Dhea menatap ke arah Adit yang tengah sibuk dengan ponsel disofa depan TV. Dia berlari dan menerjang tubuh Adit hingga pria itu tersentak.
"Kak, aku beli buku banyak. Mau membacanya?" tawar Dhea.
"Tidak, terima kasih," jawabnya.
Adit mendorong tubuh Dhea dan fokus pada ponselnya lagi. Gadis itu melirik ke arah ke ponsel Adit.
"Dasar tidak sopan," ujar Adit. Setelah itu Adit bangkit dan mengambil masker serta topik. Tidak lupa dia memakai jaket hitam.
"Kak, mau ke mana malam-malam?" tanya Dhea.
"Pulang sebentar," jawabnya.
"Ikut!" serunya.
Adit tidak mengindahkan Dhea dan ingin berjalan, tapi Dhea menghalanginya berulang lagi.
"Aku hanya sebentar. Di dapur ada roti, makanlah," ujar Adit.
"Tidak mau! Aku ingin ikut, ya?" Adit tidak memberi jawaban dan fokus ingin menyingkirkan Dhea, tapi gadis itu sangat bebal.
"Iya!" geram Adit.
Dengan riang Dhea mengapit lengan Adit dan pria itu hanya bisa menghela nafas pasrah.
"Kak, jika andai didunia hanya tersisa aku dan kamu—"
"Aku tidak akan memilihmu!" sela Adita seraya melepaskan tangan Dhea dan berjalan cepat.
Di area parkir Dhea tetap mengekor hingga sebuah mobil hitam berhenti di depan mereka. Dengan sedikit keras Adit mendorong Dhea masuk, lalu baru dia.
"Jangan dorong-dorong, Kak!" kesal Dhea.
"Kamu itu lambat jadi diamlah."
Mobil mulai berjalan dan Dhea berulang kali membuka mulut melihat wajah damai Adit yang tengah memejamkan mata.
Tiba-tiba Adit membuka mata dan melirik ke arah Dhea.
"Apa kamu tidak mau saat sopir melihatmu?" cetus Adit.
Dhea membuat pose berpikir dengan jari telunjuk mengetuk-ngetuk ujung bibir, lalu menggeleng.
"Tidak! Untuk apa malu? Ini kejadian langka dan aku menyukai kejadian langka ini," jawabnya.
Seketika kepala Adit terasa berat, dia kembali memejamkan mata daripada menanggapi Dhea. Dan hal itu berlangsung hingga mereka sampai di rumah Adit.
Turun dari mobil Dhea membuka mulutnya lebar. Rumah Adit sangat asri sangat jauh dengan rumahnya yang berhiaskan batu-batu mahal.
Sebenarnya sama indahnya, tapi Dhea tetap saja terpesona.
"Tutup mulutmu. Kamu seperti orang tidak mampu padahal tinggal di apartemen mahal," celetuk Adit.
Seketika Dhea mengubah raut wajahnya dan mengekor Adit di belakang.
Awalnya Dhea ingin menutup mulut, tapi mulutnya kembali terbuka melihat dalam rumah Adit yang sangat indah.
Di tengah ada sofa, lalu di tembok samping ada beberapa tanaman hias. Bahkan dia mendengar gonggongan anjing dari dalam.
"Mama!" seru Adit.
Tidak lama seorang wanita paru baya datang dengan menggunakan daster motif bunga-bunga. Dia tersenyum lebar diikuti anjing berjenis samoyed di belakangnya.
"Anak mama yang ganteng pulang juga! Sudah ingat rumah?" tanya Mama Adit, Mawar.
"Maafkan aku, Ma. Aku sampai berkunjung karena terlalu fokus membuat lagu," bohongnya.
Dhea yang mendengar itu menyatukan alis tidak mengerti. Selama dia kenal Adit, laki-laki itu tidak sekali pun membuat lagu
"Oke, mama terima alasanmu. Itu yang di belakang siapa?" tanya Mawar.
"Hama," jawab Adit asal hingga Mawar memukul main-main lengan putranya dan dengan dramanya Adit mengaduh kesakitan.
"Aduh, Mama, ini sangat menyakitkan. Aku harus ke rumah sakit," ujar Adit.
Dhea seketika membesarkan matanya, dia mengerjapkan mata pelan. Itu benar Adit, kan?"
"Siapa ini kok cantik banget? Pacar Adit, ya? Aduh kok mau sih sama anak saya," cerca Mawar.
"Ma, tipe Adit tidak seperti itu juga," sela Adit.
"Sok tipe-tipe kamu. Ada yang mau harusnya sudah bersyukur," ejek Mawar.
"Halo, Tante. Saya Dhea, penggemar Kak Adit yang kebetulan tinggal di depan unit Kak Adit " jelas Dhea.
Mawar menyambut Dhea dengan ramah, lalu membawa gadis itu ke dapur. Itu hal Adit takutkan, Dhea akan menjadi tumbal eksperimen makanan mamanya.
Melihat Dhea yang baik-baik saja hingga kini di dapur, Adit pergi ke kamarnya. Dia kehilangan beberapa ingatan dan sangat mengganggu.
Saat di kamar Adit menatap ke arah buku diary.
"Aku membutuhkan buku itu," gumamnya.
Adit mencari tas dan mengambil beberapa barang yang dia perlukan. Seperti video game, beberapa potong baju, dan buku diary.
Saat dia turun di sana sudah ada ayahnya yang ikut menjadi tumbal di meja makan.
"Papa, di mana Kak Arman?" tanya Adit. Dia meletakkan tas di sofa dan pergi ke ruang tamu yang kebetulan tidak ada skat penghalang.
"Katanya ke Australia, Son. Kenapa kamu mencarinya? Ingin mengenalkan kekasihmu ini?" tanya Papa Adit, Bram.
Adit hanya memutar bola mata malas.
"Dia bukan kekasihku," jawab Adit seraya mencomot puding di atas meja.
Adit menatap interaksi mamanya dan Dhea yang begitu akrab. Jujur saja dia kasihan pada mamanya yang harus tinggal sendiri saat siang hari.
Arman akan sibuk bekerja begitu pun papanya, sedangkan dia sibuk mencari cara kembali.
"Enak, Dhea?" tanya Mawar.
"Enak, Tante. Pantas saja Kak Adit pintar masak ternyata mamanya juga sangat hebat," puji Dhea dengan senyum mengembang hingga kedua matanya ikut tenggelam dalam senyuman.
Mawar yang gemas mencubit pipi Dhea main-main. Sedangkan Adit hanya bisa memejamkan mata sembari menggelengkan kepala melihat hal itu.
Mamanya dan Dhea itu sama saja.
"Kamu pernah dimasakan oleh kulkas itu?" tanya Mawar yang dibalas anggukan.
"Wah, sangat tidak adil! Adit, kamu harus masakan mama besok!" heboh Mawar.
"Tidak mau. Untuk apa banyak pelayan jika aku masih memasak?" tolak Adit.
"Hey, aku mamamu. Kekasihmu saja sudah kamu masakan."
"Dhea, ayo pulang! Atau kamu menginap di sini?"
Adit membalikkan badan merasa keadaan mulai tidak terkontrol. Dia ingin mengambil tasnya, tapi papanya lebih dulu bertanya.
"Adit, bagaimana keadaan Pak Teguh?" tanyanya.
°°°
Arga memasukkan motornya ke dalam garasi. Saat dia berjalan ke arah lift semua pelayan membungkuk hormat.
Dia memberikan jaket yang dia pakai pada pelayan pribadinya.
"Apa Mama dan Papa di rumah?" tanyanya.
"Tuan dan nyonya ada makan malam dengan kolega bisnisnya. Di dalam ada Nona Tina yang menunggu," jawabnya.
Mendengar nama Tina dengan cepat Arga berlari ke lift dan memencet angka empat. Dia mengepalkan tangan hingga ujung kukunya memutih.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Arga saat dia baru saja sampai di lantai empat.
Tina yang sedang membaca buku meletakkan buku tersebut, lalu mendekat ke arah Arga.
"Papa dan Mamamu yang memintaku menemanimu," jawabnya.
"Tidak perlu. Pulanglah," balas Arga dengan nada dingin.
Tina menarik nafas panjang, lalu memejamkan mata sebentar.
"Sampai kapan kita akan pura-pura baik di depan Dhea. Bahkan kamu membelikan roti itu hanya karena Dhea. Tanpa embel-embel Dhea pasti kamu menolakku yang meminta roti itu padamu hari lalu," geramnya.
"Sudah tahu kenapa bertanya? Kamu bodoh?"
"Arga, aku menyukaimu!"