupa ingatan tentang siapa Papa dulu. Jika kemiskinan Papa dulu begitu menyiksa, bukan berarti itu berlaku sama pada Ratu. Karena Ratu lebih memilih hidup miskin dibanding kaya tapi tak ada ketentraman di dalamnya!"
"Ratu tidak gila akan harta dan kedudukan seperti Papa. Silau akan harta dunia sampai mematikan nuraninya!"
Ratu beranjak keluar dari ruang kerja papanya dengan kepala tegak. Kali ini, Ratu tak akan kalah.
Biarlah dia disebut durhaka. Nyatanya, tak hanya anak yang durhaka kepada orangtuanya. Orangtua pun bisa lebih menyakiti anaknya. Padahal anak adalah amanah, sudah sewajarnya diperlakukan dengan baik.
***
Pintu kantor Ratu terbuka dari luar saat dirinya tengah memeriksa berkas. Aksara masuk bersama dengan seorang laki-laki yang diketahui Ratu adalah Brama Alfarez. Laki-laki yang Aksara jodohkan dengannya.
Ratu pun menghentikan pekerjaannya dan memijit keningnya pelan. Harus dengan cara apa agar papanya bisa mengerti apa yang dia mau.
Kepalanya yang pusing bertambah pusing melihat tatapan Brama yang tertuju padanya. Brama menatapnya seolah seperti harimau lapar yang melihat rusa tengah merumput.
Masalahnya dengan Yusuf belumlah selesai. Satu Minggu berlalu tanpa ada kabar dari pemuda itu. Kedainya tutup dan pintu pagar rumahnya selalu terkunci dari luar. Menandakan penghuni rumah sedang tidak ada.
Dan sekarang hadir Brama menambah deretan masalah yang harus dia selesaikan.
"Nah, ini dia Ratu, Bram. Cantik kan anak Om?" goda Aksara.
"Iya, Om. Cantik sekali. Om beruntung mempunyai seorang putri yang tak hanya pintar, tapi juga sangat cantik dan menarik," sambut Brama.
"Nah, kamu pun akan beruntung nanti jika menikahi putri, Om. Om jamin kamu jadi enggan keluar kamar, hahaha!" gelak Aksara yang diikuti Brama.
Ratu pun menatap jijik ke arah dua pria beda usia itu.
"Ada apa Papa kemari? Ratu sedang banyak pekerjaan!" ketus Ratu. Rasa kesal terhadap papanya masih bercokol.
Ditambah dengan kehadiran Aksara bersama dengan Brama ke ruangannya. Membuat Ratu semakin dongkol saja.
"Sudahlah, Ratu. Pekerjaan bisa nanti-nanti. Lihat, Brama datang untuk mengajakmu makan siang. Seorang pengusaha yang sibuk meluangkan waktunya untuk makan siang denganmu. Kamu benar-benar beruntung,' ujar Aksara bangga.
Ratu memutar bola matanya malas.
"Ratu sibuk, Pa. Tidak ada waktu untuk keluar. Nanti asisten akan mengantarkan makan siang untuk Ratu. Jadi, lebih baik Papa saja yang menemani Tuan Brama makan," tolak Ratu dengan formal.
"Ayolah Ratu. Tunda pekerjaanmu untuk dua jam ke depan. Toh makan siang ini bisa jadi ajang untukmu mengenal Brama lebih dekat," bujuk Aksara.
Sementara Brama hanya duduk dengan kaki bersilang sambil mengamati Ratu dengan tatapan yang membuat Ratu jengah.
"Pa? Kita sudah membahasnya semalam!" kata Ratu mengingatkan.
"Tentu! dan Papa ingat betapa kamu mengidolakan Brama kan? tampan dan sukses, itu yang kamu ucapkan semalam," tutur Aksara membual.
"Tapi Ratu semal-."
"Sudah! Tak perlu malu. Untuk kali ini Papa setuju kamu ingin dekat dengan Bram. Bram memang idaman semua gadis. Jadi kamu harusnya bangga, Bram meluangkan waktunya dan menjemputmu kemari!" kata Aksara.
Suara Aksara terdengar lembut dan baik-baik saja. Namun tatapan matanya yang tajam bisa Ratu artikan sebagai ancaman.
Mendesak panjang, Ratu akhirnya mengangguk. Dirinya tak mau menambah panjang masalah. Biarlah untuk kali ini dia mengalah. Tapi Ratu tak bisa janji, bahwa makan siang kali ini akan berjalan mulus.
"Nah, begitu dong. Cepatlah bersiap. Kasihan Brama jika terlalu lama menunggu," titah Aksara.
"Tidak masalah, Om. Untuk gadis secantik Ratu, Brama akan sabar menunggu." tanggap Brama.
Aksara tergelak lalu menepuk pelan bahu calon menantunya itu.
Ratu pun pergi ke toilet yang ada di ruangannya untuk bercermin. Jilbabnya masih membalut dengan sempurna. Pun dengan polesan make up-nya. Setelah memastikan penampilannya cukup baik, Ratu keluar dan menemui Brama yang sibuk mengotak atik ponsel pintarnya.
Tak terlihat adanya Aksara. Mungkin papanya keluar saat Ratu di toilet.
"Ayo, " ajak Ratu malas.
Jika Ratu tidak bisa menolak makan siang bersama kali ini. Ratu akan membuat Brama yang kabur nanti. Pikiran nakal Ratu pun mulai mencari ide untuk mengerjai Brama. Tanpa sadar Ratu menyunggingkan senyum separuh bibir.
Brama yang melihatnya terkekeh dalam hati. Baik, mangsanya kali ini sedikit menantang. Dan Brama suka tantangan!
"Dengan senang hati!" sambut Brama.