Mendengar jawaban Hani, Haris semakin yakin kalau kakak iparnya itu telah mengetahui perasaannya. Entah bagaimana kejadiannya Haris belum tahu pasti. Haris kemudian menoleh ke arah Hani kemudian tersenyum manis. "Mauku sih, gitu. Sayangnya terkadang cinta enggak peduli soal itu."
Hani tertegun mendengar jawaban Haris. Namun, segera ia membuang pikiran yang tidak-tidak jauh-jauh.
"Aku aduin Bang Rahman, loh!" ancam Hani pada Haris sembari melirik galak.
Mendengar ancaman Hani, Haris terbahak-bahak. Kalau benar Hani mau jujur pada abangnya kalau dia mencintai istrinya itu, tentu Haris sangat berterima kasih pada Hani. Haris bisa menggertak abangnya jika memperlakukan Hani sesukanya.
Sesungguhnya keinginan Haris hanya satu, yaitu Hani bahagia. Meski bukan sebagai istrinya.
"Mau aduin gimana? Emang Kak Hani tahu aku jatuh cinta sama siapa?" Haris mencoba memancing Hani.
"Tahu, sama aku, kan?" tanya Hani. Namun, tentu saja itu hanya menggema di kepalanya. Hani tak mau Haris tahu kalau dia sudah lancang memasuki wilayah pribadi Haris.
"Gimana aku tahu, pernah bawa pulang cewek juga belum. Ya, udah. Kapan mau dikenalin sama aku dan abangmu?" tantang Hani.
"Kalau beneran sudah bersuami, gimana?" tanya Haris sembari tersenyum lebar. Ia sengaja ingin menggoda Hani.
Kontan Hani langsung menabok punggung adik iparnya itu dengan keras. Sampai orang-orang di dekat mereka menoleh.
"Au! Sakit, Kak!" Haris memekik tertahan sambil meringis, tetapi tetap tersenyum lebar.
Saat itu Hani mengamati Haris. Adik iparnya itu memang persis orang kasmaran. Sayangnya, dia kasmarannya salah alamat.
"Apa perlu abangmu cariin calon?" tanya Hani saat ia kembali memilih camilan. "Masa iya, cowok kayak kamu sekedar calon istri harus dicariin?"
"Udah, ada, sih, Kak. Tapi ...."
"Tapi apa?" kejar Hani. "Istri orang?" Hani menatap Haris galak. Namun yang ditatap malah tersenyum lebar.
Haris memang sangat suka melihat wajah Hani saat marah begitu. Di mata Haris Hani terlihat begitu menggemaskan. Rasa-rasanya kalau wanita itu istrinya, ia bakal langsung menyerangnya membabi buta.
"Udah, lah, Kak. Jangan bahas calon lagi! Bingung aku, tuh." Haris jadi merasa pusing sendiri menahan perasaannya pada Hani.
"Bingung kenapa?"
"Ya, belum ada calonnya Kak Hani bawel!" candanya. "Jodoh itu kan, misteri. Kita enggak pernah tahu siapa yang bakal jadi jodoh kita. Emang dulu Kak Hani pernah mikir bakal berjodoh sama Bang Rahman? Enggak, kan?"
"Enggak, sih." Hani membenarkan perkataan Haris.
"Nah, makanya. Siapa tahu yang sekarang masih jadi istri orang, besoknya jadi istriku," ucap Haris sembari tersenyum lebar.
"Dasar, bocah sableng!" umpat Hani sembari menabok punggung Haris lagi.
"Aw! Sakit, Kak!" Haris meringis.
Tak terasa keranjang belanja yang Hani bawa sudah banyak isinya. Hani meminta Dinda dan Haris untuk menyudahi sesi pilih-pilihnya. Sudah malam juga dan Dinda juga belum makan.
Seperti biasa, Haris yang membayar semua belanjaan mereka. Pemuda itu memang ingin melakukan apa-apa saja yang tak pernah dilakukan abangnya terhadap anak dan istrinya. Haris ingin Hani bisa merasakan seperti wanita pada umumnya.
Sementara Hani menatap Haris dengan perasaan tidak enak. Karena keranjang belanja itu isinya ada juga barang keperluan pribadinya. Namun, uangnya juga tinggal yang dikasih Haris tadi pagi. Tak mungkin Haris mengizinkan dia membayar belanjaan itu.
"Yuk!" ajak Haris setelah membayar.
Dinda tak sabar mengambil camilan kesukaannya. Ciki dari jagung dengan rasa gurih.
"Makan nanti di rumah, loh, Din!" tegur Hani.
"Tapi Dinda lapar, Ma!" Dinda mengerucutkan bibirnya.
"Hm, emang dasar enggak sabaran!" sungut Hani.
Begitu mereka keluar dari indoapril, hujan mengguyur tanpa basa-basi. Bahu Hani langsung terkulai lemah. Keinginannya untuk segera sampai rumah dan ingin menghindar dari Haris pupus sudah. Apalagi jas hujan Haris jas hujan egois. Mana mungkin mereka pulang hujan-hujanan seperti ini.
"Hujan. Nunggu reda, ya?" pinta Haris sembari memandangi air hujan yang jatuh ke bumi.
"Beli jas hujan yang sekali pakai aja, Ris!" pinta Hani. "Biasanya di indoapril ada."
"Ya, sudah. Kalian duduk situ dulu. Aku cari dulu."
Haris kemudian menyerahkan kantong belanjanya pada Hani. Kemudian lelaki itu kembali memasuki indoapril tersebut.
Sembari menunggu Haris, Hani dan Dinda menuju kursi di teras indoapril. Dinda sibuk dengan camilan di tangannya. Kelihatan sekali anak itu kelaparan.
"Makan roti isi aja, Din! Nih!" Hani mengangsurkan roti basah isi coklat pada Dinda. Kalau sampai perut Dinda kosong terus kehujanan nanti bisa-bisa masuk angin. Hani tak mau itu terjadi.
Haris keluar beberapa saat kemudian. Namun, kedua tangannya kosong.
"Habis, Kak, jas hujannya." ucap Haris sembari berjalan ke arah Hani dan Dinda.
"Yah, terus gimana, dong, kita pulangnya? Mana udah malam gini," keluh Hani.
"Aku coba telepon Bang Rahman, ya? Biar nanti aku bolak-balik enggak apa-apa. Yang penting enggak kehujanan," ucap Haris.
Hani mengangguk setuju. Karena hujan sederas ini pasti bakal lama redanya.
Haris menelepon Rahman. Namun, Rahman tak juga mengangkat teleponnya. Berkali-kali Haris menelepon, tetapi hasilnya sama.
"Enggak diangkat, Kak," ucap Haris.
"Terus, gimana?" tanyaku bingung.
Hani menduga suaminya itu mungkin ketiduran. Kebiasaan dari laki-laki itu kalau menonton televisi lama-lama televisi yang gantian menontonnya.
"Bang Rahman emang engga pernah bisa diandalkan! Bisa-bisanya anak istri belum pulang dia malah tidur! Heran aku," gerutu Hani dalam hati. Di saat ia membutuhkan suaminya, tetapi suaminya tidak bisa diandalkan rasanya kesal sekali.
"Aku ambil jas hujan ke rumah dulu, gimana?" usul Haris.
Jam segitu memang toko-toko kebanyakan sudah tutup. Indoapril terdekat juga cuma ini.
"Aduh, masa iya, Haris harus bolak-balik ke rumah? Kasihan juga anak itu. Aku juga tak enak terlalu merepotkannya," batin Hani merasa tidak enak dengan adik iparnya itu.
"Enggak usah, Ris!" cegah Hani. "Kita tunggu hujan agak reda aja, nanti kita terobos enggak apa-apa."
Hani benar-benar kesal pada Bang Rahman. Karena lelaki itu seolah-olah tak pernah peduli pada anak dan istrinya. Apalagi khawatir. Tidak ada di dalam kamus hidupnya.
Hani bahkan sampai lupa jika ia sedang berusaha menghindari Haris. Karena lagi dan lagi hanya pemuda itu yang bisa ia andalkan. Bukan suaminya.
"Ya, sudah. Kalau gitu biar nanti Dinda aja yang pakai jas hujannya," ujar Haris.
"Enggak usah! Dinda biar di tengah aja!" usul Hani.
"Enggak apa-apa, Kak. Dinda belum makan. Kalau masuk angin, gimana?"
Akhirnya Hani menyetujui usul Haris. Ia tak mau juga kalau Dinda sampai sakit gara-gara kehujanan.
Satu jam menunggu, hujan tak kunjung reda. Ia masih setia mengguyur bumi dengan derasnya. Udara juga semakin menusuk kulit. Hani yang hanya mengenakan sweater tipis otomatis kedinginan.
"Pakai jaketku, nih!" pinta Haris saat melihat Hani mulai menggigil.
"Enggak usah, Ris! Nanti kamu kedinginan," tolak Hani.
Tak peduli penolakan Hani, pemuda itu melepas jaketnya kemudian menutupkan jaket itu pada punggung Hani. Setelahnya, ditepuknya pelan kedua lengan Hani.
"Makasih, Ris," ucap Hani pada pemuda yang kini hanya mengenakan kaos hitam itu.
Haris tersenyum hangat membalas ucapan terima kasih Hani. Baginya wanita itu yang terpenting.
"Aku cari minuman hangat di dalam, ya? Biasanya ada," pamit Haris.
"Enggak usah, Ris. Itu hujannya juga udah enggak terlalu deras," cegah Hani.
Padahal sebenarnya hujannya masih sederas tadi. Hanya saja Hani merasa sangat tidak enak pada Haris. Harusnya pemuda itu bisa istirahat setelah bekerja seharian. Namun, karena suaminya terlalu mengandalkan adiknya itu, ia harus susah payah seperti ini.
"Ayo, kita terobos aja!" ajak Hani karena mereka sudah menunggu cukup lama.
"Yakin?" tanya Haris yang kini memangku Dinda. Pemuda merasa sangat kedinginan karena hanya mengenakan kaos pendek saja.
"Iya, tapi, nih, kamu pakai jaketnya. Kamu, kan, di depan, pasti dingin banget."
Hani mengangsurkan jaket tadi pada Haris. Pemuda itu menerimanya. Setelah ia memakai lagi jaketnya, ia menerobos hujan menghampiri motornya.
Diambilnya jas hujan egois itu di bagasi motornya, kemudian memberikannya kepada Hani. Segera Hani pakaikan jas itu pada Dinda.
"Celananya kamu pakai aja, Ris! Biar Dinda pakai bajunya aja!" perintah Hani.
Tak banyak protes, Haris setuju. Karena atasan jas hujan Haris cukup panjang di badan Dinda. Sejurus kemudian bersama-sama mereka bertiga menerobos hujan yang masih
Di tengah hujan yang mengguyur kota, mereka membelah jalanan dengan sepeda motor Haris. Baju Hani basah kuyup. Begitu juga dengan Haris. Tubuh Hani pun semakin menggigil kedinginan.
"Tangannya masukin ke saku jaketku, Kak!" teriak Haris sembari menarik tangan Hani yang memeluk Dinda.
"Enggak, Ris!" tolak Hani dengan berteriak juga karena guyuran air hujan cukup deras. Hani berusaha menarik tangannya, tetapi Haris memegangnya dengan erat.
"Kalau kamu meluk Dinda yang ada kamu tambah kedinginan. Dia, kan, pakai jas hujan. Airnya ke kamu semua," teriaknya lagi.
Haris benar. Bahkan tangan Hani sudah sedingin es sekarang. Akhirnya Hani pasrah membiarkan kedua tangannya digenggam Haris dengan erat. Pemuda itu memegangi setang motornya dengan tangan kanan saja.
Dibonceng dengan memeluk Haris seperti ini, membuat jantung Hani berdegup lebih cepat dari biasanya. Meskipun Dinda ada di antara mereka. Tetap saja ini hal baru bagi mereka.
Mungkin kalau tak tahu perasaan Haris kepadanya, mungkin Hani akan merasa biasa saja. Namun, karena tahu Haris ada rasa, hal itu membuat perasaan Hani menjadi tak biasa juga.
Yang sebelumnya Hani menganggap Haris hanya seorang bocah, sejak tahu perasaan Haris anggapan Hani jadi lain. Di mata Hani kini Haris tampak sebagai sosok lelaki. Meskipun Hani tak pernah berpikir untuk mengkhianati Rahman.
Motor mulai memasuki gang perkampungan rumah Hani. Haris memelankan laju motor karena banyak polisi tidur di jalan berpaving itu. Ia juga melepas genggamannya pada tangan Hani. Karena harus memegangi kedua setang motornya saat berjalan pelan melewati polisi tidur seperti itu.
Saat tiba di poskamling, Haris kembali memelankan laju motor karena kembali ada polisi tidur. Pada saat itu Hani menoleh ke arah poskamling, karena Rahman sering diam-diam nongkrong di situ tanpa pamit kepadanya.
Benar saja, lelaki yang sejak tadi Haris hubungi untuk menyusul mereka, sedang asyik bermain kartu bersama empat orang temannya. Dada Hani seketika panas melihat itu. Anak istrinya kehujanan seperti ini, ia asyik bermain seperti itu dengan teman-temannya.
"Berhenti, Ris!" teriak Hani.
Begitu Haris menghentikan motornya, Hani langsung turun. Tak peduli dengan hujan yang mengguyur. Hani mendekati pos tempat Rahman bermain kartu. Kemudian berteriak dengan emosi yang sudah memenuhi kepalanya.
"Bang! Anak istri kehujanan begini, kamu asyik sendiri bermain kartu?!"
Rahman terperangah melihat kedatangan Hani. Ia tak menyangka istrinya akan melihatnya bermain kartu di poskamling itu.