Ratu menatap ponselnya yang bergetar menandakan adanya sebuah panggilan. Ratu yang tengah bekerja itu segera menekan tombol hijau dengan sumringah. Suasana hatinya sudah membaik paska mendapat perlakuan kurang menyenangkan dari Umi Laila hari sebelumnya.
"Hallo, Suf? Waalaikumsalam," jawab Ratu setelah terdengar salam dari pujaan hatinya itu.
"Kamu sibuk?" tanya Yusuf
"Emh, lumayan. Tumben telepon?" tanya Ratu balik.
"Ada yang mau aku bicarakan."
Ratu mengerutkan keningnya penasaran.
"Ada apa?" tanyanya.
"Emh ... ti-tidak jadi. Kapan-kapan saja. Maaf mengganggu kerja kamu," kata Yusuf mengurungkan niatnya. Awalnya, Yusuf ingin memberitahukan kepada Ratu bahwa dirinya memutuskan untuk menerima perjodohannya dengan Nafisa. Namun, rasanya tak elok jika Yusuf mengatakannya lewat telepon.
"Tidak apa-apa. Ada apa sebenarnya?" tanya Ratu penasaran.
"Tidak apa-apa. Ya sudah ya, Assalamu'alaikum," pamit Yusuf dan telepon pun terputus.
Ratu menatap lama ke arah layar ponselnya. Hatinya diliputi tanda tanya besar. Ada perlu apa Yusuf tiba-tiba meneleponnya?
"Lebih baik aku menemuinya sepulang kerja," gumam Ratu. Lalu Ratu kembali menekuri pekerjaannya.
Sementara itu, Yusuf yang telah memutuskan panggilan menyandarkan badannya ke tembok.
Yusuf bingung, bagaimana mengatakan semuanya tetapi tidak melukai hati Ratu. Yusuf tidak ingin melukai hati Ratu yang sedang berproses untuk menjadi lebih baik. Yusuf takut, jika Ratu kecewa, maka akan membuat ulah seperti yang dilakukan sebelumnya. Dan Yusuf tak mengharapkan itu terjadi.
"Hhmmmmhhh ...," desah Yusuf resah.
"Kamu belum menyiapkan bahan untuk jualan, Suf?" Umi Laila yang baru saja keluar kamar dan mendapati Yusuf tengah bersandar melontarkan pertanyaan.
"Iya, Mi. Sebentar lagi," jawab Yusuf.
"Sini Umi bantu menyiangi sayurannya," kata Umi Laila.
Bukannya Umi Laila tidak paham dengan kondisi Yusuf saat ini yang tengah patah hati. Tetapi Umi Laila tetap bertahan pada pendiriannya untuk menjodohkan Yusuf. Dan pasti akan sangat tidak enak jika berbesanan tetapi tidak saling menghormati jika Yusuf tetap mempertahankan pilihannya pada Ratu.
"Kamu akan bahagia, Suf. Percaya sama Umi. Nafisa gadis yang baik dan berasal dari keluarga baik-baik pula," celetuk Umi Laila sambil menyiangi daun bawang.
"Iya, Mi," kata Yusuf menanggapi.
"Kamu ingat kan, Suf. Dulu waktu kalian kecil suka main bersama. Nafisa dulu cengeng sekali. Dan kamu selalu bisa membuatnya diam ketika menangis. Kalian itu cocok, Suf," kata Umi Laila lagi sambil terkekeh kecil.
"Iya, Umi."
"Dan juga, Nafisa itu walaupun dari keluarga kaya, dia selalu hidup sederhana. Seperti didikan orangtuanya. Kamu sungguh beruntung, Suf, jika beristri Nafisa." Sekali lagi Umi Laila memuji Nafisa.
"Iya,Umi." Dan lagi-lagi, Yusuf mengiyakan ucapan Uminya. Tak lebih untuk melegakan hati ibunya itu.
Merasa tidak mendapat perhatian lebih, Umi Laila menghela nafas panjang.
"Suf, kamu tahukan Umi melakukan semua ini untuk kebaikanmu? Jangan karena ini kamu jadi mengabaikan Umi," keluh Umi Laila.
Yusuf yang tengah mencuci beras menghentikan gerakan tangannya. Meraih serbet dan mengeringkan tangannya, Lalu Yusuf menghampiri Umi Laila yang tengah duduk di meja.
"Mi, boleh Yusuf minta satu permintaan sebelum Yusuf menikah dengan Nafisa?" pinta Yusuf lembut.
Umi Laila menatap dalam ke arah Yusuf. Menyelami tatapan mata anaknya. Apa yang kira-kira akan dipinta oleh Yusuf.
"Apa itu, Suf?"
"Selama sebulan ini, Yusuf ingin Umi menerima Ratu dan membantunya belajar agama. Tolong perlakukan Ratu dengan baik, Mi. Tolong bantu Ratu untuk memperbaiki dirinya. Setidaknya, hanya itu yang bisa Yusuf lakukan untuk menebus rasa bersalah Yusuf karena sempat memberikan harapan untuknya," kata Yusuf penuh harap.
"Kenapa dia lagi, Suf? Tidak! Umi bahkan enggan untuk melihatnya. Karena pasti Umi akan ingat hinaan dari ayahnya," tolak Umi tegas.
"Tapi, Mi?"
"Yusuf!" potong Umi Laila.
"Sepertinya kamu memang tidak berniat memenuhi permintaan Umi. Baiklah, terserah kamu saja. Umi tidak akan ikut campur lagi. Karena Umi ternyata sudah tidak berharga untukmu sampai perasaan Umi saja tak kau pedulikan!"
"Mi!" Yusuf segera menahan Umi Laila yang hendak berdiri.
"Mi, maafkan Yusuf. Maaf jika Yusuf lagi-lagi membuat Umi kecewa. Baiklah, Mi. Yusuf tidak akan meminta apapun lagi. Yusuf akan berhenti mengharapkan Ratu, Mi. Yusuf sangat sayang Umi, jangan marah terhadap Yusuf, Mi. Karena murkanya Allah akan ikut bersama kemarahan Umi," pinta Yusuf.
Umi Laila meletakkan tangannya ke atas kepala Yusuf.
"Baiklah, Suf. Umi juga minta maaf. Dan semoga kamu mengerti semua ini demi kebaikan kita. Bersiaplah, kamu libur jualan saja. Kita silaturahmi ke rumah Nafisa," titah Umi Laila.
Yusuf menyeka sebulir airmata yang sempat terjatuh kemudian mengangguk. Apapu yang terjadi, kekecewaan Umi Laila adalah hal yang tidak akan dia pernah dia lakukan.
"Baik, Mi. Yusuf akan bersiap," jawabnya.
Setelah itu Yusuf bangkit menuju kamarnya disertai tatapan Umi Laila.
***
Ratu meletakkan ponselnya dengan kesal. Sedari tadi dirinya mencoba menelepon Yusuf, namun tak jua diangkat. Sebenarnya kemana Yusuf? apa dia terlalu sibuk sampai tidak bisa mengangkat telepon?
Tadi sore Ratu singgah ke tempat Yusuf jualan. Namun kedai nasi gorengnya tutup. Dan Yusuf tak ada kabar sama sekali.
Ingin rasanya pergi menyambangi ke rumah Yusuf. Tapi Ratu sungkan bertemu Umi Laila. Bukannya apa-apa. Ratu enggan jika pertemuan mereka kembali malah menjadi masalah.
Walaupun sebenarnya Ratu sadar, jika kelak dia menikah dengan Yusuf. Otomatis akan sering bertemu dengan Umi Laila. Tapi tak masalah. Setidaknya statusnya sudah kuat di samping Yusuf.
"Kamu kemana sih, Suf?" gumam Ratu kesal.
Ratu berguling di atas ranjang dengan gelisah. Sebentar-sebentar diambilnya HP untuk melihat pesan yang masuk. Barangkali ada pesan dari Yusuf.
Namun nihil!
Tak ada satupun pesan dari Yusuf. Hanya pesan-pesan dari anak buahnya dan juga beberapa rekanan kerja.
"Aaarrrggghhhh! Yusuf kemana sih?" teriak Ratu kesal.
Saat tengah menggerutu itu, pintunya terketuk dari luar.
"Siapa?" teriak Ratu.
"Non, dipanggil Tuan ke ruang kerja," jawab Mbok Siti, salah satu asisten rumah tangganya.
"Iyaa, Mbok."
Dengan malas Ratu bangkit dan keluar dari kamarnya. Apalagi yang mau papanya? sungguh Ratu enggan bertengkar dengan papanya malam ini. Hatinya sedang tak baik-baik saja. Pun dengan pikirannya yang terasa penat.
Dengan langkah terseret Ratu menuju ruang kerja Aksara. Rumah terlihat sepi. Ratu mengedikkan bahunya. Memang rumah selalu sepi bukan?
Mamanya tak terlihat juga ada di santai.
"Mungkin sedang berduaan dengan Dion," pikir Ratu.
Tanpa mengetuk pintu, Ratu pun masuk ke dalam ruang kerja Aksara.
"Iya sayang. Sama, aku juga rindu denganmu. Apalagi dengan tubuh seksimu yang selalu membuatku melayang. Baiklah, besok aku akan mampir ke apartemen. Sudah tak sabar rasanya mendengar jeritan puas darimu!" kata Aksara yang tengah bertelepon. Aksara tidak sadar bahwa Ratu sudah datang.
"Tentu. Apapun yang kamu mau. Asalkan, kamu melayaniku sampai aku puas," kekeh Aksara.
Ratu tahu, lawan bicara Aksara adalah jalang sekretaris Aksara sendiri. Ataukah papanya punya simpanan jalang lain?
"Ehm!" dehem Ratu dengan sengaja.
Aksara sedikit terkejut dan langsung memutuskan sambungan telepon.
"Kenapa tidak ketuk pintu dulu?" tegur Aksara. Raut wajahnya terlihat tak suka.
"Kenapa Papa panggil Ratu?" tanya Ratu tanpa niat menjawab pertanyaan papanya.
"Tidak sopan!" bentak Aksara.
Ratu memutar bola matanya malas.
"Sudahlah, Pa. Ratu sedang tidak dalam suasana hati yang baik untuk bertengkar."
Aksara menggeram kesal. Kemudisn menghenyakkan dirinya di kursi kerja.
"Papa sudah ambil keputusan. Dan ini demi perusahaan. Kamu harus menerimanya," tegas Aksara.
"Keputusan apa? menambah koleksi jalang baru?" tanya Ratu kurangajar.
Tapi sepertinya Aksara tak menggubris kalimat itu.
"Papa putuskan, akan menjodohkan kamu dengan anak dari pemilik Alfa Grup!"
""Uhhuukkk!!!"
Dan Ratu pun tersedak ludahnya sendiri.