Dhea merapikan buku, lalu memasukkan dalam tas. Dia melirik ke arah Tina yang masih membisu.
"Tina, ayo pulang!" ajaknya.
"Kamu dulu saja, Dhea. Aku ada urusan," jawab Tina.
Dhea memiringkan badan, menatap Tina dengan mata memicing tajam.
"Urusan apa? Aku juga ingin tahu," balas Dhea.
"Aku mengikuti kelas bahasa Prancis, mau ikut?" tawar Tina seraya memiringkan badan ke arah Dhea dengan satu alis terangkat.
Dhea tersenyum canggung, lalu menggeleng.
"Tidak, kamu saja yang cerdas aku akan menyontek saja," jawabnya. Dhea segera bangkit dan pergi, sedangkan Tina memandang ke belakang.
Dia menatap ke arah Arga yang kini merapikan buku.
"Arga, apa kita bisa bicara? Ada hal yang perlu aku bicarakan," katanya.
"Apa? Cepatlah, aku tidak memiliki banyak waktu," desak Arga.
"Kita bicara di kafe," jawab Tina.
"Apa kamu tuli? Aku tidak memiliki banyak waktu. Cepat katakan sekarang," geramnya.
Tina menatap mata Arga yang dipenuhi pancaran kemarahan, dia seketika menggeleng dan Arga langsung pergi dari sana.
"Aku akan menelepon sopir saja," gumam Dhea. Dia sudah berdiri 15 menit, tapi tidak ada taksi yang lewat.
Dia mengeluarkan ponsel, lalu memukul pelan keningnya.
"Ck, aku lupa daya ponselku habis. Jika masih pasti akan kugunakan memesan taksi online," monolognya.
Dengan wajah lesu Dhea menatap ke kiri ke kanan. Dia ingin menyeberang karena di depan sana ada halte yang tidak jauh dari sekolahnya.
Kira-kira hanya berjarak 200 meter saja. Tapi, seseorang lebih dulu menarik tangannya hingga Dhea tersentak kaget.
"Arga!" pekiknya.
Arga hanya menunjukkan deretan giginya dengan senyum konyol.
"Pulang bersamaku, sopirku sudah menjemput," tawar Arga.
"Tidak perlu. Nanti merepotkanmu, arah apartemenku dan rumahmu tidak searah," tolak Dhea.
"Tidak masalah. Ayo!"
Dengan keras kepala Arga menarik tangan Dhea begitu saja. Selama perjalanan ke apartemen Dhea mereka hanya diam saja.
Berulang kali pandangan mereka bertabrakan saat memandang ke arah spion.
"Ini," ucap Arga seraya memberikan power bank.
Dhea mengambilnya dan segera mengecas ponselnya.
"Terima kasih, Arga," ujarnya.
"Tidak masalah. Apa kamu memiliki agenda hari ini?" tanya Arga.
Dhea menatap ke arah Arga yang ganti menatapnya, lalu menggeleng.
"Kenapa?" balas tanya Dhea.
"Bagaimana jika kita berkencan? Jika kamu bisa," jawabnya.
"Lain kali saja. Soal penawaran itu aku masih ingat, tapi tugas kita sangat banyak dan sebentar lagi kita menghadapi ujian akhir," terang Dhea.
Arga mengangguk dengan mulut membentuk huruf O.
Keadaan kembali hening hingga mobil Arga sudah sampai di depang gedung apartemen Dhea.
"Terima kasih, Arga," ucapnya. Dia memberikan power bank milik Arga, lalu turun.
Sebelum Dhea masuk dia memastikan mobil Arga sudah pergi hingga dia tidak bisa melihatnya lagi, lalu masuk ke dalam gedung.
Saat ingin memasuki lift Dhea melihat keluar dari lift sebelah. Tanpa menyapa dia masuk ke dalam lift.
Dhea menyalakan ponsel, dia memikirkan tentang Mochi. Rencananya dia akan membawa pulang anjing itu hari ini juga.
Saat lift terbuka Dhea berlari kencang ke arah unit Adit dan membuka pintu tanpa memencet bel.
Saat dia masuk menemukan Adit yang tengah duduk tenang dengan Mochi di dalam gendongannya.
"Mochi?"
Adit menoleh ke arah Dhea yang memandang heran.
"Kamu itu kalau tidak bisa merawat hewan kenapa harus merawatnya? Jika aku tidak masuk ke dalam unitmu mungkin dia sudah mati," cerca Adit.
"Iya, aku salah. Aku akan berganti baju dan membawa Mochi pulang," balasnya.
Tapi, sebelum pergi dia menyempatkan diri untuk mengusak bulu Mochi, lalu tiba-tiba Dhea mengusak pelan surai Adit.
Tubuh Adit menegang seketika, Dhea yang melihat itu terkikik gemas.
"Aku ke unitku dulu," pamitnya.
Adit menoleh ke arah Dhea, lalu memegang dada kirinya. Dia kira akan ada detakan jantung yang menggila, tapi dia salah.
"Hah, aku kan arwah," ujarnya dengan tatapan sendu.
°°°
Dhea memasuki rumahnya pelan, dia melirik ke seluruh penjuru. Beberapa pelayan mengekorinya hingga dia dibuat risi sendiri.
"Kalian pergilah, aku akan meletakkan anjingku dan pergi," ujarnya.
Para pelayan itu mengangguk dan mulai pergi, tapi ada dua yang tetap berdiri di tempat. Itu pelayan pribadi Dhea.
"Sarah, Bella, pergilah jangan mengekoriku," rengeknya.
"Tidak bisa, Nona, tugas kami membantu keperluan, Nona," jawab Sarah.
Dhea hanya mengangguk dia melihat ke arah kamar bertuliskan 'Tari'. Tanpa ijin dia masuk begitu saja hingga pemilik kamar menatap tidak suka.
"Ketuk dulu baru masuk," geram pemilik kamar tersebut.
"Untuk apa. Seperti, Kaka, pernah sopan saat masuk ke kamarku saja," jawabnya seraya melemparkan diri ke arah ranjang. Sebelum itu Dhea melepaskan Mochi.
Wanita itu mendekat ke arah Dhea dan melemparkan beberapa makanan ringan yang biasa dia simpan.
"Setelah sekian lama kamu baru pulang. Kamu merindukan neraka, ha?" tanyanya.
"Kak Tari, ada saja, tapi benar katamu jika rumah ini adalah neraka. Jadi, kapan rencananya, Kaka, ke Amerika?" tanya Dhea.
Tari ikut merebahkan diri, lalu membuat pose berpikir.
"Tergantung Jono kapan membawaku," jawabnya.
"Jono? Namanya Jenandra Putra Sentosa dan, Kaka, memanggil Jono. Sungguh tunangan macam apa kamu, Kak," cibir Dhea.
Tari hanya memutar bola mata, dia lebih tertarik pada permen yang kini dimakan oleh adiknya.
"Oke, Jenan. Kamu akan pulang, kan, sebelum aku pergi?" tanya Tari.
"Tidak tahu. Aku pergi dulu sebelum malaikat pencabut kematian datang," ujarnya seraya bangkit.
"Terlambat, papa dan mama sudah pulang sejak dua menit lalu," cetus Tari.
Dhea menatap kakaknya dengan kedua alis menyatu dan benar saja setelah itu orang tuanya masuk ke dalam kamar Tari.
Mereka memeluk Dhea dengan erat, terutama mama mereka.
"Harusnya kamu bilang kapan pulang," ujar Mama mereka, Jeni.
"Tidak perlu, Ma. Bagaimana kabar, Mama?" tanya Dhea seraya melepaskan pelukan.
"Baik. Bagaimana kabarmu? Apa makanmu teratur, bagaimana sekolahmu? Apa kamu perlu pelayan lagi? Apa uang sakumu kurang?" cerca Jeni.
"Ma, anak kita baru pulang jangan dicerca pertanyaan. Ajak makan sana," sahut Papa Dhea, Kifli.
Karena sana suaminya kini mereka berempat berkumpul di ruang makan dengan Tari tidak henti memutar bola malas.
"Dasar munafik," gumam Tari. Tiba-tiba saja wanita muda itu bangkit hingga Kifli menatap tidak suka.
"Tari, duduk kembali," ujar Kifli.
Tari mengindahkan ucapan Kifli dan langsung saja masuk ke dalam kamarnya.
"Tari!" teriak Kifli.
"Sudahlah, Pa, tidak apa. Mungkin suasana hati Kak Tari sedang buruk," ujar Dhea.
Kifli mengangguk, mereka kembali bercerita banyak hal hingga Dhea rasanya ingin kabur dari sana, tapi dia tahan.
"Papa, Mama, aku pulang dulu," pamit Dhea.
"Ini rumahmu, Sayang, kamu mau pulang ke mana?" tanya Jeni.
"Benar kata mamamu," timpal Kifli.
"Ke apartemen, Pa, Ma. Ada tugas," jawabnya.
Kifli dan Jeni yang awalnya tidak rela harus menurut jika menyangkut pendidikan. Dhea pulang menggunakan sopir pribadinya.
Saat sampai di gedung apartemen dia segera turun.
"Dasar ular, dia kira aku dan Kak Tari tidak tahu apa-apa," gumam Dhea.