Pak Bos pun menjelaskannya kepada Nadira dengan detail dan terperinci.
"Hah? serius, Bos?" tanya Nadira yang terkejut setelah mendapat informasi dari pak Bos.
"Serius lah ... emangnya saya doi kamu yang gak pernah serius? Eaa!" lawak pak Bos.
Nadira hanya terdiam melihat bosnya yang 'freak' itu.
"Jadi gimana? Sanggup gak, nih?" tanya pak Bos dengan santai sambil seakan-akan menantang Nadira.
Dengan badan tegapnya dan alis yang menandakan keseriusannya. Nadira pun dengan berani menyetujui tantangan pak Bos.
"Oke, siapa takut."
Melihat asistennya yang pede sekali dengan tugas yang akan diberikan, pak Bos semakin kagum atas keberanian Nadira.
"Tapi, kalau gagal ... kamu yang tanggung kerugiannya," ancam pak Bos dengan sengaja ingin menguji kekuatan mental Nadira.
Bukannya semakin takut dan pesimis, Nadira justru semakin yakin, kalau dia benar-benar bisa menyelesaikan misinya.
"Deal!" Nadira memberikan tangan kanannya.
Pak Bos memajukan sedikit bibir bawahnya dan menaikkan alisnya, terlihat seperti meremehkan Nadira.
Nadira yang udah pegel gara-gara tidak disambut oleh pak Bos pun menurunkan tangannya.
"Mohon maaf, Anda meragukan saya?" tanya Nadira layaknya asisten manager di sebuah perusahaan yang benar-benar serius. Padahal mah enggak.
"Bagaimana Anda yakin, kalau Anda dan rekan-rekan Anda mampu menyelesaikan misi ini?" balas pak Bos yang tak kalah seriusnya.
Nadira kemudian melipat kedua tangan di antara dada dan perutnya.
Dengan wajah serius dan mata yang sedikit menyipit, dia pun berkata, "Tutup toko sampai misi selesai, dan kerahkan semua karyawan."
***
"Hah?" teriak semua karyawan setelah Nadira memberitahu misi yang diberikan oleh pak Bos.
Beberapa karyawan yang selama ini bekerja di balik toko, tampak tidak setuju dengan keputusan Nadira.
Bagaimana tidak? Mereka hanya tahu mengoperasikan alat digital dan sama sekali tidak tahu-menahu caranya bekerja di dapur.
Jangankan mereka, Ayman, Tata, dan Rara yang setiap hari bekerja langsung di toko pun tidak yakin dengan keputusan Nadira kali ini.
"Nad, yang bener aja ... gimana caranya kita bisa bikin sepuluh ribu donat dalam waktu tiga hari?" celetuk salah satu karyawan.
"Iya, Nad. Enggak mungkin."
"Kalo gagal pun resikonya besar, Nad."
"Keahlian kita juga bukan di situ. Kalo kualitas donatnya gak sama seperti biasanya gimana?"
Semua karyawan yang bukan di bidangnya pun ragu akan perintah Nadira. Menurut mereka, membuat sepuluh ribu donat dalam waktu tiga hari tidaklah masuk akal.
Namun, Nadira percaya, dengan kelihaian Ayman dan Tata, serta bantuan dari seluruh karyawan, mereka akan berhasil melakukannya.
Semangat, tekad, dan berani mengambil risiko. Jiwa kepemimpinan dan pandai mencari kesempatan demi mencium harumnya cuan.
Itulah Nadira, sifat yang mungkin jarang dimiliki oleh wanita-wanita seusianya.
Cuma satu kelemahan Nadira, takut kucing. Huahahahahaa (maap, lawak dikit boleh lah ya).
Oke, skip!
"Kalian kerja dulu, semaksimal mungkin. Urusan risiko, biar saya yang tanggung. Paham?" kata Nadira dengan tegas.
"Iya, Nad ... tapi kita kan enggak ada bakat apa pun di dapur," bantah salah satu karyawan.
Tak habis ide, Nadira pun berkata, "Ayman, Tata, kalian bisa kan bikin donat sambil ajarin mereka? bisa lah ya ..."
"Rara ... urusan packing dan kesediaan bahan-bahan," ucap Nadira dengan entengnya.
Pemimpin nih bos, tinggal ngatur-ngatur, babu yang jalan, wkwk.
Eitss ... tapi Nadira bukan tipe pemimpin yang seperti itu. Dia lebih memilih untuk mencari uang seperti karyawan biasa daripada harus santai-santai sambil menunggu cuan mengalir.
Lelah, stress, dan tantangan yang harus dia hadapi saat bekerja, adalah hal yang membuatnya puas dalam pekerjaan.
'Hidup tanpa tantangan, bagaikan makan kuaci yang udah dikupas. Membosankan', begitulah kira-kira prinsip Nadira.
Setelah diberikan tugasnya masing-masing, karyawan mau tidak mau pun menyetujui arahan Nadira. Mereka pun segera pergi ke dapur untuk menyiapkan perlengkapan dan bahan-bahan membuat donatnya.
Sementara itu, terlihat Ayman yang masih berdiam diri. Nadira yang curiga Ayman kecepirit, langsung menghampirinya. Barangkali dia membutuhkan bantuan darurat.
"Man? Kenapa kamu?" tanya Nadira yang penasaran sambil mencium daerah di sekeliling Ayman.
Namun, setelah ditelusuri lebih lanjut, Nadira tak mencium adanya kandungan karbondioksida yang mengandung zat sisa makanan.
"Ngapain sih, Nad?" tanya Ayman balik yang mulai risih dengan tingkah laku Nadira.
"Enggak." Nadira menyembunyikan prasangka buruknya.
"Kamu belum jawab pertanyaan saya, Man. Ngapain diem aja di sini?" lanjutnya.
Dengan tatapan sayu dia berkata, "Tata kan tangannya masih sakit, Nad. Terus siapa yang bantuin saya buat ngajarin mereka?"
Betapa terkejutnya Nadira, dia lupa kalau Tata— karyawan yang imut tapi ngeselin itu, ternyata masih dalam kondisi yang malang.
"Duh ... iya juga. Kenapa tadi pas saya suruh kamu gak komentar?" tanya Nadira.
"Iya juga ya, Nad. Kenapa ya kira-kira?" jawab Ayman tanpa dosa.
"Ih! Malah nanya balik ... ngaco," ketus Nadira. "Ya udah, jalanin dulu aja sebisanya, besok kalo Tata udah mendingan kita kebut."
Mendengar kata-kata Nadira, laki-laki tampan dan berjiwa ksatria itu pun memberi aba-aba hormat dengan tangan kanannya.
"Siap ... Komandan ...," ucap Ayman dengan lemas.
***
Hari kedua.
Terlihat, kondisi dapur yang sangat berantakan, seperti tak terurus.
Hilmi yang sedang bersih-bersih subuh itu, dikejutkan dengan kedatangan Nadira yang sudah ada di belakangnya tanpa bicara sepatah kata pun.
"Loh? Mbak Nadira? Kenapa, Mbak?" tanya Hilmi sambil menahan jantungnya yang berdebar-debar.
"Ini karyawan pada belum dateng?" tanya Nadira dengan wajah seriusnya.
"Udah kok, Mbak."
Nadira melihat ke sekitarnya. Namun, tak mendapati satu pun karyawan yang berkeliaran.
"Mana?" tanya Nadira lagi dengan wajah heran.
Hilmi menahan tawanya, "Saya."
Mendengar ucapan Hilmi barusan membuat Nadira mendengus kesal sekaligus gregetan.
Tanpa basa-basi lagi, Nadira pun meninggalkan Hilmi dan naik ke ruangan atas.
Hilmi yang berpikir kalau Nadira akan tertawa karena lelucon recehnya itu pun agak sedikit kecewa, karena bukannya tertawa, malah sebaliknya.
Demi kesehatan mental yang perlu dijaga dengan baik, Hilmi mulai melupakannya dan lanjut bekerja.
Hari sudah menunjukkan pukul 8 pagi, semua karyawan sudah datang dan mulai bekerja sesuai tugasnya masing-masing.
Nadira pun turun ke ruangan bawah. Melihat keadaan dapur yang sangat sibuk, Nadira pun berinisiatif untuk membantu mereka.
"Loh? Kamu ngapain, Nad?" tanya seorang karyawan laki-laki.
"Kerja. Kenapa?" jawab Nadira dengan tegas.
"Saya kalo jadi kamu, mendingan duduk santai di atas sambil makan donat, Nad ...," celetuk Jono—tim bagian medis yang juga bantu bersih-bersih.
"Iya, tapi sayangnya saya bukan kamu."
Epic comeback!
Karyawan yang lain pun menahan tawanya. Namun, ada juga yang tidak sengaja terlepas sedikit dan menahannya kembali dengan tangan di mulutnya.
Nadira pun ikutan mesem melihat Jono yang tidak bisa berkata lagi.
Seketika, Nadira ingat tentang nasibnya Tata. "Oh iya, Jon. Tata udah mendingan?"
"Udah, Mbak," jawab Jono.
"Loh? Kok cepet banget sembuhnya?"
"Iya dong, kan saya yang ngobatin." Jono merasa keren.
"Terus sekarang Tata di mana?"
"Lagi di atas tadi saya liat. Main game ...."
"Main game?" tanya Nadira memastikan.
Jono pun mengangguk.
Nadira yang sedang mencetak adonan donat, langsung melepaskan sarung tangannya dan bergegas menuju ruangan atas.
Setelah mencari-cari Tata di ruangan atas, akhirnya dia pun menemukannya.
"Tata!"