Mendengar celotehan Ayman yang asal nyablak, membuat seisi ruangan bersorak meledek mereka berdua.
Sontak membuat Hilmi memalingkan pandangannya dari Nadira. Terlihat senyuman tipis di bibir Hilmi dan juga tangan kanannya yang menggaruk dahi sudah cukup menjelaskan ke-saltingannya.
Nadira yang malas menanggapi guyonan si kepala koki, hanya diam ketika mengetahui Hilmi memandanginya diam-diam. Karena sedang badmood, dia pun memilih untuk pergi ke luar.
Meskipun udara malam tidak sehat seperti di pagi hari, namun kesunyian dan gelapnya mampu menenangkan hati.
"Yah, Mbak Nanad! Mau ke mana?" tanya Rara khawatir dan benar saja hal itu tidak dihiraukan oleh atasannya.
Kepergian Nadira dari tempat duduknya membuat suasana menjadi lebih tenang. Mereka menyangka bahwa Nadira marah dan risih diledek seperti itu.
Namun yang mengherankan adalah sikapnya saat ini, Nadira nampak begitu tenang dan memilih untuk diam lalu pergi dari pada membalas ledekan Ayman.
"Tuh kan. Kak Ayman, sih," cetus Rara.
"Lah, saya kan cuma becanda," timpal Ayman tak mau disalahkan.
Mendengar alasan Ayman, Rara yang terbilang sangat dekat dengan Nadira pun merajuk dan membalasnya dengan ledekan, "Nyenyenye."
Karena khawatir dengan Nadira, Rara menyusulnya, dan tak lupa menarik tangan Hilmi secara tak terduga.
"Ngapain, Ra?" tanya Hilmi yang mulai menciut.
"Berisik, tinggal ikut aja."
Mau tidak mau, pria yang sukanya planga plongo itu pasrah dan tidak berani membantah. Sementara itu, Ayman yang merasa bersalah atas kelakuannya tadi ingin menyusul Nadira. Akan tetapi, pak Bos menahannya.
"Udah, enggak usah ikut-ikutan. Nadira pergi bukan gara-gara kamu, Man," kata pak Bos yang kemudian menyeruput secangkir kopi yang ada di tangan kanannya dengan santai.
"Ah, Pak Bos mah sok tau," tukas Ayman tak percaya sambil memandangi Nadira yang berada di balik dinding kaca toko.
Walaupun pak Bos jarang berada di dekat Nadira, namun wanita itu selalu curhat tentang segala masalahnya lewat gawai kepada pak Bos. Ya, Nadira sudah menganggap pak Bos seperti ayahnya sendiri.
Nadira memang terlihat tegas dan cuek. Namun, setiap wanita tetap saja memiliki hati lembut dan menggunakan perasaan yang lebih dominan dibanding laki-laki.
"Udah, mending makanan kamu abisin, Man. Dicaplok Mang Ujang nanti," ledek pak Bos.
Mang Ujang yang duduk di samping mereka pun sadar akan candaan pak Bos dan balik meledek Ayman, melirik makanan Ayman lalu menatap wajahnya dengan penuh ancaman. Tak lupa, kedua alisnya yang tebal seperti ulat kemoceng pun dinaikkan sambil tersenyum merayu.
Sementara itu, Rara dan Hilmi yang berhasil menghampiri Nadira tanpa tolakan pun mulai merayunya juga.
"Mbak," panggil Rara pelan seraya menarik tangan Hilmi agar duduk di sampingnya.
Nadira pun menoleh dengan tatapan yang agak layu. Tak sengaja dia melirik ke arah Hilmi, namun memalingkannya lagi seakan tak ingin bertatapan dengannya.
"Mbak Nadira gapapa?" tanya Rara khawatir.
"Emangnya saya kenapa?" Nadira balik bertanya.
Rara pun menaikkan sebelah alisnya, seakan heran dengan kelakuan atasan sekaligus teman karibnya itu yang lebih tua darinya.
"Enggak kayak biasanya Mbak Nadira begini," ucap Rara lembut. "Cerita, ya?"
Nadira pun mengerutkan dahinya. "Apa sih, Ra?"
Rara melihat ke arah Hilmi dengan raut wajah yang sedih sekaligus kesal.
"Kak Hilmi, sih."
"Hah?" Seperti biasa, Hilmi masih beradaptasi dengan lingkungan.
Karena tidak mau terdengar oleh Nadira, Rara pun ingin berbisik di telinga Hilmi. Namun, Hilmi malah menjauh.
"Kalo lagi bertiga enggak boleh bisik-bisik, Ra." Nasehat Hilmi membuat Rara sedikit tersentak.
Rara pun bangun dari tempat duduknya dan menarik Hilmi, membawanya menjauh dari Nadira. Setelah dirasa cukup jauh, Rara pun berbisik di telinga Hilmi.
Lagi-lagi Hilmi menjauh, dia melirik ke arah Nadira yang sedari tadi memerhatikan tingkah freak mereka berdua.
"Duh, Kak Hilmi. Tadi bertiga gak boleh, ini kan udah berdua," protes Rara.
"Ya, tapi kan mbak Nadira udah tau kalo kita mau bisik-bisik."
"Ck!" Rara berdecak kesal.
Rara pun kembali ke tempat Nadira yang kemudian disusul oleh Hilmi. Walaupun terlihat tidak ada otaknya, tetapi Rara tetap punya otak dan masih bisa berpikir kritis.
Karena berbicara secara langsung dengan Hilmi tidak diperbolehkan karena Nadira sudah mengetahuinya. Rara pun memainkan gawainya untuk mengirim pesan kepada Hilmi.
Sudah beberapa detik pesan itu terkirim, namun masih saja centang dua abu-abu.
"Kak," panggil Rara memberikan kode dengan tangannya yang menunjuk ke gawai miliknya kepada Hilmi.
"Yah, ada di dalem," sahut Hilmi membuat Rara menyipitkan mata ke arahnya.
"Ya udah deh, ah! Ngomong langsung aja sana!" kesal Rara dengan nada ngambeknya yang menggemaskan.
"Ngomong apaan, Ra?" tanya Hilmi bingung.
Nadira yang mendengar kegaduhan dua orang temannya itu pun melipat kedua tangannya dan menghembuskan napasnya berat.
Seakan tak ingin diganggu dan entah mengapa merasa ada sesuatu yang ganjal di hatinya ketika terus-menerus berada di dekat Hilmi.
"Minta maaf, Kak!"
Mendengar perintah Rara, laki-laki itu pun menaikkan kedua alisnya. Karena dia merasa tidak ada masalah apa-apa dengan Nadira.
Tapi, karena dia tahu bahwa minta maaf bukan cuma pas lebaran doang, Hilmi pun mengiyakan.
Rara yang berada di tengah menyuruh Hilmi yang berada di sebelah kirinya untuk bertukar posisi.
Sekarang Hilmi sudah berdampingan dengan atasannya itu. Nadira yang bingung dengan kelakuan temannya itu pun hanya bisa diam sembari menyabarkan diri dalam hati, "Sabar yaa Allah," gumamnya.
Entah kenapa, Hilmi merasakan ada yang berbeda saat berada di dekat Nadira. Dirinya menjadi kaku dan tidak tahu apa yang sekarang harus dia lakukan.
"Kak Hilmi, buruan," tegur Rara seraya menyenggol lengan kiri milik Hilmi.
"Iya, sabar."
Saat ini, Hilmi benar-benar bingung ingin berkata apa. Rangkaian kata-kata yang sudah dia susun, tiba-tiba menghilang dan tak tahu lagi harus bagaimana.
Dengan menarik napas perlahan dan mengaturnya, apapun Hilmi lakukan agar bisa menenangkan hatinya yang saat ini terbilang sesak dan ramai.
Setelah beberapa saat, Hilmi mulai percaya diri dengan kata-katanya.
Bagaikan seorang yang arif dan bijaksana, Hilmi pun berkata, "Mbak, saya mau minta maaf." Tak lupa dengan nada lembutnya yang sopan.
Keadaan hening sekejap. Rara yang sedari tadi menunggu Hilmi untuk bicara melebarkan matanya. "Udah lama banget mikirnya, yang keluar cuma itu doang?" ledek Rara dalam hatinya.
Nadira pun melirik Hilmi dengan tatapan yang sinis dan penuh ancaman. Tatapan Nadira memang berbeda seperti wanita biasanya.
Wanita umumnya memiliki tatapan yang lembut dan sayu seperti bidadari. Sedangkan wanita ini? Tatapannya tajam! Nyelekit! Seperti singa yang ingin ngajak kerbau sawah tawuran.
Tak kuat lama-lama berhadapan dengan singa ganas, Hilmi pun berpaling dan berganti melirik ke arah Rara dengan penuh pengaduan.
"Galak, Ra," bisiknya. Tapi tetap saja terdengar oleh Nadira.
"Apa?" tanya Nadira yang nampaknya sudah siap menerkam kerbau sawah yang mulai menciut. Tentu saja dengan nada judesnya yang khas.
Sontak Hilmi berbalik menghadap Nadira.
Dengan wajah yang lemas dan ciut, Hilmi pun menjawab, "Mbak Nadira galak," ucap Hilmi kelewatan jujur.
Mendengar kata-kata Hilmi barusan, membuat Nadira makin memanas.
"Aww!"