Matahari belum juga meninggi, setelah insiden menembus pintu kemarin. Adit pagi ini hanya bisa merenungi kebodohannya.
Laki-laki itu mulai menarik selimut yang menutupi kepala, samar-samar terdengar suara berisik dari luar. Dengan sedikit malas dia bangkit dan membuka pintu.
Terlihat Dhea duduk dengan seekor anjing berbulu putih yang menjulurkan lidah manja.
"Kamu terganggu, Kak?"
"Menurutmu?" Adit hanya menatap malas ke arah Dhea.
Melihat tatapan malas Adit membuat Dhea menunjukkan senyuman canggung, lalu berjalan maju. Adit menaikkan satu alis, dia merasa sedikit aneh dengan sikap tetangganya.
"Aku ingin titip anjing ini, kuharap Kaka tidak keberatan," katanya, sedikit rasa ragu terselip.
"Apa apartemenku terlihat seperti tempat penitipan hewan?" tanyanya. Dan benar saja Adit menolak. Dhea memilin ujung blazer sekolah yang dia pakai dan menggeleng lirih.
"Hanya sampai pukul empat atau bisa lebih, kamu bisa mengajak anjingku bermain," jawab Dhea.
"Tidak, aku tidak mau! Bawa pergi saja anjing itu," tolaknya Adit.
Dhea seakan tuli dan melempar anjing mungil itu ke arah Adit, refleks dia menangkapnya, lalu menatap nyalang ke arah Dhea yang sudah berlari.
Adit meletakkan anjing itu di sofa, di sana juga terdapat makanan anjing. Dia melihat bandul kalung yang dipakai anjing itu.
"Mimpi Manis, itu kan judul laguku," gumamnya.
Seketika penyanyi itu pusing sendiri, bagaimana bisa Dhea memberikan nama yang sangat aneh bagi anjingnya. Dia menatap ke jam kecil di atas meja menunjukkan angka 5.30.
"Gadis itu berangkat sangat pagi, apa sekolah sudah buka?"
Adit menggelengkan kepala dan mulai mengangkat Mimpi Manis ke dalam kamar.
"Aku akan mengganti namamu saja, bagaimana bisa anjing semanis dirimu diberi nama yang sangat aneh. Aku kira otak tuanmu itu sedang bermasalah, lupakan otak Dhea, namamu sekarang adalah.... " Adit meletakkan anjing itu pada ranjang dan menggerakkan kaki gelisah.
"Mochi, nama yang cantik. Kamu putih dan juga penuh bulu," lanjutnya.
Laki-laki itu berjalan ke arah jendela dan menatap ke bawah, dia melihat seorang Dhea sedang berdebat dengan seorang wanita.
Pertamanya Adit tidak peduli, tapi kemudian matanya melebar. Itu Thea dan Dhea, sedang berdebat di bawah.
Dia ingin melerai, akan tetapi Dhea lebih dulu pergi saat mobil putih kemarin datang.
Dalam hati Adit bertanya rahasia apa yang sebenarnya Dhea sembunyikan? Adit bahkan tidak bisa menebak pikiran gadis itu.
Tersentak, Adit tersadar saat suara keresek digigit oleh Mochi.
"Mochi, apa yang kamu lakukan?" tanyanya. Dia mendekat dan menarik keresek yang berisi camilan untuk anjing. Adit memperhatikan bungkus makanan anjing itu dan dia tahu jika makanan Mochi salah satu dari merek ternama.
"Kamu ingin makan?" Mochi menjulurkan lidah mengikuti arah tangan Adit bergerak. Saat anjing itu ingin menangkap tiba-tiba suara bel berbunyi.
Decak malas terdengar jelas saat Adit harus bangkit. Dia menggendong Mochi dan membawanya membuka pintu. Pertama kali yang Adit lihat adalah wajah memerah Thea.
"Ada apa dengan wajahmu?" tanyanya.
Wanita itu tidak mendengar dan menerobos masuk begitu saja. Adit hanya mengekor hingga Thea mendongkak.
"Mimpi Manis, kamu di sini?" Thea langsung saja merebut anjing yang Adit gendong.
"Namanya Mochi, bukan mimpi manis," ucap Adit.
"Benarkah, tapi kalung ini menjelaskan semua," jawabnya, sembari menunjukkan kalung yang pakai anjing itu.
Tanpa aba-aba Adit mengambil gunting dan memotong kalung itu, lalu melemparkannya asal. Thea menatap anak didiknya memberi komentar apa pun.
"Sudah, namanya sekarang Mochi. Gadis aneh itu harus menerima nama yang kuberikan pada anjingnya."
"Awas saja kamu diamuk oleh Dhea," ucap Thea.
"Tidak akan, kamu tahu Dhea adalah penggemar beratku," ucapnya penuh percaya diri.
Thea terperangah melihat bagaimana Adit yang terlihat sangat bahagia dengan Mochi atau Mimpi Manis.
"Duduklah aku ingin bicara, Adit," titahnya. Laki-laki itu mengangguk dan duduk di sebelah Thea.
"Ada apa?"
"Aku tidak tahu apa yang membuatmu vakum. Ya, harus aku mengakui bahwa itu membawa dampak yang besar bagi agensi," jelasnya.
"Kamu adalah orang kepercayaanku, tapi untuk ini aku tidak akan jujur," jawab Adit, sembari mengambil Mochi dari pangkuan Thea.
Wanita itu menarik nafas panjang, lalu menyandarkan tubuh ke sofa.
"Kamu tidak ingin menyediakan minum untukku?" tanya Thea, dengan tangan menyentuh tenggorokannya sendiri.
"Tunggu sebentar."
Adit pergi, Thea juga ikut pergi, tapi dia menuju ke meja pojok. Di sana ada foto Arman dan Adit. Dia tahu jika hubungan kakak beradik itu tidak begitu baik.
Thea masih ingat ketika Adit memenangkan penghargaan pertama kali, saat itu Arman dengan bangga memeluk adiknya, tapi di tahun berikutnya Arman pergi tanpa memberi ucapan selamat.
"Foto itu tidak akan berubah jika kamu pandang 24 jam," celetuk Adit yang baru datang.
"Aku hanya miris," katanya.
"Kenapa kamu harus memikirkan tentangku dan kakakku? Kami sangat dekat dan semua itu tidak perlu di ekspos ke media," bela Adit.
Thea menarik sudut bibirnya, membentuk senyuman. Namun, itu bukan senyum bahagia, melainkan senyum meremehkan.
"Bahkan kamu masih bisa membuat opini bagaimana hubunganmu dan Arman yang baik- baik saja, aku semakin kasihan melihatmu, Adit."
Mendengar perkataan Thea, refleks Adit meremas gelas yang akan dia letakkan. Tahu apa manajernya tentang hubungan kakak beradik?
Walau Arman sekarang sedikit dingin, tapi Adit selalu menanamkan dalam benaknya bahwa itu hanya sementara.
"Manajer, jangan melewati batasanmu," ancam Adit, diiringi senyuman manis.
"Oh, oke maafkan aku."
Di lain tempat Dhea sedang memandang malas Arga yang dengan sengaja memperlambat waktu. Laki-laki itu dengan tenang mengatur lokernya, sedangkan Dhea sedang menunggu informasi.
Dhea menyandarkan badannya, lalu menarik nafas.
"Yak, sampai kapan kamu akan mempermainkanku?!" tanyanya setengah berteriak.
"Jangan berteriak, atau aku akan berubah pikiran," jawab Arga dengan entengnya.
Dhea benar-benar ingin menghantam kepala Arga saat ini juga, kadang kala saat dia ingin memukul laki-laki itu, tapi dia urungkan karena ketampanannya.
"Sebentar lagi bel akan berbunyi dan kamu malah...." Gadis itu tidak melanjutkan ucapannya, malah mengentakkan kaki kesal. Dhea tidak akan bisa bersabar jika terkait informasi yang Arga bawa.
Dan sialnya lagi, Arga malah terlihat senang melihat wajah memerah Dhea yang sedang menahan amarah.
"Stop, kamu terlalu bertingkah imut. Itu tidak baik bagi kesehatan jantungku," katanya, sembari memegang bahu Dhea.
Imut? Ingin rasanya Dhea menampar mulut itu.
Arga melepaskan bahu Dhea dan pergi begitu saja.
"Sialan, kamu Arga!" umpatnya.
Dengan sangat kesal Dhea memukul loker Arga, setelah itu dia memegang tangannya sendiri yang memerah.
"Seharusnya kamu memukul kepala Arga, bukan lokernya, Bodoh!" cibir Tina. Entah dari mana gadis itu datang, tapi dia sedikit menyimak pembicaraan Dhea dan Arga.