"Loh? Maaf, Mas siapa, ya?"
Ayman heran melihat seorang pemuda asing di hadapannya. Apalagi dengan kedua tangannya yang memegang donat. Laki-laki dengan kaos warna putih dan celana pendek itu menunjukkan wajah sedikit ketakutan. Wajahnya menunduk ke bawah dengan tubuh yang nyaris tak bergerak.
Tak lama, Nadira datang.
"Kenapa, Man?" tanyanya.
"Ini, Mbak. Ada orang tadi ngumpet di kolong meja. Gak tau siapa," jawab Ayman membuat laki-laki itu semakin menundukkan kepalanya.
Nadira memandangi laki-laki itu. Sepertinya Nadira pernah melihatnya, tetapi ingatannya masih samar-samar. Maklum, faktor usia. Wkwk
Setelah lama berpikir keras dan berusaha mengembalikan ingatan yang telah memudar, Nadira pun mengingatnya.
"Oh!" ucap Nadira dengan sedikit meninggikan suaranya. "Kamu yang tadi di depan toko, ya?"
Ayman menaikkan alisnya tak mengerti.
Laki-laki itu pun melihat ke arah Nadira dengan perlahan. Lalu, menganggukkan kepalanya sambil tersenyum lebar.
"Loh? Kok ada di sini? Bukannya tadi udah pergi?" tanya Nadira dengan sangat heran.
Namun, laki-laki itu hanya diam saja. Menatap mata Nadira dengan tatapan yang sayu. Dan lagi-lagi dia menundukkan kepalanya.
Melihat dua donat yang berada di tangan pemuda itu, mengingat kembali saat dia menanyakan toko donat ini masih buka atau tidak, dan kata-kata Ayman yang menjelaskan kalau dia bersembunyi di kolong meja, Nadira pun menduga kalau dia sengaja diam-diam ke dapur untuk mengambil donat.
"Mas ngambil donat ini diam-diam, ya?" tanya Nadira.
Mendengar pertanyaan dari atasannya itu, Ayman pun berpikir kalau laki-laki ini adalah pencuri donat sejati. "Oh, kamu mau maling donat, ya?" tanya Ayman dengan nada tinggi.
Laki-laki itu pun terkejut. Menatap Ayman dengan penuh ketegangan. Namun, Nadira membelanya, dia tetap ingin bersikap tegas dan tidak ingin asal tuduh.
"Jadi, kenapa Mas? Kok bisa ada di dapur tanpa sepengetahuan kita?" tanya Nadira.
"Sa–saya cuma mau makan donat," jawab pemuda itu dengan lugu dan lesu.
Nadira dan Ayman saling memandang. Alasan yang dikatakan pemuda itu sangatlah tidak profesional di mata mereka. Jika ingin makan donat saja, kenapa tidak di tempat yang lain? Dan kenapa harus diam-diam menyelundup ke dalam toko donat ini?
Nadira pun bertanya lagi, "Emangnya enggak ada toko donat di sekitar sini yang buka? Harus gitu, ya, diam-diam nyelinap masuk ke sini?"
"Cuma donat di sini yang enak. Yang lain biasa aja, Mbak."
Mendengar alasan dari laki-laki itu, Nadira dan Ayman langsung terperangah.
Ya, tidak diragukan lagi, donat di sini memang berbeda dari yang lain. Dari segi rasa, kualitas, dan harga mampu menyaingi kompetitor di luaran sana. Tidak heran jika toko donat ini sudah dikenal oleh masyarakat luas.
Tapi, haruskah dengan cara diam-diam dan mencuri demi mendapatkan donat yang enak ini?
Nadira menghembuskan napasnya berat. Di satu sisi dia sangat senang karena laki-laki itu memuji kelezatan donatnya, di sisi lain cara yang dia gunakan untuk mendapatkan donat ini sangatlah merugikan. Ya, meskipun hanya beberapa donat saja yang mungkin sudah dia makan.
"Alesan aja paling tuh, Mbak. Biar gak disuruh bayar," celoteh Ayman sambil menatap geram si pemuda itu.
"Udah berapa donat yang kamu ambil?" tanya Nadira kepada pemuda itu.
Dia pun menjawab, "Tiga, Mbak."
"Sembilan ribu, mana uangnya?" Nadira mengulurkan tangannya.
Pemuda itu hanya terdiam menatap lesu ke arah lantai. Nadira yang sabar menunggu dia untuk membayar donatnya dengan segera, kini mulai geram.
"Mana?" ucap Nadira dengan nada yang sedikit meninggi. "Gak bisa bayar?"
Tak diduga, dia menganggukkan kepalanya menandakan bahwa dia memang tidak bisa membayar donat yang sudah dimakan.
Nadira mengarahkan bola matanya ke atas seraya menggantungkan kedua tangannya lemas. Begitu pun dengan Ayman yang hanya bisa menepuk jidatnya.
"Donatnya banyak banget, ya," ucap laki-laki itu sambil melihat ke sekeliling ruangan yang penuh dengan box donat.
"Iya, kita lagi banyak pesanan," jawab Nadira sinis. "Dan kamu dengan enaknya makan donat kita tanpa bayar."
Laki-laki itu menatap sayu ke arah Nadira. Menunjukkan rasa bersalah dengan ekspresi wajahnya yang malang. Padahal, Nadira hanya ingin menjahilinya. Mana mungkin Nadira mempermasalahkan donat yang jumlahnya tidak seberapa itu.
Dengan segala kecerdikannya, Nadira memanfaatkan situasi ini.
"Sebagai ganti ruginya, gimana kalo kamu bantuin kita bikin donat?" tawar Nadira.
Ayman hafal betul dengan kelakuan dan cara pengucapan Nadira ketika sedang menjahili orang. Dia pun hanya bisa memajukan bibir bawahnya dan menaikkan sedikit alisnya.
Melihat reaksi laki-laki itu yang kebingungan, Nadira pun menegurnya dengan sedikit gertakan. "Yeh, malah diem aja. Mau, gak?"
Karena nada bicara Nadira yang tinggi, laki-laki itu langsung terguncang jantungnya, dan secara tidak sengaja menganggukkan kepalanya tanpa disuruh si otak.
"Bagus!" puji Nadira seraya terkekeh.
Ayman yang melihat tindakan kejahatan tapi tidak fatal itu pun sedikit menyanggah.
"Ini beneran, Mbak?" bisik Ayman sedikit tidak percaya.
Benar-benar memang. Ada saja kelakuan Nadira. Hingga orang asing yang sudah berani-beraninya nyolong donat, dengan santainya direkrut menjadi karyawan sementara oleh Nadira.
Nadira hanya berdeham.
"Tapi 'kan dia udah nyelonong masuk ke toko kita, nyolong donat lagi, masihkah kau mempercayainya?"
Bisikan Ayman membuat Nadira sangat muak hingga ingin memotong kedua telinganya.
Tanpa menghiraukan pertanyaan Ayman, Nadira berkata pada laki-laki itu, "Nanti abis jam istirahat, kamu langsung kerja."
Tatapan tajam yang seakan mengajak bergelut tertuju ke arah Ayman dari mata seorang asisten bos yang cantik itu. Nadira pun pergi dari dapur tanpa basa-basi.
Ayman pun merasa was-was dengan kehadiran laki-laki ini. Belum tahu namanya, belum tahu asal-usulnya, dengan entengnya Nadira mengajak dia untuk bergabung di keluarga ini.
Ya, meskipun hanya sementara, tetapi rasa tanggungjawab Ayman akan keamanan toko ini pun bergejolak. Dia tidak akan tenang dengan kehadiran sosok laki-laki itu.
Tampangnya memang kalem dan adem, tapi itu tidak menjamin kelakuannya.
"Nama kamu siapa?" tanya Ayman menginterogasi laki-laki itu.
"Fauzi, Mas," jawabnya.
Ayman membulatkan bibirnya.
"Tinggal di mana?" tanya Ayman lagi sambil memasukkan kedua tangan ke dalam saku celananya.
"Deket sini, Mas. Enggak jauh pokoknya."
Ayman mengangguk pelan seraya melihat laki-laki itu dari bawah sampai ke atas secara perlahan.
Tak lama, Hilmi yang sudah selesai menaruh bahan-bahan donat, datang menghampiri mereka berdua.
"Eh, ada Ayman. Apa kabar, besti?" sapa Hilmi basa-basi sambil tersenyum girang.
Namun, senyumannya perlahan menipis ketika melihat laki-laki di samping temannya itu.
"Loh? Mas bukannya yang tadi di luar, ya?" tanya Hilmi heran.
Laki-laki itu hanya tersenyum ramah.
Hilmi menatap bola mata Ayman, seakan bertanya, siapakah gerangan laki-laki ini? Namun Ayman hanya terdiam.
Karena penasaran, dia pun basa-basi. "Kenalin, Hilmi," ucap Hilmi menyodorkan tangannya sambil tersenyum manis.
Dengan senang hati, laki-laki itu pun menyambut tangan kanan Hilmi dengan baik dan membalas senyumannya.
Sebenernya, Hilmi menunggu laki-laki itu untuk menyebut namanya, tapi kenapa dia hanya diam saja? Dasar tidak peka.
"Nama Mas siapa, ya, kalo boleh tau?" tanya Hilmi dengan sabar.
"Arhan, Mas."