Bagaimana rasanya jika kita harus terhenti dari impian yang diidamkan karena suatu alasan yang konyol. Rasanya pasti menyakitkan. Hal itu yang kini tengah di alami oleh Adit.
Penyanyi, aktor, sekaligus model muda nan tampan harus vakum sejenak dari pencapaiannya.
"Setidaknya aku tidak harus berpura-pura lagi," gumam Adit, dengan mata lurus menatap ke depan.
"Kau rela semua kariermu hilang begitu saja?" tanya wanita bersurai merah muda. Entah bagaimana manajernya itu bisa melontar pertanyaan tidak berbobot, Adit tidak mengerti.
"Hentikan bertanya pertanyaan konyol itu, Manajer Thea."
Manajernya harus menghela nafas atas sifat dingin, cuek, menyebalkan yang melekat pada diri Adit.
Adit adalah seorang aktor, penyanyi, serta model yang dapat menghasilkan jutaan rupiah dalam sekali bicara.
"Jadi, tolong jaga imagemu di depan publik" cetus Thea, sembari menghela nafas. Dosa apa yang dia miliki di kehidupan lalu hingga harus bertemu manusia semacam Adit, Thea ingin menangis rasanya.
Laki-laki itu menatap Thea sebentar, lalu mengalihkan pandangan keluar kaca mobil. Memandang beragam gadis yang kini menangis sembari memegang posternya.
Jika ditanya rela atau tidak jelas dia tidak rela, tidak ada seorang pun yang rela melepaskan impiannya walau hanya sejenak dan itu berlaku bagi Adit.
Satu hari lalu ...
Matahari baru saja meninggi, menghantarkan kehangatan bagi setiap insan manusia yang sedang bergelung malas di dalam selimut tebal.
Libur natal baru saja berakhir dan hari-hari melelahkan akan segera datang. Semua orang tidak bisa menghindar, tidak terkecuali Adit yang kini sibuk mengerjapkan mata pelan.
"Pusing sekali," gumamnya. Laki-laki itu memegang kepalanya yang berdenyut nyeri.
Adit berusaha bangun, tapi tubuhnya sangat lemah. Walau lemah tetap saja dia bangun dan menatap dirinya di cermin.
"Kenapa bayang-bayangku tidak ada?" Laki-laki itu menatap ke bawah, lalu mengalihkan pandangan pada jendela.
Segera dia berlari dan membuka lebar gorden dan kembali menatap ke bawah.
"Pasti aku sedang bermimpi." Adit langsung saja menampar pipinya hingga memerah, tapi dia sadar bahwa ini bukan mimpi.
Laki-laki itu berusaha menyangkal pikiran gila bahwa dia adalah arwah. Oh, ayolah ini bukan jaman kerajaan hingga dia harus mempercayai dongeng tentang arwah yang tidak tenang.
Dengan segala keyakinan itu ia memasuki kamar mandi, karena menurut orang-orang arwah itu tidak akan basah karena air.
Adit masuk ke dalam kamar mandi dengan senyum merekah dan keluar dengan wajah pucat pasi. Dia benar-benar menjadi arwah, sepertinya.
Dia memandang kosong semua piala yang terjejer rapi di lemari kaca pojok kamar. Piala dari aktor terbaik hingga penyanyi terbaik dia dapat selama tiga tahun berturut-turut.
Laki-laki itu turun ke lantai bawah dengan setelan santai, tapi wajahnya terlihat sangat tegang. Ini adalah hal yang paling dia takutnya, yaitu tidak terlihat oleh orang.
"Adit, kamu kapan pulang? Sini bergabung makan." Wanita paru baya menarik Adit dan beberapa saat laki-laki itu menarik nafas lega. Setidaknya dia bisa bercengkerama seperti biasa, tapi sampai kapan?
Adit harus segera mencari jalan keluar.
"Bukannya kamu keluar kota, kenapa masih di sini?" tanya laki-laki tampan bersurai coklat, Arman. Kaka dari Adit.
"Kenapa kamu terlihat sangat terkejut dengan kepulanganku, Kak?" Adit menaikkan satu alis.
"Aku tidak terkejut, hanya ingin tahu saja." Arman menepuk pelan pundak adiknya.
"Aku masih tersentuh. Aman," batin Adit.
Keluarga itu menghabiskan waktu saling bercengkerama dan melempar canda satu sama lain. Arman dan Adit adalah Kaka beradik yang memilih jalan sama, yaitu dunia Entertainment.
Karena alasan konyol itulah kini Adit harus menatap beberapa fansnya yang menangis histeris dari dalam jendela mobil.
"Kita sudah sampai." Thea segera turun diikuti oleh Adit.
Laki-laki itu menarik nafas panjang, dengan mata sibuk memandai bangunan tinggi yang berjejer rapi.
"Sembunyikan ini pada siapa pun jika aku tinggal di sini," kata Adit, laki-laki itu melirik ke arah Thea yang mengangguk.
"Kenapa kamu tidak tinggal bersama keluargamu saja?" tanya Thea.
"Tidak apa-apa, lebih baik kamu segera pergi atau akan ada orang yang curiga." Adit menarik koper yang baru saja diturunkan oleh sopir.
Ia segera menuju lantai sembilan bernomor 9, tepat di depan apartemennya ada kamar lain bernomor 13. Saat dia ingin memasuki apartemen, terlihat seorang gadis yang sibuk menciumi posternya hingga gadis itu tidak sengaja terjatuh karena terlilit tali sepatunya sendiri.
Adit yang semula ingin memasuki apartemen, harus terhenti. Setitik iba muncul melihat gadis itu jatuh, tapi yang lebih mengejutkan gadis tersebut malah lebih dahulu mengelus poster yang dia bawa daripada lututnya yang memerah.
"Apa kamu sakit, Kak? Ah, aku lupa kamu hanya poster!" ucap gadis itu.
Laki-laki itu mengerjapkan mata pelan, dalam hati ia ingin menolong, tapi jika gadis itu tahu ia di gedung yang sama pasti akan menjadi keributan.
Adit dengan matanya melihat bagaimana gadis cantik tersebut menyobek posternya, seakan sedang melampiaskan rasa marah.
"Dhea, tunggu sebentar!" seru gadis lain di belakang.
Dhea, nama yang cukup cantik, tapi sayang pemiliknya sedikit tidak waras, pikir Adit.
Dari pada masuk ke dalam apartemen Adit lebih memilih untuk menatap gadis yang kini berdiri mematung tidak jauh darinya.
Mata laki-laki itu memicing saat gadis lain yang tadi berlari memberikan sebuah keresek putih.
"Dari Arga katanya kamu tidak boleh menangis." Adit sedikit mendengar nama laki-laki yang gadis itu sebutkan.
"Terima kasih, Tina, katakan padanya ini yang terakhir. Aku pacar Adit dan dia harus mengerti itu," jawab Dhea.
Mata Adit tiba-tiba membesar saat Dhea mengaku bahwa dia adalah kekasihnya. Jangankan menjadi kekasih, kenal saja tidak.
Saat Tina tersenyum canggung, lalu berbalik arah, Adit ingin masuk ke dalam apartemennya, tapi sebuah suara membuat pergerakannya terhenti.
"Kak Adit!"
"Mati kamu Adit, gadis aneh itu melihatmu," batin Adit.
Dhea mendekat dan menatap berbinar ke arah Adit, membuat laki-laki itu tidak nyaman.
"Kamu tampan sekali dan kamu satu— " Dhea melompat gembira dan refleks memeluk Adit.
"Lepaskan aku!" bentak Adit, dengan tangan mendorong Dhea kasar.
Mata bulat itu mendongkak, sedikit tatapan sendu dilayangkan dan hal itu membuat pelaku pembetakan sedikit tidak enak.
"Maafkan aku, hanya saja kau terlalu berlebihan," ucap Adit.
"Menarik. Sesuai tipeku, tampan, pintar bernyanyi, galak aslinya perhatian, satu lagi saldo rekening banyak!" seru Dhea.
Adit langsung mundur beberapa centi meter, mata laki-laki itu sedikit melebar dengan raut wajah yang sangat diartikan.
Dengan cepat dia memencet nomor apartemennya dan masuk meninggalkan Dhea di luar mematung. Saat gadis itu sadar dia berteriak dari luar.
"Kak Adit, kamu milikku!"
Entah Adit mendengar atau tidak, tapi mulai hari ini ucapkan selamat tinggal kehidupan damai saudara Aditia Setya Mahesa.