Hilmi menyalakan gas mobilnya berkali-kali, namun tetap saja tidak menyala. Dia pun membuka pintu mobil dan keluar untuk memeriksa mesinnya. Sementara, Nadira hanya diam di mobil sambil memerhatikan Hilmi dari kejauhan.
Tak lama, Hilmi pun kembali dan memberitahu bahwa mobilnya mogok. Namun, Nadira hanya menoleh sekilas dan diam tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.
Melihat Nadira yang terus berdiam diri, Hilmi mulai merasa aneh. Tak hanya itu, wajah Nadira yang selalu terlihat tegas, kini mulai layu dan tak semangat.
"Gimana kalo saya aja yang beli bahan-bahannya, Mbak? Nanti saya panggil tukang servis ke sini. Mbak Nadira tungguin aja di sini, ya?" ucap Hilmi yang masih berdiri di samping mobil sambil memegang pintunya.
"Saya ikut." Nadira menjawab dengan singkat.
Nadira pun keluar dari mobil. Tanpa basa-basi lagi, Hilmi mengambil gawainya dari saku celana dan mencoba untuk menghubungi tukang servis yang dia kenal, sambil menghampiri Nadira.
Setelah selesai menghubungi tukang servis, Hilmi tak sengaja memandangi Nadira dengan durasi yang agak lama.
Pipi Nadira yang mengembung seperti bakpao baru dikukus, dagu dan bibirnya yang mungil, serta tatapannya yang tegas, membuat Hilmi tak rela memalingkan pandangannya.
Namun, di balik wajah cantik nan imut itu, Hilmi melihat lekukan bibirnya yang tampak tengah menyimpan ribuan masalah. Tak seperti tadi, sekarang Nadira benar-benar lebih banyak diam dan melamun.
"Mbak?" tegur Hilmi mencairkan suasana.
Nadira menoleh dengan perlahan. Menatap mata Hilmi dengan tatapan yang sayu.
"Mau naik apa ke pasarnya?" tanya Hilmi.
Nadira menghembuskan napasnya ringan. "Terserah."
'Terserah', adalah kata legendaris dari kaum wanita. Ketika Nadira menyebutkan kata itu, Hilmi pun langsung bingung tak karuan.
Apa yang harus dia lakukan sekarang? Naik taxi? Apakah Nadira mau membayar ongkosnya? Jika tidak, maka dia yang harus bayar. Sementara, uangnya saja pas-pasan.
Untung saja, tak lama dia melihat angkutan kota atau angkot yang menuju ke arahnya. Namun, mana mungkin asisten pak Bos mau naik angkot?
"Mbak? Mau naik angkot?" Hilmi bertanya dengan sangat hati-hati.
Bukannya menjawab pertanyaan Hilmi, Nadira yang melihat ada angkot di samping kirinya, langsung melambaikan tangan untuk memberhentikan.
Hilmi tersentak, Nadira memang wanita yang elegan namun sederhana. Idaman para pria, termasuk dia tentunya. 'Jangan mimpi, Mi. Mana mungkin Mbak Nadira mau sama pelayan kayak kamu,' batin Hilmi, ngenes sekali.
Ketika angkot itu sudah dekat, Nadira mengunci mobilnya agar aman. Lalu mereka berdua pun masuk ke dalam mobil berpenumpang umum itu.
Di dalam tidak terlalu ramai, hanya ada dua orang anak kecil yang dijaga oleh ibunya dan seorang laki-laki remaja.
Dengan alas dudukan angkot yang empuk, keadaan angkot yang bersih, dan suara dangdutan dari speaker besar yang terletak di belakang mobil, semakin menambah kenyamanan para penumpang.
Nadira yang duduk persis di belakang supir, perlahan memejamkan matanya, dan membukanya lagi seakan menahan kantuk yang sedang menyapanya.
Karena Hilmi duduk di dekat pintu masuk angkot, tentu saja dia sadar jika atasannya itu mulai mengantuk. Merasa kasihan, dia yakin betul, di balik semangat dan ketegasannya Nadira, pasti ada rasa yang teramat penat di baliknya.
Tak lama, mobil angkot berhenti, tanda ada penumpang yang ingin masuk. Seorang anak laki-laki dengan sebuah kotak yang talinya disangkutkan ke leher, berisi kacang, kuaci, permen, atau biasa disingkat 'cangcimen'. Tak hanya itu, ada juga beberapa air mineral.
Dengan spontan, Hilmi langsung merogok saku celananya, diambilnya selembar kertas sebesar sepuluh ribu rupiah.
"Dek, minumannya dijual?" tanya Hilmi ramah pada adik itu.
"Enggak, Bang!" jawabnya dengan sedikit nada tinggi.
"Ya dijual, dong," lanjut anak laki-laki itu sambil memonyongkan bibir dan menaikkan kedua alisnya. Meledek Hilmi.
Mendengar suara si bocil ini, Nadira pun tersadar dari kantuknya dan tertawa kecil.
Hilmi hanya bisa mesem. Diambilnya dua botol air mineral dan dua bungkus permen karet yang isinya 5 permen. Dia pun memberikan uangnya kepada anak kecil yang sepertinya berusia sebelas tahun.
"Wih ... makasih, Bang!" ucap adik itu terlihat sangat bahagia.
"Sama-sama, Cil!" jawab Hilmi seraya mengusap kepala anak itu hingga rambutnya berantakan. Rusuh memang.
Hilmi memberikan satu botol air mineral itu dan semua permennya kepada Nadira. Melihat perhatian Hilmi yang diberikan padanya, wanita itu merasa sedikit canggung untuk menerima.
"Kenapa, Mbak? Enggak suka, ya?"
"Suka." Nadira tampak begitu cuek dan lemas.
"Ambil aja, gapapa." Hilmi masih menyodorkan air mineral dan permennya.
Hilmi begitu baik padanya, padahal Nadira bisa membeli itu semua sendiri.
Ternyata bukan tentang apa yang diberi, tetapi tentang tulusnya hati dalam memberi.
Akhirnya, Nadira mau menerima pemberiannya itu. Dia yakin, Hilmi adalah pria yang baik, andai saja dia bisa membuka hatinya. 'Eh, apaan sih, Nad. Ngaco banget mikirnya,' batin Nadira.
Bagaimana bisa seorang pria yang baru dia kenal, sudah membuatnya jatuh cinta. Tidak, ini pasti hanya rasa kagum dengan sesama manusia yang tinggal di bumi. Seperti itulah kiranya yang ada di pikiran Nadira.
"Makasih, Mi," ucap Nadira singkat.
"Terima kasih kembali, Mbak," jawab Hilmi dengan keramahannya.
"Kok bilang makasih? Kan kamu yang ngasih saya."
"Jarang memang, orang yang memberi lalu dia bilang terima kasih. Padahal, dua-duanya boleh bilang terima kasih," jelas Hilmi dengan sangat bijaksana.
"Yang satu berterima kasih karena sudah diberi. Dan, yang satunya lagi berterima kasih karena dengan diizinkan untuk memberi, dia jadi dapet pahala," lanjutnya.
Ucapan Hilmi barusan membuat Nadira semakin kagum padanya. Entahlah, ada saja kelakuan Hilmi, meresahkan memang.
Tak lama, anak kecil itu pun turun dari angkot. Nadira dan Hilmi tidak kaget ketika dia hanya turun tanpa membayar uang sepeser pun.
Ya, di angkutan kota seperti ini memang sering ada orang jalanan yang hanya menumpang. Meskipun begitu, ketika penumpang penuh, mereka siap untuk mengalah dan turun mencari angkutan kota yang lainnya.
Anak kecil seusia dia, seharusnya sedang bermain bersama teman-temannya. Menikmati masa kecilnya. Namun, apa boleh buat, ketika semuanya belum tersedia, mau tidak mau dia harus berjuang agar tetap hidup.
'Ketika takdir diselimuti oleh masalah dan tantangan, bukan menjadi alasan kita untuk menyalahkan keadaan. Kitalah yang seharusnya menyalahkan diri sendiri ketika tidak bisa menerima keadaan itu. Bangkit, dan hadapi.'
Setelah beberapa lama, Hilmi mulai melihat toko bahan kue di seberang kiri jalanan.
"Kiri, Bang!" kata Hilmi memberhentikan angkot itu.
Setelah berhenti, Hilmi keluar dari angkot dan disusul oleh Nadira.
Ketika Hilmi hendak mengambil beberapa lembar uang dari saku celananya, tiba-tiba Nadira sudah terlebih dahulu memberikan uang ongkos kepada supirnya.
"Mbak, pake ini aja," ucap Hilmi tidak enakan sambil menyerahkan uangnya.
Nadira menghalangi tangan Hilmi. "Udah, Pak. Pake uang yang tadi aja."
"Loh, saya aja Mbak yang bayar."
"Saya aja," tegas Nadira.
Karena tak berani melawan atasannya itu, Hilmi pun hanya bisa diam sambil menahan rasa tidak enakan.
Setelah Hilmi dan Nadira membayar ongkosnya, mereka berdua pun menuju toko bahan kue yang ada di pinggir jalan raya.
"Permisi, Bu. Tepung terigu yang protein sedang, ada?" tanya Nadira pada penjaga toko.
Namun, belum sempat ibu itu menjawab pertanyaan Nadira, tiba-tiba ....
"Aduhhh!"