"Jangan mulai menguji kesabaran Papa! Aku benci ditentang! dan kamu tahu itu. Apa kamu pikir aku tidak tahu kamu tengah dekat dengan pemuda gembel? mataku ada dimana-mana Ratu. Dan aku tak akan biarkan kau semakin mencemarkan nama besar yang sudah susah payah ku bangun!"
Ratu membeliakkan matanya menatap Aksara terkejut. Jadi papanya sudah mengetahui tentang hubungannya dengan Yusuf?
"Jauhi pemuda itu. Gembel sepertinya hanya akan memalukan keluarga kita. Carilah laki-laki yang berderajat sama dengan kita. Yang memberikan keuntungan bagi perusahaan. Bukan sampah yang hanya mengotori pandangan!" tambah Aksara.
"Gembel? Bagaimana bisa Papa menyebut Yusuf gembel?"
"Oh, jadi pemuda miskin itu Yusuf namanya?" potong Aksara pura-pura tidak tahu. Padahal sebenarnya Aksara mengetahui semua tentang Yusuf dari laporan anak buahnya.
"Papa menyebut Yusuf gembel dan miskin, apa Papa lupa siapa Papa sebelum menikah dengan nama?" pungkas Ratu dengan nada mencemooh. Entah kemana hilangnya rasa hormat pada sosok papanya. Karena semakin hari, Ratu semakin sadar, tak ada sosok ayah sebagai cinta pertama di hidupnya. Orang yang seharusnya menjadi pelindung untuk anak gadisnya, tapi justru orang yang membuat luka hatinya.
"Dasar anak sialan!"
Tidak terima dengan jawaban Ratu, Aksara bangkit dan menghampiri anak gadisnya dengan langkah panjang dan cepat. Direnggutnya jilbab Ratu yang membuatnya meringis karena sebagian rambutnya ikut ke dalam cengkeraman tangan papanya.
Aksara menarik jilbab Ratu dengan keras bahkan membuat Ratu ikut terseret dan jatuh membentur pinggiran rak yang berisi banyak koleksi hiasan kristal.
Bbbrrraaakkkk!
Suara badan Ratu membentur rak itu. Menyebabkan Rak sedikit bergeser. Beruntung pernak pernik yang berada di atasnya tidak terjatuh dan menimpa Ratu. Karena hiasan yang terbuat dari kristal berharga mahal itu bisa menimbulkan luka.
Ada rasa nyeri di punggung Ratu karena benturan. Tapi diabaikan oleh gadis itu. Ratu memilih berdiri tegak dan menatap Aksara dengan pandangan menantang. Ada sorot benci di mata Ratu. Benci terhadap papanya sendiri.
Jilbabnya telah terlepas. Bahkan rambutnya berantakan akibat cengkeraman Aksara. Rasa perih terasa di kepalanya karena rambutnya yang tercabut paksa. Tetapi lebih perih rasa sakit di hati Ratu.
"Bukankah apa yang Ratu katakan benar adanya? Papa belum lupa kan darimana asal Papa?"
"Kamu semakin hari semakin membuat naik darah! kamu memang perlu diberi pelajaran!" teriak Aksara kalap.
Diraihnya vas bunga di atas meja dan mengayunkannya ke arah Ratu. Aksara tak lagi peduli gadis yang berdiri di depannya itu darah dagingnya sendiri. Karena baginya, hal yang berharga hanyalah harta dan nama baiknya.
Ratu memejamkan matanya pasrah. Akan lebih baik bukan jika dia terluka parah? bahkan jika sampai meninggal. Setidaknya dia terlepas dari kesakitan yang selama ini dia derita. Tak perlu lagi merasa sesak dan kecewa. Mungkin kematian akan lebih baik untuknya.
Ppprrraaakkkk!!!...
Suara vas bunga yang pecah terdengar nyaring. Vas itu hancur berkeping-keping. Tetapi kenapa tak ada rasa sakit yang Ratu rasakan?
Ratu membuka matanya perlahan. Kemudian terkejut saat melihat Dion ada di antara dia dan Aksara. Bahkan Ratu melihat tangan Dion berdarah. Di lantai di bawah Dion, pecahan vas tersebar. Membuat Ratu tertegun. Dion menyelamatkannya? menjadikan tangannya tameng untuknya? Apakah dia harus bersyukur tidak terluka? atau justru kecewa karena kematian yang diharapkan tak jadi mengincarnya?
"Bedebah! berani-beraninya kau mencampuri urusanku!" murka Aksara.
Dion mengedikkan kepalanya sekilas lalu menatap Aksara datar.
"Maaf, Pak. Saya hanya berusaha menghentikan sebuah tindakan penganiayaan. Dengan korban anak Bapak sendiri. Bagaimana pun dia anak Bapak. Salah besar jika seorang ayah hendak menyakiti anaknya. Saya yakin Anda lebih paham itu."
"Kamu!" Telunjuk Aksara menunjuk ke arah muka Dion.
"Tidak usah sok menasehatiku! tau apa kau? kau cuma seorang laki-laki murahan yang melayani tante-tante macam istriku! berkedok sebagai sekretaris tapi sejatinya kau hanyalah pemuas wanita kesepian itu! hah, tak pantas sekali kamu mencampuri urusan ini. Belai saja majikannya itu!" maki Aksara.
"Terserah apa kata Bapak. Karena tidak penting juga buat saya. Saya hidup bukan dari uang Anda, apapun pendapat anda tidak akan berpengaruh. Lebih baik Anda merenung, sudah benarkah Anda menjadi seorang Ayah? jangan hanya membuat satus itu di atas kertas saja. Saya permisi!" pamit Dion lalu melangkah meninggalkan Aksara.
Tangannya yang berdarah dibiarkan begitu saja. Nampak menetes mengotori lantai marmer yang berwarna putih. Saat melewati tempat Ratu berdiri mematung, Dion menoleh sekilas dengan tatapan terlihat seperti cemas. Mungkinkah Dion mencemaskan Ratu?
Ratu berusaha melenyapkan pemikiran itu. Dion hanya sekedar membantunya agar tidak terluka. Tunggu! bukannya Ratu harusnya berterimakasih? andai Dion tidak menangkis lemparan Aksara, tentu saat ini Ratu yang sudah terluka
Ratu segera melangkah cepat mengejar Dion. Tak di pedulikannya Aksara yang marah-marah sambil mencaci maki namanya dan Dion dengan penuh murka. Baginya, dicaci oleh papanya sendiri sudah bukan hal asing lagi.
"Tunggu!" seru Ratu pada Dion yang baru saja mau masuk ke dalam mobil sedan hitam metalik milik laki-laki itu.
Dion menghentikan gerakannya dan menaikkan sebelah alisnya heran. Menatap penasaran ke arah anak dari bosnya itu.
Ratu menghentikan langkahnya di dekat Dion. Menatap tajam ke arah pemuda itu dengan berkacak pinggang. Rambutnya yang terurai sedikit melambai terkena angin.
"Kenapa kamu menghalangi papa, bodoh?"
Dion nampak menghela nafas panjang.
"Umpatan tak lagi cocok untukmu! bukankah kamu sedang coba memperbaiki diri? dengan penampilan anggun seperti tadi sungguh kalimat kasar tak pantas untuk kau lontarkan. Bibirmu terlalu cantik untuk itu," ujar Dion yang membuat wajah Ratu memerah. Antara tersindir dan malu.
"Oke oke. Terserah kamu. Yang aku tanya kenapa kamu ada di antara aku dan papa tadi? kalau kamu tidak datang, mungkin aku sudah bebas sekarang dari hidup yang memuakkan ini," sungut Ratu.
"Ku pikir kau akan mencemaskan lukaku dan berterima kasih. Tapi justru malah protes karena aku sudah menyelamatkan kepalamu dari lemparan papamu yang kalap?"
Ratu mencebik mendengar kalimat dari Dion.
"Memang siapa yang menyuruhmu menyelamatkan aku? justru aku akan senang kalau mati sekalian. Paling tidak aku terbebas dari neraka dunia ini," kesal Ratu.
Dion hanya menggelengkan kepalanya. Menatap Ratu dengan perasaan bercampur aduk.
"Memang kalau kamu mati kamu akan berasa enak? iya kalau masuk surga, kalau neraka? hijrah saja baru mulai berharap mati enak," sindir Dion.
"Jangan sok tau soal agama!" ucap Ratu tak terima.
"Siapa yang sok tahu? kan aku cuma mengatakan apa yang ku lihat," kilah Dion.
"Jadi kamu cuma mau mengatakan itu mengejarku sampai ke mobil? CK! membuang waktu saja. Apa kau tidak lihat aku sedang terluka? bukannya berterima kasih dan mengobati lukaku malah mengajak ribut!"
"Kan aku tidak pernah memintamu melakukan itu! salahmu sendiri ikut campur. Kalau kamu terluka bukan tanggung jawab ku!" ujar Ratu membela diri.
"Paling tidak jika tidak mau berterima kasih, tunjukkan simpatimu. Ada orang terluka karenamu. Masa kamu diamkan?"
Ratu mengerucutkan bibirnya kesal.
"Kalau tidak ikhlas menolong kenapa sok jadi pahlawan?" cibir Ratu.
"Sudahlah. Aku buru-buru mau mengobati luka di tanganku!"
Dion melambaikan tangan tak sabar. Rasa nyeri dari luka di punggung tangannya terasa berdenyut. Ada luka yang cukup panjang dan berdarah cukup banyak.
"Emh, bukan begitu. Ma-maksudku ...." Ratu kehilangan kata-kata. Tiba-tiba ada rasa bersalah melihat luka di tangan Dion itu.
"Ya, jika aku ingin berterimakasih, lain kali tunjukkan saja dengan cara yang benar. Aku tunggu ucapan terimakasih darimu!"
Usai mengatakan itu, Dion masuk ke mobil dan melaju pergi. Ratu hanya bisa menatap kepergian mobil Dion bingung.