Umi berjalan ke arah Ratu dan Nafisa dengan tatapan tak terbaca.
"Seorang perempuan yang baik akan menjaga kehormatannya. Tidak mengumbar auratnya. Tidak mempertontonkan tubuhnya gratis kepada orang yang bukan mukhrimnya. Apalagi menjalin hubungan yang masuk ke kategori zina. Lebih buruk jika zina dengan pria yang sudah berkeluarga!"
Degh!
Saat itu juga Ratu berkaca-kaca. Ucapan yang dilontarkan Umi Laila menyakiti hatinya. Walaupun Ratu tau dia memang bersalah, tapi dia berusaha dan belajar menjadi lebih baik. Dia sedang dalam masa peralihan sekarang. Membutuhkan banyak support.
Tapi ternyata hijrah memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Baru saja dia memulai, ujian sudah menerpanya. Mampukah Ratu menghadapinya dan tetap pada niat awal?
"Ma-maafkan s-saya Umi, saya tidak ada maksud apa-apa," ujar Ratu dengan suara pelan. Mencoba tetap tegar walau dalam hatinya sudah menangis.
"Lebih baik kamu pulang saja, Ratu. Aku seorang Ibu, dan aku menginginkan yang terbaik untuk anakku. Yusuf anakku satu-satunya. Jangan kau rusak dia dengan berdekatan. Susah payah ku besarkan dia. Aku tidak ridho jika dia berjodohkan dengan perempuan yang tidak baik!" tegas Umi Laila.
"Umi ...."
Nafisa menghampiri Umi Laila lalu merangkul wanita tua itu. Terlihat Umi Laila yang sedikit tersengal. Mungkin ada rasa marah yang tertahan. Seorang ibu yang melihat anak kebanggaannya ingin menjalin hubungan serius dengan seorang pelakor. Bagaimana dirinya tidak marah?
"Mi, istighfar, jangan emosi," bujuk Nafisa.
Gadis muda itu terus mengusap pelan lengan Umi Laila sambil membisikkan kata-kata menenangkan. Bagaimanapun Umi Laila sudah berumur. Nafisa mengkhawatirkan kesehatan ibu dari lelaki yang dijodohkan dengannya apabila terlalu emosi.
Ratu berdiri dan menatap Umi Laila dengan mata berkaca dan bibir bergetar menahan tangis. Dia tidak benar-benar berniat untuk menjadi pelakor. Bahkan kesuciannya sampai saat ini masih terjaga. Walaupun menjalin hubungan dengan suami orang, sekedar cium pipi pun tidak pernah Ratu lakukan.
"Saya tidak seburuk yang Umi pikirkan," ujar Ratu membela diri.
"Apapun itu, seorang pelakor tetaplah pelakor. Menjalin hubungan dengan pria single tanpa ikatan sah saja sudah bisa salah, apalagi dengan suami orang. Jangan membela diri lagi, jika kamu berniat menjadi baik. Akui saja dan berusahalah berhijrah, lalu lihat sejauh mana kamu bisa berubah," tekan Umi Laila setelah meredam emosinya.
"Baiklah Umi, maafkan saya. Saya akan buktikan saya mampu menjadi lebih baik. Maaf jika perasaan saya dan Yusuf membuat Umi tidak suka. Tapi tidak ada yang salah dengan cinta, karena rasa tidak bisa memilih pada siapa dia akan menjatuhkannya."
Ratu menghela nafas sebentar.
"Saya pulang dulu, Umi. Terimakasih atas semuanya," pamit Ratu.
Ratu melangkah mendekati Umi Laila dan menyalami wanita itu. Walaupun ketika Ratu mengambil tangannya, Umi Laila memalingkan wajahnya. Namun tetap memberikan punggung tangannya untuk dicium Ratu.
"Mbak, apa tidak sebaiknya menunggu Mas Yusuf?" tanya Nafisa.
"Tidak perlu, Nak. Biarkan dia pulang dan berkaca untuk introspeksi dirinya. Umi tidak ingin kecolongan lagi dengan membiarkan Yusuf sering bertemu dengannya," kata Umi Laila.
Nafisa menatap ke arah Ratu iba. Namun Nafisa juga tidak bisa membantu Ratu. Nafisa paham bagaimana perasaan Umi Laila. Sama seperti orangtuanya menginginkan yang terbaik untuknya, begitupun Umi Laila pada Yusuf. Karena memang Yusuf satu-satunya tumpuan harapan Umi Laila.
Merasa semakin tak diharapkan, Ratu segera berlalu keluar dapur dan mengambil tas tangannya yang tergeletak di sofa ruang tamu. Air matanya mulai menetes saat kaki jenjangnya keluar dari pintu rumah Yusuf.
Setelah berada di dalam mobil, Ratu segera melarikan mobilnya pergi dari tempat itu. Sambil mengemudi, tangis Ratu pun pecah. Menangisi hidupnya yang yang sungguh sial. Mengapa tak ada yang menginginkannya? semua orang menolaknya. Kenapa dia harus lahir ke dunia jika hanya untuk ditolak?
"Aaaarrrrrgggghhhhh!!!...," jerit Ratu.
Lalu lalang kendaraan di jalanan tak di pedulikan Ratu. Dia melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi dan mengabaikan pengguna jalan lain yang mengklakson tanda protes dengan caranya mengemudi. Kemana dia harus menenangkan hatinya sekarang?
Tak ada tujuan, akhirnya Ratu hanya menyusuri jalan tanpa niatan untuk berhenti. Hanya untuk mengurangi rasa sedih dan kecewa di hati. Hingga akhirnya bahan bakar mobilnya habis, mau tak mau Ratu harus menepikan mobilnya. Ratu pun menelungkup di atas kemudi dan menangis sepuas-puasnya.
Dering ponsel membuat Ratu teralihkan dan mengambil benda persegi itu dari dalam tasnya. Nampak Yusuf meneleponnya. Namun Ratu sendiri bingung, apa yang mesti dia lakukan. Apa dirinya harus menyerah dengan hubungan yang baru mulai tumbuh ini?
Setelah beberapa kali berdering tanpa ada tindakan, akhirnya Ratu menggeser tombol hijau di ponselnya untuk menjawab.
"Ratu? kamu dimana sekarang? kenapa pulang tanpa berpamitan padaku?" setelah mengucapkan salam, Yusuf memberondongnya dengan pertanyaan.
"Aku pulang, Suf. Karena memang tidak ada yang bisa aku lakukan di rumahmu. Aku tak pantas berada di sana dan menjadi bagian dari rumahmu," lirih Ratu.
"Maafkan Umi, ya. Umi tak bermaksud untuk menyakiti hatimu. Umi hanya belum mengerti. Aku akan berusaha membuat beliau mengerti dan menerimamu."
"Bisakah?" tanya Ratu meragu.
"InsyaAllah! Jika memang kita berjodoh, pasti akan ada jalan untuk bersatu. Sementara itu, teruslah berbenah diri dan belajar ilmu agama. Semoga Allah memudahkan langkah kita," ujar Yusuf.
Ratu tersenyum sekilas. Memilih mengakhiri panggilan setelah salamnya terbalas. Hatinya masihlah belum lega. Walaupun Yusuf berkata akan berusaha, tapi Ratu menebak, Umi tetap tidak akan mau menerimanya.
"Apa yang harus aku lakukan?" gumam Ratu dengan tatapan hampa.
***
"Darimana kamu? tidak datang ke kantor dan mewakilkan semua meeting?" Suara Aksara bergema di dalam ruang tamu yang baru saja dimasuki oleh Ratu.
"Ada urusan!" ujar Ratu tak acuh pada ayahnya yang duduk di sofa dengan kaki bersilang dan menatapnya tajam.
"Urusan? urusan apa yang lebih penting daripada urusan di kantor? gara-gara kecerobohan ini kita gagal mendapat investor baru. Mereka tersinggung karena meeting yang harusnya kau hadiri malah kau wakilkan pada staf rendahan!"
"Dan juga, apa-apaan baju yang kamu pakai? Jangan pernah lagi memakai pakaian seperti ini saat ke kantor. Pakai baju seperti biasanya. Pakaian tertutup seperti ini tidak bisa untuk menarik hati calon investor!" bentak Aksara dengan telunjuk menuding ke arah Ratu.
"Ini Ratu yang sekarang, Pa. Ratu mau berhenti menjadi keledai Papa. Ini hidup Ratu, hak Ratu apa yang Ratu lakukan dan apa yang Ratu kenakan!"
Ratu membalas Aksara dengan tegas dan berani. Cukup sudah! mulai sekarang, Ratu akan melakukan apa yang menurutnya benar. Ratu tak akan lagi terpuruk dalam kesedihan karena diabaikan. Biarlah orangtuanya mengabaikannya. Hidupnya haruslah tetap berlanjut. Dan Ratu akan membuat jalan hidupnya sendiri.
"Apa maksud kamu berani menentang Papa seperti ini, ha? sudah merasa hebat kamu?" Aksara kian murka.
"Bukan karena Ratu hebat. Tapi Ratu lelah berada dalam cengkeraman Papa. Ratu sudah besar dan bisa memilih jalan Ratu sendiri."
Mata Aksara membeliak mendengar jawaban anaknya.
"Jangan macam-macam dengan Papa Ratu, atau Papa akan-."
"Akan apa Pa? terserah Papa. Ratu sudah capek dengan hidup Ratu. Ratu ingin memperbaiki hidup Ratu. Ratu ingin hijrah, Ratu tak ingin menyia-nyiakan hidup! karena percuma jika Ratu terus saja menyesali lahir di keluarga ini. Tidak akan merubah apapun."
"RATU!!!"