Chereads / Sehelai Mahkota Untuk Ratu / Chapter 10 - Bab 10

Chapter 10 - Bab 10

"Waalaikumsalam," jawab Umi Laila dan Yusuf.

Wajah Umi Laila seketika sumringah melihat kedatangan seorang gadis muda berkerudung panjang yang sangat manis. Gadis berkerudung warna pastel itu nampak tersenyum memperlihatkan dua lesung di pipinya. Terlihat gigi gingsul yang semakin membuat manis senyumnya.

"MasyaAllah, Nafisa!"

Umi Laila menghambur menyambut Nafisa dan memeluknya erat. Nafisa balas memeluk Umi Laila. Terlihat serasi seperti seorang ibu dan anak. Membuat hati Ratu sedikit berdenyut pilu. Apa ini gadis yang ingin Umi Laila jodohkan dengan Yusuf?

Setelah bertukar kabar, Umi menggandeng tangan Nafisa untuk ikut duduk di dekatnya.

"Nah, ini Suf. Biar Umi masak dibantu Nafisa nanti. Nafisa ini kan jago masak sedari kecil. Nggak diragukan lagi rasa masakannya, iya kan Naf?"

Nafisa tersenyum simpul lalu menatap ke arah Yusuf.

"Mas Yusuf apa kabar?" Suaranya mengalun lembut membuat Ratu kian merasa iri.

Secara wajah, Ratu tak kalah. Malah dia lebih cantik. Namun Nafisa berbeda. Aura yang ditunjukkan gadis itu terlihat manis dan anggun secara bersamaan.

"Ehm, Alhamdulillah baik," jawab Yusuf singkat. Yusuf menganggukkan kepalanya sedikit ke arah Nafisa. Lebih untuk menghormati kedatangannya. Walaupun ada rasa tak nyaman di wajah Yusuf yang terlihat oleh Ratu.

"Nah Yusuf, pergilah ke pasar sekarang untuk berbelanja bahan jualan. Biar Umi di rumah memasak dibantu oleh Nafisa," perintah Umi Laila sambil mengusap lengan Nafisa sekilas dengan senyum sayang.

"Iya Umi, kalau begitu Ratu Yusuf ajak saja Mi. Biar tidak bosan," ujar Yusuf. Ratu menganggukkan kepalanya senang. Ratu memang belum pernah pergi ke pasar sebelumnya. Mungkin lebih baik daripada di rumah Yusuf bertiga saja dengan Umi Laila dan Nafisa. Yang jelas-jelas Umi Laila begitu menyanjung gadis manis berlesung pipi itu.

Membuat Ratu berkecil hati dan merasa jengah. Namun demi Yusuf, Ratu akan berusaha menjadi sosok wanita solehah. Bahkan Ratu sudah menyuruh salah satu anak buahnya untuk membelikan buku-buku tentang agama.

"Loh loh, ya jangan. Kalian ini bukan mukhrim kok mau pergi berdua. Dan lagi Ratu kesini kan atas permintaan Umi. Kalau pergi dengan kamu buat apa Umi minta Ratu kemari Yuf? Sudah kamu pergi sendiri saja seperti biasa. Umi tidak mau ada gosip miring tentangmu."

"Biar Ratu di rumah saja bantu-bantu masak. Kalau memang dia tidak bisa masak kan bisa bantu potong-potong sayuran atau kupas bawang. Iya kan Ratu? kamu bersedia kan bantu memasak?" sambung Umi Laila pada Ratu.

Ratu nampak ragu memberi jawaban. Namun jika dirinya menolak, itu hanya akan menambah kesan buruk. Dan itu merugikannya.

"Ratu juga bisa belajar agama pada Nafisa. Nafisa kan pandai. Lulusan pesantren dan sekarang pun aktif mengajar sebagai guru agama. Jadi sudah tidak diragukan lagi ilmu agamanya," ujar Umi Laila membanggakan menantu idamannya itu.

"Gimana Ratu? mau bantu-bantu masak? sekalian belajar. Seorang wanita akan mempunyai nilai lebih jika pandai di dapur juga. Bisa memanjakan perut suami nantinya," kata Umi Laila. Nafisa pun menatap ke arah Ratu dengan bibir mengulas senyum. Sangat manis.

"Emh, i-iya Umi. Ratu mau," jawab Ratu.

***

Ratu mengusap airmata yang keluar. Matanya terasa perih. Pun hidungnya terasa meler. Di hadapannya, sekantong bawang merah baru terkupas beberapa biji. Dan itu sudah mampu membuat Ratu berairmata. Ingin rasanya membawa pembantu ke rumah ini.

Di depan kompor, Nafisa asyik menggoreng tahu dan tempe. Percikan minyak nampak tak berpengaruh pada gadis itu. Sementara tadi, Ratu harus menjerit sambil menjauh dari kompor setelah tadi mencoba memasukkan tempe ke dalam minyak. Punggung tangannya yang mulus berhias titik kemerahan akibat percikan minyak goreng.

Karena itu pula, Umi Laila memintanya mengupas bawang saja. Dan ternyata tak lebih baik dari menggoreng. Matanya pedih dan hidungnya berair. Tapi gengsi jika harus menyerah sekarang. Sekuat tenaga, ditahannya rasa pedih di matanya.

Belum lagi harus menahan hati saat Umi Laila asyik mengobrol dengan Nafisa. Seolah-olah Ratu tak kasat mata. Bagaimana perlakuan Umi Laila begitu akrab dengan gadis itu. Banyak pujian yang terlontar dari bibir wanita tua itu. Tentang pintarnya Nafisa memasak, agamanya yang bagus, tentang kebaikan hati dan kecantikannya yang tak hanya fisik tapi juga akhlak.

"Kalau sudah tidak tahan biar saya lanjutkan, Mbak."

Suara lembut Nafisa mengalun di dekat Ratu. Ada rasa lega di hati Ratu. Tapi juga malu.

"Sini biar saya yang kupas."

Nafisa mengambil alih bawang dari hadapan Ratu. Umi Laila yang tengah membuat bumbu menoleh ke arah mereka.

"Tadi goreng tempe Nafisa yang gantiin, sekarang kupas bawang pun Nafisa. Kira-kira kamu bisa bantu apa lagi Ratu?" Ada nada menyindir dalam pertanyaan Umi Laila.

"Tidak apa-apa, Umi. Kasihan Mbak Ratu sudah keluar airmata dari tadi," sahut Nafisa.

"Maaf, Umi," gumam Ratu.

"Ya sudah. Kamu kupas dan potong-potong wortel ini saja." Umi Laila menyodorkan sebuah baskom kecil berisi sayur berwarna oranye itu.

Namun belumlah selesai, Ratu sudah mengaduh. Ujung jarinya terkena pisau hingga menyebabkan luka berdarah. Hampir saja Ratu menangis jika tidak ingat dirinya sedang berusaha mengambil hati ibu Yusuf.

"Ya ampun, Ratu. Sudah-sudah, kamu duduk manis saja sambil nunggu masakan matang," tukas Umi Laila.

"Mbak nggak apa-apa?" tanya Nafisa.

Ratu menggeleng. Sungguh dia merasa tak berharga. Hal-hal sepele saja tidak bisa dia lakukan dengan benar.

"Iya, tidak apa-apa."

"Umi benar, Mbak duduk saja sambil melihat kami masak," kata gadis itu.

Ratu tersenyum dan mengangguk. Walaupun ada rasa tidak enak di hatinya. Namun berusaha dia tahan.

Sedih?

Tentu saja!

Ratu merasa dirinya kecil. Tidak dihargai dan diharapkan oleh Umi Laila. Kekayaan dan berbagai prestasi penanda kepandaiannya tak mampu menarik hati wanita yang diharapkan menjadi ibu mertuanya. Bahkan nama orangtuanya pun tak berharga untuk wanita itu.

Padahal di luar di kelas pengusaha banyak yang menyegani orangtuanya. Setidaknya sebelum skandal-skandal yang mencoreng nama papa dan mamanya. Tapi tetap saja nama mereka di perhitungkan di antara para pengusaha.

"Mbak nggak apa-apa?" tanya Nafisa membuat Ratu tersentak.

Ratu yang sempat melamun menggelengkan kepalanya pelan. Matanya mengedar, dan tak melihat adanya Umi Laila di dapur. Kemana wanita itu?

"Umi sedang ke kamar mandi, Mbak," ucap Nafisa seolah mengerti apa yang ada di pikiran Ratu.

"Oh, iya," sahut Ratu singkat.

"Mbak tidak mengobati tangan Mbak dulu?"

Ratu menggeleng.

"Tidak sakit lagi. Cuma luka kecil," jawab Ratu.

"Kamu sudah lama mengenal Yusuf?" tanya Ratu kemudian.

"Dari kecil, Mbak. Orangtua kami bersahabat. Yusuf teman main saya," jawab Nafisa.

"Apa kamu tahu tentang wasiat ayah Yusuf?" tanya Ratu penasaran mengetahui jawaban Nafisa. Ratu belum bisa menebak apakah Nafisa berharap pada Yusuf atau tidak.

Nafisa tersenyum dan mengangguk. Nampak gadis itu terdiam seakan berpikir sebelum mengeluarkan jawabannya.

"Saya tahu, Mbak. Abi sudah memberitahu saya. Begitupun dengan Umi Laila."

"Lalu apa jawaban kamu?" tanya Ratu dengan nada mendesak.

"Saya akan mematuhi apa keinginan Abi saya selama itu baik dan tidak bertentangan dengan perintah agama. Apapun keputusan Abi, saya akan menerimanya, Mbak. Orangtua akan selalu melakukan yang terbaik untuk anaknya," jelas Nafisa.

Dan Ratu tidak setuju dengan ucapan Nafisa. Buktinya itu tidak berlaku pada kedua orangtuanya.

"Tidak semua orangtua," gumam Ratu.

"Apa, Mbak?" Nafisa yang tidak terlalu mendengar gumaman Ratu bertanya.

"Oh, tidak apa-apa. Tapi bagaimana jika Yusuf menyukai gadis lain? kamu tetap akan menerima perjodohan ini? bukankah pernikahan tanpa cinta tidak akan berhasil?" tuntut Ratu

"Siapa yang bilang? cinta bisa datang seiring berjalannya waktu. Itulah mengapa agama kita ada proses ta'aruf. Salah satunya untuk menghindari zina. Karena zina di dalam agama adalah dosa besar!"

Suara Umi Laila menggelegar mematahkan argumen Ratu yang membuat gadis itu terkesiap.

"U-umi?!"