Berusaha untuk tenang, tapi semua gagal. Adit hanya takut jika semua tahu bahwa dia bukan manusia.
Laki-laki itu berulang kali membuka browser dan mencari cara untuk normal, tapi tidak ada artikel yang bisa membantu.
Acara itu akan diselenggarakan besok malam dan hari ini Adit belum menemukan jalan keluar. Dia menundukkan kepala dalam-dalam dan mengangkat cepat saat terdengar derap kaki mendekat.
Dhea datang dengan sekotak donat. Gadis itu duduk asal, bahkan tidak terganggu dengan tatapan membunuh yang Adit layangkan.
"Letakkan laptop itu dan mari berpesta bersamaku!" seru Dhea, sembari mengangkat tinggi kotak donat.
"Berpesta saat kediamanku dimasuki orang tidak diundang?" tanyanya sembari menaikkan satu alis.
"Jangan seperti itu, Kak. Ini bukan masalah besar."
Adit memijat pangkal hidungnya dan mengerang kecil.
Dhea yang merasa kasihan akhirnya bangkit dan meletakkan kotak yang dia bawa. Gadis itu memijat kepala Adit, secara otomatis sang korban tersentak dan menoleh tidak suka.
"Hentikan tatapan menyebalkan itu, atau matamu akan melompat nanti. Dan, yah, jika kamu punya masalah bisa berbagi padaku jika Kaka mau," ucap Dhea menekan kata mau. Dia melirik sebentar ke laptop Adit yang masih menyala.
Laki-laki itu mengikuti arah pandang Dhea dan refleks dia menutup laptop dengan kasar.
"Pergi dari sini dan itu akan sangat membantu," jawab Adit, yang dibalas dengusan kasar dari Dhea.
"Walau kau mengusirku tetap saja, aku tidak akan pergi. Persetan dengan masalahmu, aku akan menambahnya jika perlu, asal bisa dekat denganmu."
Adit berdecak keras dan mengambil satu donat di atas meja. Dia pikir Dhea hanya aneh, tapi ternyata juga sedikit gila.
"Kamu pasti mengataiku aneh, kan?" tanya Dhea.
Sontak saja Adit menatap ke belakang dengan mulut penuh dengan donat. Mata laki-laki melebar tidak percaya.
"Kamu bisa membaca pikiran orang?" tanya Adit.
"Tidak, hanya saja banyak orang yang berpikir aku gila, contohnya karena menyukaimu, tapi aku yakin suatu saat kita akan berkencan," jelas Dhea di akhiri dengan senyuman manis. Gadis itu memutari kursi dan duduk di samping Adit.
"Kamu terlalu banyak bermimpi," cibirnya.
"Yah, kamu bisa mengatakan itu pada anak laki-laki yang berusia 15 tahun, saat dia berlari ke salah satu agensi terbesar di Indonesia hanya untuk menjadi seorang penyanyi," jawab Dhea, itu adalah potongan kecil usaha Adit mengejar impiannya dulu.
Laki-laki itu berdecak kesal, dia menyesal karena harus membuka kenangan masa lalu saat diwawancarai.
Tiba-tiba saja bel apartemen Adit berbunyi. Dia memandang Dhea seolah memberi isyarat agar gadis itu tidak membuat ulah dan bangkit.
"Aku akan membuka pintu," ucapnya.
Saat Adit pergi, Dhea melihat kertas tagihan air di atas meja. Dalam hati dia ingin tahu seberapa banyak uang yang artis keluarkan setiap bulan, tapi matanya malah memicing tidak percaya.
"Kenapa tagihan dia sangat sedikit? Apa dia tidak mandi selama ini?"
Gadis itu meletakkan kertas asal saat Adit kembali.
"Duduklah, Manajer. Aku akan mengambilkan minum," kata Adit, lalu dia berjalan ke arah dapur.
Dhea tiba-tiba saja bangkit dan berteriak keras jika dia ingin pulang.
"Kak, aku ingin pulang!" teriak Dhea.
"Lalu siapa yang akan meminum jus ini?" tanya Adit berteriak.
"Entah, aku pergi dulu!" jawab Dhea tidak kalah nyaring.
Gadis itu bangkit bahkan dengan tidak sopan melewati Thea begitu saja. Thea yang melihat itu hanya tersenyum kecil, dia ingin menahan, tapi terlihat Dhea begitu terburu-buru.
"Apa kamu dekat dengan gadis itu?" tanya Thea pada Adit yang baru datang.
"Dia salah satu penggemarku, Kak. Sejak kemarin dia memang menggangguku, tapi itu bukan masalah besar," jawabnya, sembari meletakkan jus yang dia bawa.
"Dia gadis yang baik, walau sedikit menyebalkan."
"Dari cara bicaramu, kamu seperti mengenalnya, Manajer," cetus Adit. Refleks Thea tersedak minuman yang dia minum.
"Tidak, apa yang kau katakan. Sudah lupakan, kita kembali pada topik."
Di unit sebelah Thea dan Adit saling berbincang, sedangkan Dhea sibuk mengatur detak jantungnya. Dia menarik ponsel dan menelepon seseorang di seberang.
[Aku ingin bertemu dengamu, ada waktu, Arga?]
Dhea mengangguk kecil mendengar jawaban dari Arga.
[Cepatlah datang, aku ingin berbicara dan hanya berdua.] Telepon itu diputus oleh Dhea cepat.
Dia berlari segera berlari mengambil tas tanpa mengganti baju. Saat dia keluar serentak dengan Adit yang juga akan pergi.
Laki-laki itu menggunakan jaket hitam, masker, serta topi, dan kaca mata. Tanpa peduli Thea dan Adit, Dhea berjalan cepat.
Di bawah dia menunggu sebentar hingga terlihat mobil putih mendekat, Dhea segera berlari kecil. Tanpa sadar Adit melihat semua dari belakang.
"Apa yang kamu lihat sampai mengabaikanku?" tanya Thea.
"Hah? Apa? Kamu bilang sesuatu, Manajer?" Seolah ditarik dari alam bawah sadar, Adit terlihat seperti orang bodoh.
"Lupakan, ayo, kita harus cepat menyelesaikan masalah ini!" Laki-laki itu mengangguk dan mengekor Thea yang lebih dulu.
Di perjalanan Adit lebih banyak diam, sesekali dia menanggapi perkataan Thea. Wanita itu jengah dan menepuk pundak Adit.
"Fokus pada yang kuucapkan, Adit. Aku tidak mengerti bagaimana orang sepayah dirimu bisa menjadi idola banyak gadis."
"Aku mendengarmu," katanya.
"Dan aku tidak berusaha menutup-nutupi fakta itu," ucap Thea.
Manajernya tidak berkata sesuatu dan lebih fokus pada ponsel yang dia pengang, tanpa sadar Adit melirik dan menatap sebentar wallpaper ponsel Thea.
"Tampan sekali, kekasihmu?" tanyanya.
"Entah bisa kusebut kekasih atau tidak," jawabnya. Adit mengernyitkan dahi tidak mengerti.
"Wajahnya sangat familier," gumam Adit.
Di tempat lain Dhea baru saja turun dari mobil. Arga membawanya ke salah satu kafe favoritnya.
"Kenapa kamu membawaku ke sini?" tanyanya.
"Memang kamu mau ke mana, Dhea? Bar atau pusat perbelanjaan?" tanyanya setengah mengejek, karena faktanya Dhea sangat tidak suka ke pusat perbelanjaan jika bukan urusan penting.
"Aku mendengar nada ejekan dari kata-katamu, Arga," jawab Dhea.
"Aku bersyukur jika kamu peka." Dia membawa Dhea ke lantai dua dekat jendela.
Arga juga memesan beberapa menu kesukaan Dhea.
"Ingatanmu sangat kuat ternyata," cibirnya.
"Hal lain tentang dirimu juga aku ingat, lebih dari makanan kesukaanmu."
Gadis itu mengedikkan bahu acuh, dia hampir saja melupakan tujuan awal bertemu Arga.
"Lupakan soal makanan. Yah, aku ingin tahu soal kecelakaan dua tahun lalu," katanya.
"Tidak ada yang aneh, aku kira itu kecelakaan. Kau masih berpikir jika itu di ..., terima kasih," ucap Arga yang terpotong karena pelayan datang.
"Ya, aku tidak akan tenang jika semua ini tidak tuntas. Koneksimu luas, pasti kau bisa mencari pelaku itu dengan mudah, aku tahu ini bukan kecelakaan biasa," jelas Dhea, dia memajukan wajah. Hingga ujung hidung masing-masing hampir bersentuhan.
"Aku kira kamu rumbah ternyata domba, Dhea," katanya, sembari menarik wajah ke belakang lalu meminum kopi yang sudah dia pesan.
"Mau membantuku atau tidak?"
"Satu informasi di balas satu kali kencan, Bagaimana?"
Dhea menatap nyalang Arga, lalu membuang wajah ke samping.
"Oke, deal!"