Chereads / My Idol Is Ghost / Chapter 5 - 5. Ceroboh

Chapter 5 - 5. Ceroboh

Adit berjalan menunduk di lobi apartemen hingga tidak sengaja menabrak seseorang, karena topi sialan yang menutupi pandangan.

"Maaf, aku..., kamu sedang apa di sini?" Laki-laki itu menatap seseorang yang berdiri tegak di depannya.

"Aku ingin berbicara padamu, Adikku," jawab Arman.

"Baiklah, Kak. Kita bisa bicara di apartemenku saja." Adit berjalan lebih dulu.

Saat dia ingin membuka pintu, tatapannya beralih ke pintu lainnya. Itu pintu apartemen Dhea.

"Aku akan mengambil minum," katanya.

Arman mengangguk dan menatap seluruh penjuru apartemen adiknya, bersih, rapi, dan wangi. Menggambarkan kepribadian adiknya yang sangat membenci kekacauan.

Dia beralih ke meja kecil pojok ruangan, di sana terlihat fotonya dan Adit saat masih remaja. Jika dilihat sekilas mereka akan terlihat seperti kembar, walau umur mereka terpaut tiga tahun.

"Itu foto kita saat kamu lulus SMA," ucap Adit yang baru datang, sembari meletakkan nampan berisi dua gelas minum.

"Aku pikir kamu membuangnya." Arman melirik adiknya yang berjalan mendekat.

"Kamu ingin bicara apa?" tanyanya.

"Tentang penghargaan itu, bukankah kamu yang seharusnya tampil," kata Arman, sembari berjalan ke sofa.

"Benar, tapi aku memiliki sedikit masalah. Kuharap kamu bisa mewakiliku, ini hanya untuk sesaat saja," ucap Adit, dia sadar jarak yang tercipta di antara keduanya

Sejak debut tiga tahun lalu, banyak pihak yang mengabarkan bahwa Arman dan Adit adalah saudara yang tidak akur, karena sama-sama merebutkan posisi nomor satu.

Walau berulang kali Adit berusaha menutup tetap saja banyak orang yang beropini hingga membuat beberapa orang berpikir sama.

Mirisnya, kabar itu bukan bualan semata. Mereka renggang sudah cukup lama bahkan sebelum nama Adit sebesar sekarang, tapi Adit tetaplah adik yang membutuhkan figur kakak.

"Jika kamu butuh apa-apa katakan padaku, Adit. Walau hubungan kita renggang, kamu tetap adikku," kata Arman, diikuti tepukan bahu.

"Yah, aku berterima kasih pada fakta bahwa kau kakakku," jawab Adit.

Sisi seperti ini yang jarang kamera tangkap, sehingga pandangan bahwa mereka sangat tidak akur cepat tersebar apalagi didukung oleh opini para penggemar.

"Aku harus pergi, atau manajer akan mencariku," pamitnya.

"Pasti rasanya sangat menyenangkan bisa berperan dalam film adaptasi," cetus Adit. Sedikit rasa sedih tersirat dari kata-kata yang dia ucapkan.

Sebenarnya Adit ya seharusnya berperan, tapi harus gagal, karena insiden dia menjadi arwah. Dan akhirnya peran itu dilemparkan pada Arman.

"Benar, aku sangat bahagia karena bisa mendapat peran, mengingat film ini diadaptasi dari novel favorit kita," jawab Arman dengan senyum mengembang.

Adit tidak menanggapi, hanya terdiam dan segera mengantar Arman hingga depan pintu. Saat itu juga Dhea muncul membawa keresek bening.

"Kakakmu?" tanyanya.

"Ya!"

"Tampan sekali," kata Dhea, tidak sadar bahwa kini mata Adit memicing tidak suka.

"Kamu bilang apa?"

"Tampan," jawabnya sembari menatap manik kelam sang idola.

Adit ingin menutup pintu, tapi Dhea lebih dulu menahan. Gadis itu tersenyum dan masuk begitu saja.

"Apa kepalamu terbentur?" tanya Adit.

"Hari ini belum, tidak tahu besok. Duduklah dan makan cheesecake yang kubawa," jawab Dhea, sembari mengeluarkan makanan yang dia beli.

Adit ingin mengusir Dhea, tapi gadis itu lebih dulu membungkam mulut idolanya dengan kue kesukaan Adit, hingga dia harus diam dan menerima kekalahan.

"Aku dengar kamu akan menghadiri acara besok malam?" Dhea yang memang cerewet membuka obrolan.

"Tidak," jawabnya acuh.

"Kenapa? Setahuku kamu tidak harus bernyanyi. Datang, ambil pialanya, lalu pulang," Gadis itu mengubah posisi menghadap ke arah Adit.

"Untuk ukuran otak udang sepertimu akan terlihat sangat mudah."

"Kamu menyebalkan!" ketus Dhea.

"Ya, aku tahu! Dan pintu di sebelah sana jika kau sudah selesai membuat opini tidak berguna," ucap Adit, dengan tangan menunjuk ke arah pintu, tapi pandangan lurus arah Dhea.

Gadis itu hanya melirik, dia sama sekali tidak memedulikan ucapan Aditdan malah menyandarkan tubuh ke sofa.

"Kamu kenal Thea sejak kapan?" tanya Dhea, dengan bola mata bergerak resah.

"Sudah lama, kamu mengenalnya?" Dhea hanya membalas dengan deheman.

"Wah, dunia sangat sempit!" seru Adit.

Gadis itu bangkit dan pergi begitu saja tanpa meminta ijin. Dhea menghapus air mata yang turun dengan kasar. Dia ingin membuka pintu, tapi suara Adit lebih menginterupsi.

"Apa aku bisa berbagi masalah denganmu?" Dhea terdiam beberapa saat, lalu berbalik badan dan mengangguk.

"Iya, jika kamu mau," jawabnya.

"Kemarilah, aku akan mengambil minum." Laki-laki itu bangkit dan pergi ke dapur, sedangkan di ruang tamu Dhea tersenyum seperti orang gila.

Adit kembali dengan membawa dua kaleng cola dan beberapa makanan ringan.

"Jadi, apa masalahmu?"

"Kamu percaya arwah?" tanya Adit, seketika wajah Dhea pucat pasti, tapi dia tetap berusaha tenang.

"Ya, memang ada apa?" Dia mendongkak, menatap manik kelam sang idola.

"Bagaimana jika aku arwah?" Adit menatap ke arah Dhea.

"Yang kutahu kamu tidak akan terlihat," jawab Dhea.

Adit mengangguk dan mengambil tempat duduk di samping Dhea. Keduanya terdiam, tenggelam dalam ketakutan masing-masing.

"Bagaimana dengan film romantis?" tawar Adit.

"Aku lebih suka aksi, jika mau kita bisa menonton," jawabnya.

"Sayang sekali, aku lebih menyukai horor." Dhea seketika memicing memandang tidak percaya pada Adit.

"Kau berkata menyukai fantasi saat acara reality show dua bulan lalu dan sekarang kau bilang horor? Kuharap kamu sedang tidak membual, karena jujur saja aku merasa sangat tidak mengenalimu. Tiga tahunku akan sia-sia karena genre film saja," cercanya. Dhea tidak berbohong soal kata-katanya, karena tiga tahun terakhir dia gunakan untuk mencari hal-hal terkait Adit.

"Oh, itu hanya setingan. Dunia ini hanya penuh tipuan," jawabnya acuh. Dia mulai menggapai gitar yang diletakkan tidak jauh dari sofa dan melupakan ajakannya menonton film.

Gitar pertama yang dia beli untuk audisi dan sampai sekarang dia simpan.

"Aku tahu sejarah gitar itu," cetus Dhea.

"Ya, itu bukan hal memalukan sepertinya," jawabnya.

"Mungkin, jika saja kau membeli dengan uang pas." Wajah Adit seketika memerah. Ah, dia ingat hari itu. Di mana dia memberi gitar, tapi uangnya kurang 25 ribu, sungguh memalukan.

Jari-jari itu mulai memetik senar dan diiringi salah satu kesukaan Dhea. Untuk sesaat Adit tenggelam dalam lirik-lirik yang dia nyanyikan. Hingga pertanyaan Dhea menginterupsinya

"Kau hiatus karena pita suaramu bermasalah, lalu kenapa hari ini kau bisa bernyanyi sangat indah?" Seketika Adit meletakkan gitarnya asal dan bangkit.

"Aku harus mengambil sesuatu di kamar," katanya. Dia segera berjalan ke arah kamar dan tidak sadar Adit langsung saja menembus pintu tanpa membukanya.

Dhea yang sadar mengucek matanya berulang kali, sedangkan di dalam kamar Adit merutuki kebodohannya.

"Kenapa kebodohanku selalu datang di saat yang tidak tempat?" gumamnya.