Mendengar amukan Nadira, laki-laki yang akrab disapa Tata itu pun terkejut.
"Eh, Mbak Nadira ...," sahutnya.
Gawai yang tadi dia gunakan untuk bermain game, tiba-tiba direbut oleh Nadira. Tata pun hanya bisa melongo menanggapi tindakan atasannya itu.
Nadira mengangguk pelan, sambil menatap gawai milik Tata. Keringat dingin mulai berkeliaran di sekitar kening Tata. Jarinya pun bermain-main tanpa arah.
Tatapan Nadira terus tertuju padanya. Tata melihat sesekali ke arah Nadira, karena tak berani menatapnya terlalu lama.
Nadira pun semakin menatap tajam ke arah kokinya itu, Tata mulai kehilangan akalnya. 'Duh, jangan marah ya ... ayo dong, jangan marah, aduh ...,' batin Tata.
"Seru ya, Ta ... game-nya?" tanya Nadira dengan nada ciri khasnya yang pelan, namun kejam dan sadis.
Tata tahu bahwa pertanyaan Nadira itu sama sekali tidak membutuhkan jawaban. Dia pun hanya bisa cengengesan sambil memproduksi keringet dingin di sekitar dahinya.
"Tau kan, kalo toko kita ada orderan sepuluh ribu donat?" tanya Nadira dengan pelan dan estetik. "Yang harus selesai dalam waktu tiga hari?"
"I–iya, Mbak ... oke, Tata ke dapur sekarang, hehe ...." Tata bangun dari duduknya.
Namun, sebelum beranjak dari tempat itu, dia melirik gawai miliknya yang berada di genggaman Nadira.
Nadira menaikkan alisnya.
"Hp saya, Mbak ...," pinta Tata dengan hati-hati.
Nadira menyodorkan gawai-nya. Tata pun tersenyum bahagia dan hendak meraihnya.
Tapi, belum sempat Tata menyentuhnya, dengan cepat Nadira menariknya lagi.
"Kerja dulu." Nadira pun pergi meninggalkan tempat itu.
"Tapi, Mbak! Mbak! Yah ... rank saya turun nanti, Mbak! Aduh ...."
Apalah daya Tata yang hanya bisa pasrah dengan keadaan. (Sabar ya, Ta ... wkwk)
Nadira pun menuju ke dapur dan dibuntuti oleh Tata.
Sesampainya di sana, Tata langsung aktif bekerja. Membantu Ayman mengajari karyawan yang kemarin belum sempat diajarkan dan mengerjakan tugas-tugas lainnya.
Seluruh karyawan bekerja dengan sangat gesit. Ayman sebagai ketua koordinator, memotong sedikit waktu menguleni dan proofing untuk menghemat waktu. Namun, dengan mengukur terlebih dulu tentunya.
Sebab, sedikit saja ada kesalahan dalam membuat donat, bisa-bisa bukannya menjadi donat, malah menjadi roti goreng atau odading. Menciut, tidak mengembang, atau justru menyerupai cakwe yang permukaannya menggelembung karena over proofing.
Kembali lagi ke para karyawan pejuang rupiah. Di dapur itu, mereka bekerja sesuai tugasnya masing-masing yang sebelumnya sudah ditentukan Nadira.
Ada yang membuat adonan, membentuk adonan, menggorengnya, hingga memberikan topping manis yang tentunya membuat mulut tak tega untuk tidak memakannya.
Selain itu, ada Rara yang juga kebagian tugas untuk membungkus semua donat manis itu ke dalam box dan menyusunnya dengan rapi dan aman.
Di tengah-tengah kesibukan yang luar biasa itu, Nadira menghampiri Rara yang tengah sibuk memasukkan donat ke dalam box sambil mendata total donat yang sudah jadi.
"Jam segini udah dapet berapa donat, Ra?" tanya Nadira.
"Hmm ... 1000 donat lebih, Mbak," jawab Rara.
"Wih ... 3 jam udah dapet seribu donat?" Nadira terkejut. Tak menyangka mereka bekerja secepat itu.
Rara mengangguk.
"Oke deh ... Semangat, Ra!"
"Semangat juga, Mbak!"
Setelah itu, Nadira yang penasaran pun langsung memerhatikan karyawan-karyawannya.
Pantas saja. Satu kilo adonan donat ternyata bisa menghasilkan 100 donat. Dengan empat wajan yang menyala terus-menerus, mereka bisa menggoreng 100 donat dalam satu jam dan langsung disambung dengan adonan berikutnya.
Itu berarti, dalam satu jam mereka bisa menggoreng 400 donat. Sungguh toko donat yang tiada tanding. Dipimpin oleh Ayman sang koki kesayangan yang sangat ahli memanfaatkan keadaan.
Nadira begitu bangga dengan mereka. Dia pun langsung turun tangan untuk memberikan bantuan. Dia hias donat yang sudah selesai digoreng menggunakan topping dan beberapa taburan cinta di atasnya.
Tak beberapa lama, tiba-tiba pak Bos datang dengan kaos lengan pendeknya yang berwarna putih polos.
"Kenapa, Bos?" tanya Nadira yang heran dengan bosnya itu.
Biasanya dia memakai jas hitam yang rapi, dan juga terlihat berwibawa. Namun, kini terlihat begitu berbeda.
"Mau bantuin lah," jawab pak Bos dengan santai.
Nadira pun tersenyum meledek. "Man! Ini bagian apa yang kurang pekerjanya? Ada pekerja tambahan, nih!" teriak Nadira.
"Oh!" Ayman melihat ke sekelilingnya. "Nah! Itu tuh ... bagian cetak adonan!"
Dengan wajah sumringah dan tidak lupa senyuman ledekannya, Nadira menyemangati sang pemilik toko donat itu. "Silakan, Pak Bos ... Semangat."
Pak Bos melirik Nadira dengan datar. "Nyenyenye ...." Ledekan balik pak Bos pun meluncur.
Nadira dan teman di dekatnya pun hanya bisa menahan tawa.
Seluruh orang yang ada di toko ini turun tangan, saling bekerja sama, adalah hal yang paling indah layaknya keluarga besar.
Sesampainya pak Bos melangkahkan kakinya tepat di depan mixer adonan, dia pun bingung ketika hendak menuangkan bahan-bahannya.
"Man! Stoknya cuma segini?" tanya pak Bos dengan sedikit teriak.
Ayman pun berlari menghampiri bosnya itu.
"Lah iya ... tinggal dikit ya, Bos. Waduh ...," ucap Ayman.
Bos memiringkan bibirnya sambil ditekan. Kemudian, pandangannya mengarah ke Nadira.
"Nad! Beli bahan-bahannya sana!" suruh pak Bos.
"Saya, Bos? Sendiri?" sahut Nadira.
Menyadari kalau Nadira tak mampu membelinya sendirian, bos pun hendak merekrut satu karyawan lagi. Ayman? Oh, tidak. Kali ini, pak Bos ingin menjahili Nadira.
"Sama Hilmi!" teriak pak Bos.
Hilmi yang sedang fokus memberi topping pada donat pun sedikit terkejut. Mengapa di antara banyaknya karyawan, dia yang dipilih?
Ya, pak Bos memang sengaja menyuruh Hilmi untuk menemani Nadira.
Ternyata, sejak Hilmi melamar kerja di sini, pak Bos sudah tertarik untuk mendekatkan Nadira dengan Hilmi. Selain tampangnya yang menawan, Hilmi terlihat sangat dewasa, bertanggungjawab, juga penyayang.
Karena tidak ada waktu untuk membantah, Nadira yang awalnya ragu pergi dengan Hilmi pun langsung menuruti saja apa kata bosnya itu.
Dengan cepat, Nadira membersihkan tangannya dan segera pergi ke luar dapur.
Namun, berbanding terbalik dengan Hilmi. Hanya mematung, keringat dingin, dan sepertinya masih tidak percaya dia akan duduk berdua, bersebelahan dengan Nadira dalam satu mobil.
Nadira pun balik ke dapur setelah menyadari Hilmi belum bersamanya.
"Hilmi! Ayo! Buruan!" teriak Nadira yang tak ingin membuang waktu.
Hilmi yang panik, langsung mengabaikan perasaan cemasnya itu dan menyusul Nadira.
Sesampainya di tempat parkiran, Nadira tiba-tiba menodongkan kunci mobilnya ke arah Hilmi.
"Saya yang nyetir, Mbak?" tanya Hilmi ragu.
"Hmm," balas Nadira yang malam membuka mulut.
(Baik, author bantu terjemahkan, ya. 'Hmm' yang dimaksud Nadira itu artinya 'iya'. Semoga bermanfaat, wkwk)
Melihat reaksi Hilmi yang diam saja, Nadira pun bertanya, "Kenapa? Gak bisa nyetir mobil?"
"Bi–bisa sih, Mbak," jawab Hilmi ragu.
Tanpa basa-basi lagi, Nadira langsung mengambil tangan Hilmi dan memaksanya mengambil kunci mobil itu.
Mau tidak mau, Hilmi langsung masuk ke dalam mobil. Mereka pun pergi ke pasar untuk mencari bahan-bahan donat yang dibutuhkan.
Di tengah perjalanan, Hilmi menghentikan mobilnya secara tiba-tiba.
Nadira yang merasakan guncangan rem mendadaknya itu pun terbuka sedikit mulutnya karena terkejut sambil memegang sabuk pengaman.
Setelah benar-benar berhenti, Nadira pun meluapkan kekesalannya dan bertanya pada Hilmi dengan geramnya.
"Kenapa ngerem mendadak sih, Mi?"