"Sebenernya apa, Bos? Serius atuh." Ayman yang tidak sabaran pun mengoceh.
"Sebenernya deadlinenya masih dua hari lagi."
"Hah?" sahut mereka serempak.
Nadira sedikit kesal dengan ulah pak Bos yang menjengkelkan, dia pun langsung menyipitkan matanya sinis.
"Sebenernya sih buat jaga-jaga aja." Pak Bos menjelaskan.
"Lagian, saya mau kesungguhan kalian dalam bekerja. Kalo tau kalian ulet dan telaten gini mah, saya naikin gaji kalian dari dulu," ucap pak Bos dengan nada sedikit meledek.
Mereka yang mendengar kata naik gaji pun langsung terperangah. Bagaimana tidak? Kalo soal naik gaji mah, semua orang juga mau, wkwk.
"Berarti, abis ini uang jajan bulanan saya bakalan nambah dong, Bos?" tanya Ayman mendekati pak Bos sambil tersenyum penuh harap.
Pak Bos pun mengangguk sambil melengkungkan bibirnya. Kemudian berkata, "Khusus untuk kamu saya tambahin dua."
"Wih ...," ucap Ayman sambil melirik teman-temannya dan mengangkat alisnya sombong. "Dua juta, Bos?"
"Dua ratus ribu rupiah," jawab pak Bos sambil tersenyum hingga giginya terlihat.
Ayman yang mengetahui gajinya naik hanya sebesar dua ratus ribu rupiah pun langsung memonyongkan bibirnya yang semula tersenyum lebar. "Itu mah sama aja bohong, Bos."
Pak Bos pun hanya tertawa melihat ekspresi Ayman.
"Ngga ada yang lucu ya, Pak. Monmaap," ucap Ayman ketus.
"Haha ... iya dua juta, Maaan." Pak Bos meluruskan.
"Ya–huuuuu ... nambah uang jajan kita, Guys!" Ayman teriak kegirangan.
Nadira, Hilmi, dan teman-temannya yang lain ikut bahagia mendengar kenaikan gaji secara massal itu.
Meskipun begitu, Nadira merasa pak Bos terlalu menekan waktu. Andai saja dia memberikan waktu sesuai dengan deadline yang ada, Nadira pasti tidak terlalu lelah dengan segala strategi yang harus dipikirkannya kemarin.
Tapi di sisi lain, Nadira sangat senang bisa bekerja di bawah tekanan. Meskipun sangat melelahkan dicampur dengan berbagai masalah pribadi yang belum terselesaikan, Nadira bangga bisa menyelesaikan semuanya dengan baik.
Ketika semuanya sedang istirahat untuk melepas lelah, Nadira menghampiri Hilmi yang tengah duduk sendiri memandangi lalu lintas jalan raya di luar toko.
Melihat Nadira yang tiba-tiba duduk di sampingnya, Hilmi pun merasakan denyut jantungnya yang kian berdetak lebih cepat.
Apakah Nadira ingin PDKT dengan Hilmi? Apakah atasannya itu menyukainya? Pikiran Hilmi berkeliaran entah ke mana. Tak ingin berharap lebih, Hilmi lantas menenangkan pikirannya. Karena berharap yang tidak pasti itu menyakitkan, wkwk. Iya gak, Guys?
"Mi." Nadira memanggilnya dengan nada pelan.
Karena perasaannya yang campur aduk, Hilmi terlihat linglung begitu Nadira memanggil namanya.
"Kenapa sih, Mi? Kayak orang cengo gitu.'
"Ah, ng–ngga kenapa-kenapa kok, Mbak," sahut Hilmi tidak lupa dengan cengengesannya.
Nadira menghembuskan napasnya pelan. Menatap kosong ke arah lantai dan diam seperti patung pancoran.
Hilmi yang berada di sampingnya tak tahu ingin berbuat apa. Akhirnya, pertanyaan random pun dia lontarkan untuk mengurangi suasana yang canggung baginya.
"Mbak udah makan?" tanyanya dengan nada pelan dan hati-hati. Bagaikan bertanya kepada singa ganas yang sedang galau.
"Belum, kenapa emangnya? Mau traktir saya makan?" Nadira menantang.
'Waduh, harusnya jangan nanya kayak gitu, Mi. Mana gaji belum turun lagi,' gumam Hilmi dalam hatinya.
Hilmi bingung harus jawab apa. Jawab 'enggak'? Nanti dikira pelit. Jawab 'iya'? Uangnya gak ada!
Itulah alasan Hilmi selalu deg-degan setiap berada di dekat Nadira. Takut salah ngomong dan akhirnya kejebak pertanyaan sendiri, wkwk.
"Mi?" ucap Nadira membuyarkan lamunan Hilmi.
"Hm, aaa ...." Hilmi linglung, tak tahu harus menjawab apa.
Nadira pun tertawa kecil melihat sikap Hilmi dan raut wajahnya yang seperti orang kepergok nyontek pas lagi ujian. Hal itu pun semakin membuat Hilmi merasa kikuk. Secanggung itu Hilmi saat berada di dekat Nadira.
"Ya udah kalo ngga mau traktir gapapa, kok. Saya juga bisa beli sendiri," ledek Nadira dengan nada juteknya.
"Eh, b—bukan gitu maksudnya, Mbak."
Nadira tersenyum memaklumi sikap Hilmi. Wanita imut itu tampak sangat lelah. Pandangannya tertuju ke arah jalanan. Bola matanya yang sedikit sayup terlihat tak bergerak, menatap kosong para pengendara yang berlalu lalang.
Sikapnya yang tiba-tiba diam seperti itu, membuat Hilmi khawatir pada Nadira. Apakah Nadira ada masalah? Sejak kemarin, Nadira terlihat murung dan tak bersemangat. Ingin rasanya bertanya dan menghiburnya. Tapi di sisi lain, dia tidak mau mengusik masalah pribadi atasannya itu.
"Mbak, kenapa enggak makan?" tanya Hilmi dengan sopan.
Seketika lamunan Nadira memecah. "Males aja, enggak nafsu," jawabnya dengan nada malas seperti beban keluarga yang baru bangun setelah tidur seharian.
Saking sedang malasnya, dia pun bersandar ke dinding oranye yang ada di belakangnya, melipat kedua tangan lalu meletakkan tangan itu di atas perut. Tak lupa, dia kembali menatap kosong ke arah jalanan yang ada di depannya.
"K–kenapa males?"
Nadira menatap Hilmi dengan tatapan yang tajam. Seperti ada singa yang sedang kelaparan dan sudah menemukan mangsa yang tepat, begitulah kira-kira yang dirasakan Hilmi.
Dan pada akhirnya, Hilmi hanya bisa terdiam kikuk. Merapatkan kedua kakinya dan menjepitkan tangannya di sana. Pura-pura memandang jalanan di sebelah kanan, agar terhindar dari tatapan Nadira yang berada di sebelah kirinya itu.
Nadira pun memalingkan tatapan tajam itu, dan kembali menatap jalanan di sebelah kiri.
Mereka terlihat seperti dua orang yang sedang bermusuhan. Padahal, mereka hanyalah dua orang yang sedang mencari pelampiasan masalah dengan cara melamun.
Memandangi jalanan di dua bagian yang berbeda.
Berdampingan, namun tak searah. Memiliki tujuan yang sama, namun berbeda pandangan. Kayak kamu sama dia, iya kamu, yang lagi baca, wkwk....
Hiks, sroot!
Suara itu berasal dari hidung Nadira.
Lantas, Hilmi yang berada di sampingnya pun menengok ke arahnya. Terlihat Nadira yang sedang mengusap wajahnya dengan kedua tangan, lalu melihat kembali ke arah jalanan seolah tak terjadi apa-apa.
Hilmi yang khawatir dengan Nadira pun bertanya, "Mbak? Gapapa?"
Meskipun Nadira sudah ketahuan sedang menangis, entah apa motivasinya dia nampak berusaha menyembunyikannya.
"Enggak," jawabnya singkat sambil sesekali mengusap pipinya dengan cepat sambil terisak kecil.
"Gapapa gimana? Saya liat loh tadi Mbak nangis ngeluarin air mata."
Sambil tetap memandang ramainya jalanan, Nadira menjawab, "Enggak, kok. Saya enggak nangis."
Nadira mengambil napasnya, lalu mengembuskannya perlahan.
"Saya cuma kelilipan. Anginnya kenceng banget tadi, sampe bikin mata saya berair," ucap Nadira dengan pelan dan sedikit lirih.
Hati Hilmi pun seketika tersentuh. Sudah jelas-jelas dia melihat dengan mata kepalanya sendiri kalau Nadira menangis tadi. Ditambah lagi suara yang lirih saat dia bicara.
Hei? Kebohongan apa lagi yang kau sematkan wahai atasanku? Kalo mau bohongin orang pinter dikit lah, Bos. Begitu kira-kira yang ada di dalam hati Hilmi sekarang.
Entah kuat atau sok kuat. Hilmi tetap merasa Nadira adalah wanita paling tegar yang pernah dia temui. Di tengah-tengah tangisannya masih saja bilang bahwa dia baik-baik saja.
"Aduh!"