Chereads / My Idol Is Ghost / Chapter 7 - 7. Perkara Kalung

Chapter 7 - 7. Perkara Kalung

Jam menunjukkan angka 15.45 dan Thea memutuskan saat ini. Wanita itu menghabiskan waktu seharian menangis, sedangkan Adit seperti orang bodoh di pojok ruangan ketakutan.

"Terima kasih, setidaknya aku masih memiliki tempat untuk menangis " kata Thea, sembari tangan meraih gagang pintu dengan kepala menoreh ke samping, di mana Adit berdiri dengan memutar bola mata malas.

"Ini yang terakhir, jika orang tahu pasti mereka mengira aku memperkosamu," jawabnya.

"Iya-iya, kamu tidak perlu memasang tampang menjijikkan itu," cibir Thea.

Saat dia membuka pintu wajah pertama yang Thea lihat adalah Dhea. Berdiri dengan seragam masih melekat, sepatu kets berwarna putih yang senada dengan seragam yang dia pakai, biru perpaduan putih. Bedanya tidak ada dasi kupu-kupu di sana.

"Di mana anjingku?" tanya Dhea, dia berusaha mati-matian untuk tetap tenang.

"Mochi sedang tidur," jawab Adit.

"Ehem... Aku harus pamit, bisakah kamu menyingkir sedikit Dhea," celetuk Thea.

Dhea membuang wajah dan berjalan masuk, tidak lupa menyenggol keras bahu manajer Adit, hingga terhuyung ke belakang.

"Apa kamu tidak memiliki sopan santun, Dhea?" tanya Adit, terdengar nada marah di sana.

"Aku yakin manajermu itu tidak keberatan, benar, kan?" tanyanya, tidak lupa seringai itu terbit. Menghiasi wajah manis Dhea, tapi kali ini terlihat lebih menyeramkan.

"Tidak apa, Adit. Dia belum dewasa," kata Thea. Wanita itu menepuk bahu Adit dan bergegas pergi.

Di dalam Dhea sibuk memberantakkan apartemen Adit. Membuang bantal ke sembarang arah, bahkan dia membuang baju-baju lelaki itu.

"Yak, kenapa kamu memberantakkan apartemenku?" tanyanya.

"Kalung itu mana?" Dhea tidak membalik badan dan itu membuat Adit jengah.

Laki-laki itu menarik bahu Dhea kasar, membuat di terhuyung ke belakang. Adit segera membalik badannya dan hal itu membuat jarak mereka semakin dekat.

"Apa kamu benar-benar tidak memiliki sopan santun?" Kilatan kemarahan itu terlihat jelas di mata Adit.

"Aku tidak peduli, lebih baik kamu bantu aku mencari kalung Mimpi Manis," jawabnya.

"Ralat, namanya kuganti Mochi. Nama aneh yang kamu berikan pada anjingmu itu? Dan soal kalung aku membuangnya." Seolah tidak merasa bersalah, Adit malah menyilangkan tangan di depan dada.

Dhea mendesis kesal dan menatap manik kelam itu tajam. Adit yang ingin marah, malah menjadi takut sendiri.

"Aku hanya menitipkan anjingku beberapa jam, tapi kamu benar-benar tidak memiliki rasa malu, Kak Adit!" bentak Dhea.

Gadis itu berjalan lurus dan menabrak bahu Adit sengaja. Dhea mengendong paksa anjingnya dan menutup pintu dengan kasar hingga berbunyi keras.

Terdiam, Adit seakan ditarik paksa dari alam bawah sadar. Dia hanya ingin memberi nama yang lebih baik untuk anjing Dhea, lalu di mana letak kesalahannya?

"Apa salahnya? Namanya itu sangat buruk, tapi melihat kilatan marah itu aku jadi tidak enak," monolognya sendiri.

Dhea membanting pintu kasar, tubuhnya merosot, dia menarik lututnya dan menangis.

"Maafkan aku, Kak."

Gadis itu bangkit dengan wajah sembab, satu jam lagi Arga akan datang. Jika bukan demi informasi, tidak sudi Dhea berkencan.

Entah apa definisi kencan yang pasti Dhea hanya memakai celana jens hitam, kaos warna krem dengan kardigan senada.

Dia sedikit memoles , tidak lupa menggerai rambutnya. Dhea mengambil jam tangan, sembari menatap pantulannya di cermin.

"Kamu sangat cantik, tapi wajahmu tidak menggambar semuanya," monolognya.

Dhea memejamkan mata, beberapa detik kemudian dia membalik badan. Saat dia ingin beranjak terdengar suara bel berbunyi.

Saat dia buka ternyata Arga berdiri dengan pakaian kasual celana jeans dan kaos, tapi itu terlihat sangat cocok jika di pakainya.

"Kamu sudah selesai?" tanyanya.

"Tunggu sebentar, aku akan mengambil tas."

Arga bersandar pada tembok, sembari menunggu Dhea. Hingga dia melihat Adit keluar dari sana.

"Kamu penyanyi Adit, kan?" tanya Arga. Jarak mereka tidak terlalu jauh, membuat suaranya cukup terdengar oleh Adit.

"Ya," jawabnya.

Arga ingin membuka mulut lagi, tapi Dhea sudah membuka pintu dan menariknya begitu saja.

"Itu idolamu, kan?" tanya Arga.

"Ya, memang."

"Ken—"

"Kamu ingin kencan denganku atau membicarakan tentang penyanyi itu?"

Dhea berjalan cepat, meninggalkan Arga yang tersenyum seperti orang gila di belakang.

"Tunggu aku, Dhea!" serunya.

Kini Arga dan Dhea berjalan di sepanjang jalan tanpa tujuan. Ditangan kanan Arga penuh dengan makanan yang mereka beli dan tangan kiri tidak jauh berbeda.

Street food bukan pilihan yang bagus, karena Dhea memiliki moto hidup 'Tidak apa mati hari ini, asal sebelum itu kenyang'.

Bahkan Dhea seolah tidak puas dengan banyaknya makanan yang baru saja Arga belikan.

"Ayo, pulang, Dhea! Kamu sudah membeli banyak makanan," ajak Arga. Tangannya juga merasa kram saat ini, jika bukan demi Dhea bisa Arga pastikan dia akan lebih memilih tidur di dalam kamar.

"Enak saja, kamu belum memberiku informasi," jawabnya.

"Kita berhenti di taman depan, aku akan memberikan sedikit informasi." Dhea mengangguk dan berlari lebih dulu, meninggalkan Arga di belakang.

"Dua tahun dan dia tidak berubah," gumam Arga, diiringi senyuman manis.

Saat Arga sampai, dia melihat tangan Dhea sudah memegang es krim.

"Jadi ini tujuanmu meninggalkanku di belakang?" tanyanya.

"Tidak ada. Sudahlah jangan mengubah topik, katakan saja," jawab Dhea, dengan mata memicing.

Arga mengambil tempat duduk di samping Dhea dan mengambil es krim gadis itu begitu saja. Dhea ingin marah, tapi dia urungkan.

"Benar, itu bukan kecelakaan. Hanya itu yang ingin kusampaikan," katanya.

Jangan tanya bagaimana wajah Dhea sekarang ini, dia sudah bersiap-siap menendang tulang kering Arga saat ini juga.

"Jangan menendang tulang keringku, Dhea. Jika kamu lakukan itu, semua pencarianku akan kuhentikan," katanya, seolah mengerti pikiran Dhea.

"Kamu sangat menyebalkan, Arga!" pekiknya.

Dhea membuang wajah ke samping.

"Maafkan aku, kamu tidak perlu khawatir. Mari kita pulang, besok ada PR."

"Aku akan menyalin tugasmu," celetuk Dhea.

"Apa pun untukmu, Tuan Putri."

Arga berjalan lebih dulu bangkit tidak lupa dia membawa makanan yang dia beli , sedangkan di belakang Dhea berlari dan tiba-tiba menggandeng lengan lelaki itu.

Sepanjang perjalanan hanya di isi dengan suara Dhea yang bercerita banyak hal. Dari alam semesta hingga hal-hal tidak berguna.

"Kamu hati-hati di jalan," kata Dhea.

"Tidak perlu khawatir, sopir menungguku," jawab Arga sembari menunjuk ke arah mobil berwarna hitam.

"Lalu, kenapa kamu mengajakku jalan kaki tadi?" tanya Dhea tidak terima.

"Hanya untuk menghabiskan banyak waktu denganmu." Arga berjalan ke arah mobilnya, dia memang memiliki banyak mobil.

Dhea menarik nafas, tangannya sedikit lelah membawa banyak belanjaan. Apalagi Arga yang sejak tadi membawa banyak keresek itu, bahkan mereka berhenti di beberapa stand. Ah, Dhea tidak bisa memikirkan itu.

Dengan sedikit malah Dhea menarik kaki ke arah apartemennya. Saat dia sampai dia melihat siluet seseorang yang tengah berdiri, dengan tangan memainkan sesuatu di sela-sela jari.