Dhea membuang wajahnya ke samping, menghindari tatapan orang yang duduk di depannya.
"Ini, ambil kalungmu, walau tidak sebagus tadi. Aku merasa bahwa kalung itu sangat istimewa untukmu," katanya sembari memberikan kalung anjing milik Dhea.
Gadis itu menoleh cepat dan merebutnya. Matanya terlihat berbinar indah.
"Terima kasih, Kak, tapi aku belum memaafkanmu," jawab Dhea.
"Memang aku memiliki kesalahan? Kumerasa sama sekali tidak, nama anjingmu itu sangat buruk dan aku hanya menggantinya," ucap Adit acuh.
"Seharusnya aku tidak berharap lebih," lirihnya.
"Benar."
Adit bangkit dan berjalan ke arah pintu, sebelum dia menarik gagang pintu lebih dulu menoleh ke belakang.
"Kamu bisa menitipkan Mochi besok lagi dan namanya mulai hari ini Mochi," katanya. Setelah itu dia pergi meninggalkan Dhea yang tersenyum seperti orang gila.
"Namanya sekarang Mochi, sangat indah dan aku ingat itu makanan kesukaan dia," monolognya.
Dhea berlari ke kamar dam melemparkan diri ke pulau kapuk. Dia menendang-nendang selimut guna menyalurkan kebahagiaan.
Bukan hanya di situ, kini Dhea bangkit dan berbicara pada anjingnya.
"Mochi, namamu sekarang adalah Mochi. Indah sekali, apalagi yang memberi nama itu adalah idolaku," katanya.
Mochi tidak merespons dan hanya memejamkan mata. Dhea terdiam, dia ingat memiliki banyak makanan. Walau sedikit kesal jujur saja keinginan untuk mengganggu Adit.
Dia terdiam beberapa saat dengan pipi menggembung lucu. Dhea menarik nafas, persetan dengan rasa kesal. Di hanya ingin bertemu dengan penyanyi tampan itu.
Di unit lain Adit memejamkan mata, tangannya sibuk memetik senar gitar. Mimpi manis, lagu yang kini dia lantunkan.
Adit ingat menghina anjing Dhea, jika dipikir lagi sama saja dia menghina lagunya. Itu adalah salah satu album milik Adit yang sangat sensasional.
Laki-laki itu menghentikan petikan pada senarnya saat suara pintu dibuka terdengar. Dia mengalihkan pandangan dan tersenyum kecil.
"Kamu marah padaku, tapi kamu tetap ke sini," cibirnya.
"Aku akan tetap marah, Kak, tapi rasa ingin bertemu denganmu semakin besar," jawab Dhea.
Keresek yang dia tengteng diletakkan di atas perut Adit.
"Apa kamu tidak lihat gitar yang kupangku?" tanyanya.
"Singkirkan benda tua itu," kata Dhea.
"Enak sekali mulutmu menghina." Adit menarik keresek tersebut dan meletakkan di sisi kursi yang kosong, lalu meletakkan gitar di bawah.
Dia memeriksa makanan yang Dhea bawa, dari makanan yang biasa tersedia dipinggir jalan hingga makanan swalayan.
"Kamu merampok temanmu itu?" tanyanya dengan tatapan tidak percaya.
"Iya, walau begitu dia tidak akan miskin. Kelakuan orang kaya memang berbeda," jawab Dhea. Gadis itu mengambil satu ayam goreng yang pengang Adit.
Penyanyi tampan itu juga mengikuti Dhea, sudah lama dia tidak memakan makanan seperti ini semenjak menjadi penyanyi. Dia hanya makan sayuran hijau untuk menjaga kesehatan.
"Terakhir aku makan makanan seperti ini satu tahun lalu," kata Adit, otomatis Dhea memandang ke arahnya.
"Lalu apa yang kamu makan selama ini?" tanyanya.
"Sayuran hijau, manajer akan memarahiku jika ketahuan makan-makanan seperti ini," jawab Adit.
Tidak sadar Dhea terbawa suasana, dia mengira menjadi terkenal itu sangat menyenangkan. Terkenal dalam artian dikenal seluruh orang di dunia.
"Pasti hidupmu tiga tahun ini tidak lebih baik dari kambing," cetus Dhea.
Adi menengok, sedikit rasa tersindir timbul. Yang dikatakan Dhea tidak sepenuhnya salah jika dia tidak lebih baik dari kambing.
Sejak debut Thea akan menceramahi habis jika ketahuan memakan makanan yang berminyak.
"Sebenarnya tidak seburuk itu, aku masih bisa memakan steak di restoran terkenal."
"Benarkah? Aku iri denganmu," katanya.
Laki-laki itu terkekeh, dia tidak mengira bahwa Dhea akan iri perkara steak saja.
"Kita bisa membuatnya lain kali." Mata itu seketika berbinar indah menatap Adit.
"Aku tidak sabar."
"Nanti jika kamu mendapatkan nilai sempurna, lebih baik kamu pulang dan kerjakan tugasmu, Dhea." Mata gadis itu memicing, lalu menggeleng.
"Tidak mau, akan menyontek Arga saja," jawabnya.
"Kamu satu kelas?"
"Iya."
Hening, keduanya lebih memilih fokus memakan makanan yang Dhea bawa daripada membuka percakapan. Hingga Adit teringat sesuatu.
Dia melirik ke arah gadis itu, tapi rasa ragu lebih mendominasi.
"Kamu ingin bertanya sesuatu tentangku?" Seperti dukun, Dhea membuka percakapan lebih dahulu.
"Benar, kamu bisa menjawab pertanyaanku?"
"Mungkin, tapi akan lebih baik kamu berikan padaku minuman dahulu, aku tidak ingin mati karena tersedak dan gagal berkencan denganmu," kata Dhea.
Adit memutar bola mata malas, lalu bangkit. Dia kembali dan membawa dua kaleng cola, Dhea yang melihat itu langsung saja merebut hingga dengusan kasar terdengar samar dari Adit.
"Kamu terlihat seperti orang tidak minum selama berabad-abad," ejeknya.
"Terserah, apa yang ingin kamu tanyakan?"
"Apa hubunganmu dengan manajerku?"
Bukannya menjawab Dhea malah membisu, dia tidak membuka mulut sama sekali.
"Aku harus pulang," katanya. Adit menatap punggung sempit yang semakin menjauh, dia ingin menghentikan, tapi egonya menahan.
Hingga punggung sempit itu hilang Adit tetap di tempat yang sama. Tidak bergerak sama sekali, pikirannya berkelana ke mana-mana.
"Apa aku harus minta maaf?"
Adit ingin bangkit, tapi dia ingat acara yang Arman wakili akan tayang beberapa saat lagi. Matanya bergerak resah, dia juga ingin meminta maaf pada Dhea saat ini.
"Aku akan menonton di apartemen Dhea," batinnya.
Saat Adit membuka dia melihat laki-laki tampan bersandar di depan apartemen Dhea.
"Kamu siapa?" tanyanya.
"Hai, namaku Daffa. Apa kamu tahu di mana pemilik apartemen ini?" tanyanya.
"Aku kira Dhea di dalam, kamu bisa menekan belnya," jawab Adit.
"Bisa lakukan untukku?"
Adit ingin menolak, tapi laki-laki di depannya terlihat sangat putus asa. Walau berat hati dia maju dan menekan bel, hingga Dhea keluar.
"Ada apa?" tanyanya.
"Ada orang mencarimu," jawabnya sembari menengok ke belakang.
Seketika mata Adit membesar, orang tadi hilang entah ke mana. Dia berusaha melihat ke lorong, tapi tidak ada siapa pun.
"Mana? Aku tidak melihat siapa pun."
"Orang itu tadi di sini, dia sangat pucat. Aku ingat warna kemeja biru, tapi terlihat sangat lusuh," jawab Adit.
"Masuklah, jangan gunakan orang lain untuk bertamu di apartemenku, aku tidak takut dengan hantu atau arwah, ehem... Kecuali satu," jawabnya.
"Satu?" Adit mengernyitkan dahi tidak mengerti.
"Masuklah atau akan kututup pintuku?"
Laki-laki itu tersenyum canggung dan segera masuk, dia melihat acara TV yang Dhea lihat adalah acaranya malam ini.
"Aku ingin tahu kamu menang berapa penghargaan," celetuk Dhea.
"Empat atau lima jika tidak salah," jawabnya. Dia tidak membual, karena kemarin Adit diberi bocoran.
Adit menarik Dhea agar duduk bersama dan mata mereka beberapa saat saling terkunci sebelum pembaca acara menyadarkan keduanya.