Dhea memasuki unit Adit dengan langkah pelan. Di mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan hingga menemukan Adit terlelap di sofa.
Sontak saja Dhea tersenyum jahil, dia mendekat mengeluarkan ponselnya.
"Aku akan memotretnya," gumam Dhea seraya membuka aplikasi kamera.
Dhea menatap wajah Adit yang terpahat sempurna. Seketika rasa tidak rela hadir.
"Sangat tampan bahkan waktu tidur," cetusnya.
Dia bersiap-siap mengarahkan fitur kamera, tapi tangannya lebih dulu dicekal seseorang. Dhea tersenyum canggung ke arah Adit yang menatapnya tajam.
"Apa yang ingin kamu lakukan?" tanya Adit. Dhea mengerjapkan mata berulang kali, lalu menarik tangannya yang dicekal oleh Adit.
"Hanya bermain-main," jawabnya seraya memasukkan ponsel ke dalam saku blazer.
Adit mengangguk dan bangkit begitu saja. Dia memeriksa jantungnya apakah berdetak, tapi Adit lupa bahwa dia bukan manusia seutuhnya.
Dhea mengekori Adit yang berjalan ke arah dapur. Dia menatap idolanya yang tengah meneguk rakus air putih dan itu terlihat seksi dari samping.
"Kak, kenapa dari sudut mana saja kamu terlihat memesona? Jelaskan padaku letak kekuranganmu," cetus Dhea.
Adit menoleh, lalu menaikkan satu alis. Apa dia baru saja di goda oleh anak SMA?
"Kamu menggodaku?" tanyanya.
"Tidak. Untuk apa menggodamu," jawabnya.
"Tapi, Kak, aku tidak pernah menemukan kekuranganmu. Bagaimana ini?!" imbuh Dhea diakhiri dengan pekikan nyaring.
Spontan Adit menutup mulut Dhea dengan telapak tangannya dan sial sekali hal itu membuat mereka beradu pandangan beberapa detik.
"Kamu berisik," cetus Adit seraya melepaskan bekapkannya.
Adit kembali ke ruang tengah dengan Dhea masih saja mengekor. Gadis itu memegang ujung tas.
"Aku akan ke unitku, Kak. Jangan rindu," ujarnya seraya melewati Adit. Dia membalik badan dan mengedipkan satu mata, dengan kaki terus berjalan menjauh.
Saat Dhea membalik badan hampir saja keningnya mencium pintu. Bahkah Adit yang melihat itu tersenyum kecil.
"Hampir saja. Argh, memalukan!" gerutunya. Dhea melemparkan dirinya ke pulau kapuk.
Dia mengambil ponselnya yang terus saja berdering. Dengan malas Dhea mengangkat telepon dari Arga.
[Halo]
[Aku sudah perjalanan ke unitmu. Cepat bersiap]
[Kita berkencan?]
[Ya]
Sambungan itu dimatikan sepihak oleh Arga. Dhea berteriak kesal, lalu mencari baju yang dia akan gunakan.
Pilihannya jatuh pada rok pendek berwarna pink dan hoodie putih. Rambutnya dia gerai , tidak lupa dia memaki sepatu berwarna putih.
"Manisnya. Punya siapa sih? Punya Kak Adit dong!" monolognya
Dhea tiba-tiba tertawa sendiri mendengar percakapan konyol yang doa lontarkan. Selesai mengaca dia langsung ke lobi menunggu Arga.
Tidak ada Arga datang sendiri dengan motor besarnya. Jujur saja hal itu membuat Dhea sedikit terpesona.
"Kenapa menatapku?" tanya Arga.
"Tidak ada. Kita akan ke mana?" balas Dhea.
"Aku tidak tahu. Aku ingin berkeliling kota Jakarta saja," jawabnya seraya menyodorkan helm pada Dhea.
Dhea menerima itu dan memakainya walau sedikit kesusahan. Arga menarik Dhea dan menguncikan helm itu, tapi siapa sangka kedua malah terdiam menyelami manik masing-masing.
"Ayo, Arga!" Dhea menjauh sedikit, lalu naik ke motor. Dia membenarkan roknya sebentar, Arga yang melirik hal itu tersenyum kecil.
"Sudah?" tanya Arga. Dhea mengangguk ke arah spion.
Motor warna merah dengan paduan hitam itu berjalan pelan membelah jalanan kota Jakarta. Arga berulang kali melirik ke arah Dhea yang tidak nyaman.
Tanpa bertanya dia menghentikan motor di depan pusat perbelanjaan.
"Kita ke sini?" tanya Dhea. Tanpa menjawab Arga menarik Dhea ke dalam ke arah pakaian wanita.
"Kami di sini," ujar Arga.
Laki-laki itu menjauh dan kembali dengan salah satu pegawai. Dhea tiba-tiba ditarik dan ditunjukkan beberapa celana jeans.
"Pilih, Dhea, aku tahu kamu ditidak nyaman," ujar Arga.
Dhea memilih celana dengan warna yang sama yaitu putih. Setelah cocok mereka kembali ke motor.
"Lain kalau pakai motor jangan lupa bilang," cetus Dhea.
"Iya," jawab Arga seraya memakaikan helm pada Dhea.
Arga menarik diri dan naik ke motor. Dia memberi isyarat agar Dhea naik dan motor itu kembali membelah padatnya kota Jakarta.
Di tengah-tengah jalan Dhea tiba-tiba memeluk pinggang Arga dan menyadarkan kepala di punggung lebar temannya.
Arga yang merasakan itu menarik ujung bibirnya.
"Dhea, kita ke toko buku bagaimana?" tawar Arga, tapi Dhea tidak mendengar dengan jelas.
"Hah? Toko kuku?" balas Dhea dengan berteriak.
"Buku!"
"Hah? Laku?"
"Buku!"
Selama perjalanan ke toko buku mereka saling berteriak satu sama lain hingga beberapa pengendara menatap heran.
Saat sampai di tempat tujuan Dhea mengangguk mengerti.
"Toko buku," cetus Dhea.
"Memang mau ke mana?" tanya Arga seraya membuka kunci helm Dhea.
"Tidak tahu. Aku dengarnya kuku terus laku, banyak deh," jawabnya.
Arga mengusak rambut Dhea gemas, lalu menariknya ke dalam. Mata Dhea benar-benar dimanja dengan banyaknya buku yang berjejer rapi.
"Pilih yang kamu mau," ujar Arga yang diangguki oleh Dhea.
Gadis itu tidak lama mengambil beberapa buku yang sudah dia incar. Bahkan dia juga mengambil beberapa buku resep masakan.
Dhea akan belajar memasak untuk Adit.
"Ada lagi?" tanya Arga yang melihat keranjang mereka sudah terisi delapan buku.
"Aku ingin mencari komik," jawab Dhea, lalu menarik tangan Arga ke arah komik.
Dhea mengambil beberapa komik, lalu memasukkan ke dalam keranjang.
"Sudah cukup," cetus Dhea.
"Kamu duduk dulu, aku akan bayar." Dhea mengangguk dan duduk di kursi yang disediakan pihak toko.
Sembari menunggu Arga dia membuka ponsel dan membaca beberapa pesan yang masuk.
"Besok libur," gumamnya.
"Libur?" tanya Arga yang baru saja selesai membayar.
"Iya. Besok libur," jawab Dhea seraya mendongkak dengan tangan sibuk memasukkan ponsel pada tas yang dia bawa.
Arga tiba-tiba ikut duduk di hadapan Dhea, hingga temannya itu menatap heran.
"Ada seseorang yang sepertinya menyogok untuk merahasiakan kecelakaan itu," cetus Arga.
Dhea menyatukan alis, lalu dia mengangguk. Mengerti arah bicara Arga.
"Tapi, siapa orang yang tega," jawab Dhea.
"Aku tidak tahu, tapi sepetinya dia sangat kaya hingga mampu menyogok. Keluargamu sangat berada dan pasti orang yang merencanakan kecelakaan itu mengeluarkan banyak uang untuk menyogok," jelas Arga.
Dhea menunduk, wajahnya berubah sendu.
"Bagaimana jika kita ke makam?" tawar Arga yang diangguki oleh Dhea.
Mereka langsung saja menuju ke makam, tapi sebelum itu mereka ke toko bunga.
Sampai di area pemakaman Dhea dan Arga meletakkan bunga di atas makan yang mereka tuju.
"Kak Daffa, apa kabar? Aku sangat merindukanmu," ujar Dhea.
°°°
Adit menatap ke arah bawah melalui jendela kamarnya dengan segelas coklat panas di dalam mug yang dia pegang.
Beberapa kali dia menyesapnya hingga matanya menatap ke arah pemandangan yang tidak asing. Dia berusaha melihat dengan jeli.
"Apa yang dia lakukan di sana?" gumamnya.
Adit memegang mugnya dengan keras.
"Tidak mungkin aku cemburu dengan Dhea dan temannya itu. Sangat mustahil!"
Adit menutup tirai jendela dengan kasar.