Hari sudah semakin sore, tapi Dhea belum juga pulang. Adit yang terbiasa diganggu teriakan nyaring gadis itu merasa sedikit kesepian.
Dia membuka jendela yang menghubungkan jalan, dari sana dia melihat banyak kendaraan berlalu lalang hingga suatu pemandangan Dhea yang sedang turun dari mobil Arga.
Adit menatap terus menerus ke arah bawah hingga Dhea menghilang memasuki gedung. Dia tahu jika mungkin saja Arga dan Dhea berkencan, tapi memikirkan hal itu membuatnya kesal sendiri.
Saat dia menutup jendela bertepatan dengan pintu terbuka, menampilkan Dhea yang membawa beberapa keresek makanan.
"Ini bukan unitmu, Dhea," ucapnya.
"Aku tahu. Di sini aku hanya ingin menitip makanan saja, nanti akan aku akan ke sini lagi." Gadis itu meletakkan semua makanan di atas meja dan berlari keluar.
Adit menggelengkan kepala dan melirik keresek yang Dhea bawa. Dia menebak pasti semua makanan itu dari Arga.
"Kenapa aku sangat kesal," gumamnya.
Dia mengambil gitar berwarna putih gading di dalam kamar, itu adalah satu gitar kesayangan Adit.
Jari-jari itu memetik senar dan tanpa sadar dia menyanyikan lagu patah hati, singkatnya lagu yang menggambarkan seseorang yang tidak memiliki kesempatan mengutarakan perasaan.
"Apa kamu sedang patah hati?" Adit refleks menghentikan petikan pada gitarnya dan menatap Dhea yang baru datang bersama bulatan bulu.
"Kemarikan Mochi, aku memiliki hadiah untuknya." Adit maju dan mengambil Mochi dari gendongan Dhea, membawanya ke dalam kamar.
Dhea mengedikkan bahu acuh dan lebih fokus pada ayam goreng yang baru saja dia ambil di dalam keresek.
Adit keluar bersama Mochi yang terlihat sangat bahagia, Dhea yang melihat itu hanya tersenyum kecil. Dia lebih menyukai makanan saat ini.
"Kamu terlihat tidak makan beberapa hari," cibir Adit melihat bekas saus diujung bibir Dhea.
"Aku tahu kamu selalu gemar menghinaku, jadi kuiyakan saja." Laki-laki itu maju dan membersihkan ujung bibir Dhea, tanpa tisu.
Beberapa saat mata mereka terpaku satu sama lain, hingga Adit sadar dan mengalihkan fokus pada Mochi. Begitu pula Dhea yang menunduk dengan wajah memerah.
Hening, Adit maupun Dhea lebih memilih fokus pada dunia mereka.
Dhea sibuk bertukar pesan dengan Arga dan Adit yang sibuk bermain dengan Mochi. Beberapa kali raut wajah gadis itu berubah kesal.
"Ada apa dengan wajahmu?" tanya Adit. Dia menyadari raut wajah Dhea yang terlihat menahan kesal.
"Arga mengejekku payah," jawabnya.
"Di hanya jujur." Adit hanya menanggapi ala kadarnya, karena rasa kesal mulai timbul saat Dhea membicarakan Arga.
Dhea hanya memandang datar ke arah Adit dan kembali membaca pesan yang masuk, saat dia ingin membalas tiba-tiba tangan Adit menarik ponselnya.
"Sangat tidak sopan bermain ponsel saat ada orang," kata Adit tanpa menatap ke arah Dhea.
"Memang kamu manusia, Kak?" tanya Dhea, membuat Adit refleks menatap gadis itu tajam.
"Lalu, menurutmu aku apa?"
"Hantu, tapi dalam wujud malaikat," jawab Dhea. Badan Adit tiba-tiba saja kelu, seolah rahasianya baru saja dibongkar.
"Kamu bilang seperti itu atas dasar apa?"
"Kamu menyebalkan, tapi kamu juga sangat tampan. Bagaimana ini? Kamu terlihat tambah tampan setiap menitnya?" heboh Dhea. Dia bahkan menutup mulutnya seolah terkejut.
"Bahkan rumah sakit jiwa tidak akan menerimamu," cetus Adit. Walau wajahnya memerah karena tersipu, tapi tetap saja apa yang diucapkan tidak sesuai.
"Apa maksudmu, Kak?" Adit hanya memutar bola mata malas dan memakan ayam goreng di meja.
Saat asyik memakan ayam tiba-tiba bel berbunyi. Dhea menatap ke arah ke Adit yang akan bangkit seolah bertanya itu siapa.
"Jangan menatapku seperti itu, mungkin itu manajer Thea atau kakakku," kata Adit.
Dhea hanya berdiam diri di sofa, suasana hatinya memburuk saat nama Thea disebut. Benar kata Adit, itu adalah Thea.
"Duduklah, Kak, aku akan mengambil minum," kata Adit.
Dhea berdecak, apa-apaan tadi? Adit sangat manis pada Thea.
"Aku pulang!" seru Dhea.
"Kenapa?" tanya Adit dari dapur. Tanpa membalas pertanyaan Adit, Dhea pergi begitu saja. Namun, dia lupa pada Mochi yang masih dibawa oleh Adit.
Thea hanya mengedikkan bahu acuh saat anak didiknya itu datang membawa nampan berisi jus jeruk.
"Kamu dekat dengannya?" tanya Thea.
"Sedikit," jawabnya.
"Sedikit?" Thea menaikkan satu alis, mencoba menggoda Adit.
"Iya, tidak sedekat yang kamu pikirkan!" laki-laki itu mengalihkan pandangan ke sembarang arah, dia kenal Thea dengan baik.
Thea mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan.
"Sedikit, tapi aku mencium parfumnya di setiap ujung ruangan ini." Wanita itu menyandarkan badan, mengabaikan bola mat Adit yang bergerak gelisah.
"Ah, ya! Itu juga anjingnya masih kamu bawa, apa itu yang disebut sedikit?" tanya Thea sembari menunjuk Mochi yang duduk di sampingnya.
Thea memajukan tangan, menyentuh kalung milik Mochi.
"Kamu mengubah namanya? Wah, cukup menggemaskan."
"Kamu kesini untuk memojokkanku atau apa, Manajer?" tanya Adit dengan nada ragu.
"Aku hanya ingin berkunjung. Kamu tahu melihat Dhea membuatku tenang, kuharap kamu cepat kembali ke dunia Entertainment," kata Thea sembari menunjuk ke wajah Adit.
"Iya-iya!" Adit menarik nafas panjang. Berhadapan dengan Thea jauh lebih mengerikan dari pada saat audisi.
Mereka menghabiskan waktu sekitar satu jam hanya untuk membicarakan hal tidak berguna dan berakhir Thea memberantakkan unitnya.
"Sepertinya aku harus segera pulang," pamit Thea, dengan senyum merekah.
Adit mengantarkan Thea sampai depan pintu, sesudah wanita itu pergi, Adit menatap pintu apartemen Dhea yang tertutup rapat.
Mochi menjilat tangan Adit hingga dia tersadar dan segera beranjak dari pintu untuk merapikan kekacauan yang dibuat manajernya tadi.
Saat merapikan meja senyum Adit terbitlah mengingat wajah Dhea saat memujinya.
"Dia sangat menggemaskan. Ah, tidak seperti itu!"
Selesai membersihkan meja Adit segera pergi ke apartemen Dhea, dengan membawa Mochi di gendongan. Dia memencet bel hingga jengah, tapi Dhea tidak kunjung membuka pintu.
Adit yang bosan menyandarkan badan ke tembok dan melihat pria yang sama seperti hari lalu.
"Kamu tidak pulang, Daffa?" tanya Adit.
"Ini rumahku, di mana aku harus pulang?" Adit mengerutkan dahi tidak mengerti.
"Kenapa kamu tidak tembus saja tembok ini, kukira Dhea sudah tidur," lanjut Daffa.
"Baiklah, idemu tidak buruk."
Adit segera memosisikan dirinya, lalu segera menembus tembok. Benar yang dikatakan Daffa, Dhea tertidur di sofa.
"Sebentar, Daffa tahu aku adalah...," Adit menjeda ucapannya. Di menelan ludah kasar, lalu menarik nafas panjang.
Dengan ragu di mendekat ke arah Dhea. Mochi menggonggong keras, hingga membuat dua kelopak mata bambi itu terbuka.
"Eoh, Kak Adit?" Dhea menegakkan duduknya.
"Tidurlah di dalam kamar, jangan di sofa." Adit meletakkan Mochi ke lantai dan ikut duduk bersama Dhea.
Dhea mengangguk, tapi tidak beranjak barang sedikit pun. Dia masih memejamkan mata. Adit yang gemas langsung saja menggendong Dhea dan membawanya ke kamar.
Saat di kamar Adit tidak sengaja tersandung sesuatu hingga dia jatuh di kasur dengan posisi Dhea di bawah dan jangan lupakan kedua mata gadis itu menatap Adit.
Seolah tersihir keduanya sibuk menyelami manik masing-masing hingga gonggongan Mochi merusak semua.