Adit yang tengah terlelap harus membuka mata paksa saat mendengar gelas jatuh. Dia mengambil tongkat baseball dipojok kamar dan mengendap-endap keluar.
Dia berjalan ke dapur dan ingin memukul seseorang yang kini sedang berjongkok memunguti pecahan kaca.
"Aku kira maling," cetusnya hingga membuat orang yang memunguti pecahan kaca terkena pecahan itu.
"Aw! Kak Adit, kamu mengagetkanku," ujarnya.
"Lagipula kenapa kamu tidak ke unitmu sendiri, dasar gadis gila," cibir Adit.
Tapi, perkataannya yang pedas tidak sejalan dengan tindakannya yang kini tengah mencari kotak p3k.
"Dhea, kemarilah," panggilnya.
"Tidak mau," jawab Dhea.
Tanpa permisi Adit menarik Dhea ke ruang tengah dan mengobati jari Dhea yang terluka. Saat Adit mengobati jari Dhea, gadis itu sibuk menatap wajah Adit.
"Kak, kenapa kamu sangat tampan? Bagaimana ini ketampananmu selalu bertambah setiap hari!" heboh Dhea.
Jangan tanya lagi bagaimana raut wajah Adit yang hanya bisa mendengus keras karena muak.
"Berhenti memujiku atau pujianmu akan terasa hambar nanti," celetuk Adit.
"Jadi, selama ini pujianku berhasil?" tanya Dhea.
Adit meletakkan kotak p3k dan masuk ke dalam kamar meninggalkan Dhea yang berteriak seperti orang gila.
Dhea bangkit dan ke dapur, dia mengambil gelas baru dan membuat jus. Selesai membuat jus dia masuk ke kamar Adit.
Perjalanan ke kamar Adit dia meminus jus yang dibuatnya.
Dia menarik-narik kaki Adit yang tengah mencoba tidur. Dengan kesal Adit membuka mata dan menatap kesal ke arah Dhea.
"Apalagi?!" geramnya.
"Aku buat jus apel, kamu mau?"
Tanpa banyak bicara Adit mengambil gelas itu dan menenggaknya habis. Melihat itu Dhea terdiam membisu.
"Sudah," ujar Adit seraya merayakan gelas itu kembali.
"Kak, itu bekasku," jawabnya.
Adit seketika tersedak karena ucapan Dhea.
"Wow! Kita baru saja berciuman."
Dhea mengambil gelas itu dan berlari keluar kamar dengan wajah memerah.
°°°
Arga menatap malas ke arah ruang makan dia ingin pergi, tapi papanya lebih dulu memanggil. Dia mendekat dengan wajah kesal.
"Duduk, Arga," ujar Papa Arga, Chandra.
"Pa, Arga tidak ingin dijodohkan," cetus Arga.
"Jangan membantah seperti ibumu. Papa tidak suka seseorang pembangkang," balasnya.
Suasana sarapan seketika mengerikan, tapi semua mencair saat wanita cantik datang. Itu adalah ibu tiri Arga.
"Pagi, Mama Luna," sapa Arga.
"Pagi juga, Arga. Mau sarapan pakai apa?" tanya Luna.
"Buah saja, Ma," jawab Arga.
Luna mengambilkan buah yang biasa dimakan Arga dan beralih melayani suaminya.
"Mas, nanti aku ijin keluar dengan Jeni," ujar Luna.
"Pergilah, Sayang."
Arga berpamitan saat sudah menghabiskan makanannya. Dia pergi dengan sopir.
Di sekolah dia berjalan santai ke arah loker hingga dia menemukan Dhea yang tengah berdiri dengan bibir mengerucut imut.
"Ada yang bisa kubantu?" tanya Arga dari belakang.
"Tidak ada hanya saja bisa ambilkan bukuku di atas sana," jawab Dhea seraya menunjuk ke aras atas.
"Katanya tidak ada," cibir Arga.
Dia mengambil buku Dhea di atas loker.
"Kenapa kamu melemparkan bukumu hingga atas? Susah tahu pendek," tanya Arga. Dhea mendengus kesal mendengar ucapan Arga.
"Aku pendek dan aku sadar, lagipula aku baru datang. Untuk apa melemparkan bukuku ke atas sana, pasti ini ulah penggemarmu," jawabnya lalu berlalu pergi dari hadapan Arga yang tengah mengepalkan tangan.
Dhea duduk di sebelah Tina yang kini tengah fokus membaca buku pelajaran. Dia menatap bingung, bukan karena bukunya, tapi karena tulisan pada buku tersebut.
"Otakku seketika panas melihat bukumu," cetus Dhea yang dibalas tawa kecil Tina.
Bagaimana tidak panas jika buku itu penuh dengan tulisan berbahasa Prancis.
"Saat kau belajar bahasa Jepang, aku juga sama. Melihatmu membaca buku berbahasa Jepang satu tahun lalu membuat kepalaku panas," jawab Tina.
Dhea memiring badan, menatap Tina dengan kedua alis terangkat.
"Benar, aku akan tidur saja kalau begitu. Gara-gara Kak Adit aku kurang tidur," ujarnya.
"Kenapa dia? Apa dia memukulmu?" heran Tina.
"Kami berciuman," jawabnya, lalu meletakkan kepala di atas meja dan menyamankan posisi tidur.
Sedangkan Tina menganga tidak percaya.
"Pasti kamu sedang bermimpi," ujar Tina seraya memukul kepala Dhea hingga sang empu mengaduh.
"Aduh! Aku serius dan tidak bermimpi, tapi itu hanya ciuman tidak langsung. Lain kali aku akan berusaha lagi," cetusnya membuat Tina semakin tidak mengerti.
"Benarkah? Aku akan mendoakanmu kalau begitu," balas Tina.
Tina kembali membaca buku hingga perhatiannya teralih pada Arga yang baru saja memasuki kelas.
Arga yang melewati bangku Tina melirik sebentar, lalu berdecak kesal.
"Kenapa aku di sini?" gumam Adit. Dia baru saja membuka mata dan menemukan dirinya di lobi apartemen tertidur tanpa alas apa pun di lantai.
Adit melihat sekeliling, ternyata masih cukup pagi. Dia bangkit dan pergi ke unitnya. Sepanjang perjalanan dia memikirkan hal tersebut hingga tanpa sadar dia sudah sampai di depan unitnya.
Dia masuk dan ingin ke dapur, tapi lebih dulu bel unitnya berbunyi. Dengan kes Adit dan membuka pintu, dia menatap malas ke arah Thea yang tersenyum lebar.
"Apa aku boleh masuk?" tanya Thea yang diangguki oleh Adit.
Thea masuk langsung menuju ke dapur dan tanpa malu mengambil jus apel yang disimpan di dalam lemari pendingin.
"Kamu benar-benar tidak punya malu, ya," cetus Adit.
"Tidak. Untuk apa punya, aku ke sini hanya mengunjungimu, tapi kamu harus memberimu makanan. Aku tidak sempat ke supermarket," jawabnya.
Adit hanya memutar bola malas, dia mengambil duduk di kursi yang terbuat dari kayu. Iseng-iseng dia menyentuh lantai kakinya tembus.
Dia meneguk ludahnya kasar. Dia tidak pernah menyangka hal seperti ini akan terjadi.
"Aku akan jadi arwah seterusnya?" batin Adit.
Thea menarik kursi satunya dan menatap ke arah Adit dengan sorotan mata sendu.
"Kamu ingin cerita apa?" tanya Adit. Manajernya tidak menjawab dan malah menangis histeris.
Setelah berjam-jam dibuat khawatir akhirnya Thea kembali normal dan juga kini Adit bisa menyentuh lantai kembali.
"Aku pulang, Adit," pamit Thea pada Adit yang sibuk menatap TV.
"Terserah," jawabnya.
°°°
Dhea menenteng tasnya dengan mata bergerak gelisah, dia mengeluarkan ponsel ini menelepon sopir, tapi gerakannya terhenti saat Arga menariknya.
"Apalagi, Arga?!" pekiknya.
"Hari ini kita berkencan dan aku tidak terima penolakan," jawabnya.
Arga ingin menarik Dhea lagi, tapi lebih dulu Thea datang dan memegang tangan Dhea satunya.
"Hai, Arga. Apa kabar?" tanya Thea dengan senyum menyebalkan.
Arga menatap Thea dengan keringat bercucuran, tiba-tiba saja melepaskan tangan Dhea dan pergi begitu saja.
Thea melepaskan tangan Dhea dan ingin pergi, tapi Dhea lebih dulu menahan tangannya.
"Terima kasih, Kak."
"Apa pun untuk, Mantan Adik Iparku," jawabnya, lalu menarik tangannya dari genggaman tangan Dhea dan pergi.