Dhea menyandarkan badannya ke kursi, berulang kali mengais oksigen di tengah para pelajar yang sedang berbincang banyak hal.
Dia ingat kemarin, dia sangat dekat, tapi Mochi membuat semua lenyap. Ah, Dhea menyesali gonggongan Mochi.
Saat melamun Dhea merasakan dingin di pipi, dia mendongkak menatap malas ke arah pelaku.
"Ck, kamu tidak memiliki pekerjaan, Arga?" tanyanya dengan nada kesal sangat jelas.
"Pekerjaanku hanya mengganggumu, bukankah kamu seharusnya senang akan fakta itu?" Arga menaik turunkan alis menggoda, sedangkan Dhea hanya memandang datar.
"Pergilah, aku tidak dalam mood baik hari ini," ucap Dhea, lalu dia beranjak, tapi Arga tetap mengekor di belakang.
Dhea membalik badan, menatap ke arah Arga sengit. Ah, dia sangat ingin sendiri hari ini.
"Arga, jangan mengikutiku!"
"Tapi, aku hanya ingin ke kantin, Dhea," jawab Arga. Seketika wajah Dhea memerah sempurna karena malu.
Dhea menyingkir dan benar saja Arga melewatinya begitu saja. Dhea menutup wajahnya karena malu, lalu berlari kembali ke kelas.
Sampai di kelas Dhea menelungkupkan kepala di meja, mengabaikan tatapan penuh tanya Tina.
"Ada apa, Dhea?" tanyanya, gadis itu mendekat dan duduk di samping Dhea.
"Tidak ada apa-apa," jawab Dhea dengan suara teredam, membuat Tina bisa mendengar jelas.
"Kamu bisa angkat wajahmu sebentar, suaramu teredam, Bodoh," ucap Tina diikuti olok-olokan.
Dhea mengangkat wajah dan menatap datar ke arah Tina.
"Aku tidak apa-apa. Sudah dengar?" tanya Dhea, yang dibalas anggukan.
"Baiklah, aku ingin ke kantin. Kamu titip sesuatu?" tanya Tina.
"Roti dan air putih saja," jawabnya sembari mengeluarkan selembar uang warna biru.
Setelah Tina pergi Dhea mengecek ponsel, lalu menatap malas pesan yang masuk. Dia kembali memasukkan ponsel ke daku blazer.
Tidak lama Tina kembali dengan Arga. Mereka sibuk melemparkan lelucon satu sama, seketika Dhea membuang wajahnya ke samping.
"Dhea, lihatlah aku ditraktir Arga," kata Tina dengan senyum merekah.
"Oh, Wah! Aku tidak tahu Arga sebaik itu," jawabnya, dengan nada tidak suka.
Arga yang melihat itu hanya tersenyum tipis, dia ingin mengulang masa lalu jika mungkin.
"Jangan cemburu, kamu bisa meminta apa pun padaku," goda Arga. Dhea hanya memutar bola mata malas dan lebih fokus pada roti yang dibeli Tina.
"Ini uangmu, Dhea." Tina menyerahkan uang milik Dhea tanpa mengurangi nominal.
"Kok masih utuh?" tanya Dhea.
"Dibayari Arga tadi," jawab Tina acuh, sedangkan Dhea hanya menatap ke arah Arga dengan tatapan sulit diartikan.
•••
Dhea merapikan buku-buku saat jam pelajaran terakhir baru saja usai. Dia ingin bangkit, tapi Arga lebih dulu menahan tangannya.
"Ada apa, Arga?" tanyanya.
"Pulang bersamaku," jawab Arga.
"Enak saja, aku dan Dhea akan mengerjakan tugas jika ingin berkencan besok saja," sahut Tina. Gadis itu menarik paksa Dhea, sehingga Arga harus melepaskan genggaman tangan Dhea.
Tina dan Dhea berjalan beriringan dengan tangan saling bertaut satu sama lain.
"Seharusnya kamu tidak melakukan itu pada Arga, Tina," cetus Dhea. Terdengar bahwa dia sedikit peduli pada Arga? Mungkin.
"Kamu mulai menyukainya?" tanya Tina yang hanya dibalas dengan dengusan sebal.
"Tidak seperti itu, hanya saja kita bisa memanfaatkan dia tadi. Andai kamu tidak menarikku paksa mungkin kita bisa bareng sama dia," jawab Dhea, dengan senyum tanpa dosa.
"Aku kira kamu peduli ternyata sama saja," ucap Tina dengan memutar bola mata malas.
Beberapa meter berjalan tiba-tiba mobil Honda Jezz berhenti di hadapan mereka. Awalnya Dhea mengira itu penculik, tapi orang gila mana yang akan menculik gadis SHS.
Orang di dalam mobil menurunkan kaca, membuat Tina mengernyitkan heran sambil menyenggol lengan Dhea.
"Oh, hai, Kamu—" ucap Dhea terpotong, kala melihat mata dari pemilik mobil itu. Orang itu memakai masker dan topi, sangat sulit untuk dikenali.
"Cepatlah masuk," kata orang di dalam mobil.
"Aku bersama temanku, Kak," jawab Dhea.
"Tidak masalah, selagi dia bisa tutup mulut," jawabnya.
Dhea tersenyum, lalu menarik Tina masuk ke kursi belakang. Di dalam mobil Tina tidak henti menatap was-was sedangkan Dhea malah asyik memandang sopir.
"Kamu dari mana, Kak Adit?" tanya Dhea.
"Rumah," jawabnya sembari menurunkan masker. Tina yang melihat penyanyi terkenal itu tidak bisa menutup keterkejutannya.
"Kamu sekarang jadi simpanan, Dhea?" tanya Tina, dengan mata menyalang.
"Bodoh!" Dhea memukul kepala Tina, hingga sang empunya mengaduh kesakitan.
"Lalu, kenapa kamu bisa kenal penyanyi terkanal seperti dia?" Tina menatap tidak percaya ke arah Adit. Oh, ayolah ini Adit Setya Mahesa. Penyanyi, aktor, sekaligus model terkenal.
Bagaimana Tina tidak kaget seperti ini?
"Aku pindah ke apartemen dan kebetulan bertetangga dengan Dhea," sahut Adit.
Tina melebarkan mata, lalu mengguncang tubuh Dhea, hingga membuat sang korban mengaduh kesakitan.
"Lepas, Tina! Sakit tahu!"
"Dhea, aku ingin tinggal di apartemenmu!" serunya.
"Tidak-tidak, Kak Adit adalah milikku!"
Sementara Tina dan Dhea bertengkar, Adit malah tersenyum melihatnya. Lebih tepat ke arah Dhea.
Manis, batin Adit.
Selama perjalanan ke apartemen mobil Adit benar-benar ramai. Dan kini kedua gadis itu duduk malah di unit milik Dhea.
Biasanya Mochi akan menggonggong keras, tapi anjing itu sudah dibawa oleh Adit. Dengan dalih belajar lebih tenang tanpa gangguan.
"Aku capek, Dhea. Kamu kerjakan sendiri aku akan pulang," ucap Tina yang dibalas delikan tajam.
"Enak saja kamu, Tina!"
"Kamu bisa buat ini sebagai cara pendekatan dengan Adit," kata Tina, seolah menggiurkan.
"Caranya?"
"Kamu datang dan minta tolong agar dia membantumu mengerjakan tugas," jawab Tina, dengan senyum mengembang. Ah, sebenarnya Tina hanya membuat opini tanpa berpikir dia hanya ingin pulang saja tidak lebih.
"Baiklah, kamu bisa pulang sekarang," jawab Dhea dengan senyum merekah.
Tina hanya mengangguk, sebelum dia pulang tidak lupa membawa beberapa koleksi coklat milik Dhea.
"Aku ambil sepuluh, ya?" tanya Tina yang dibalas anggukan.
Dhea mengantarkan Tina sampai depan pintu, sebelum masuk ke dalam Dhea merasakan hawa yang sedikit mengganggu.
Dia merapikan kekacauan yang dibuatnya dengan Tina. Setelah bersih Dhea berlari cepat ke unit Adit, dengan membawa beberapa alat tulis dan buku, lalu masuk tanpa meminta ijin. Dhea seperti menuruti kata-kata Tina.
"Kak Adit!" serunya. Dia berjalan dengan senyum merekah, tapi setelah melihat Thea di sana senyum itu lenyap.
"Dhea, kemarilah!" ucap Adit.
"Tidak, Kak, aku akan pulang." Dhea ingin membalik badan, tapi Adit lebih dulu menahan dan menariknya agar duduk.
"Aku ingin pulang, Kak!"
"Coba kulihat apa yang kamu bawa," kata Adit mengalihkan pembicaraan.
Thea yang melihat interaksi Adit dan Dhea hanya tersenyum ramah. Mereka terlihat sangat serasi.
"Apa aku mengganggu?" cetus Dhea, membuat Adit tersenyum canggung sedangkan Dhea hanya memutar bola mata malas.
"Tidak sama sekali, Manajer," jawab Adit.
"Baiklah, Adit, aku mempercayai kebohonganmu. Aku pamit pulang dulu, kamu tahu banyak hal yang harus aku lakukan," ucap Thea.
Adit hanya tersenyum canggung, ah dia seperti remaja yang sedang jatuh cinta.