Chereads / SEGENGGAM CINTA SANG IPAR / Chapter 6 - Hani Sakit

Chapter 6 - Hani Sakit

Lama-kelamaan Hani tertidur juga. Sampai entah jam berapa ia terjaga karena merasa sangat kedinginan. Ia bangun dan melihat selimut hanya menutupi tubuh Rahman saja. Sementara ia yang kedinginan sejak tadi tidur tanpa selimut.

Segera saja ia menarik selimut tersebut agar bisa menyelimuti tubuhnya juga. Namun, ternyata sangat susah karena tertindih tubuh Rahman.

"Bang, geser!" pinta Hani sembari mendorong tubuh Rahman dan menarik selimut itu dengan susah payah.

Namun, rupanya hal itu membuat Rahman terbangun dan murka. "Apa, sih!" sewotnya sembari menatap Hani dengan kedua bola mata merah dan seperti hendak keluar dari tempatnya.

"Ini selimutnya!" ucap Hani sembari mengentak-entak ujung selimut yang dipegangnya itu.

Namun, bukannya bergeser agar Hani bisa menarik selimut yang tertimpa tubuhnya, lelaki itu malah semakin marah.

"Kamu itu! Ganggu orang tidur saja!" bentak Rahman kemudian beranjak dari tempat tidur dan keluar dari kamar begitu saja.

Hani menghela napas panjang melihat sikap kasar suaminya. Ia memandangi pintu kamar yang kini tertutup rapat setelah Rahman keluar. Dadanya terasa nyeri diperlakukan seperti itu oleh lelaki yang seharusnya menyayanginya itu.

Jangankan menyelimutinya, sekedar diminta untuk geser agar dia bisa ikut masuk ke dalam selimut saja lelaki itu malah marah. Begitulah Rahman. Saat sedang tidur, lelaki itu tak boleh terusik sama sekali. Kalau sampai terusik, dia akan langsung emosi seperti itu.

Mungkin karena Rahman kadang shift malam, jadi jam tidurnya tidak teratur. Sehingga butuh istirahat yang berkualitas. Namun, tak seharusnya juga dia emosi seperti itu hanya karena diminta bergeser agar Hani bisa memakai selimut juga.

Hani hanya bisa membiarkan laki-laki itu tidur di luar. Karena jika Hani mengejarnya dan tak terima dengan sikap suaminya itu, yang ada, suaminya itu akan semakin marah dan pertengkaran pun tak bisa terelakkan.

Hani tentu tidak mau malam-malam begini ia harus adu mulut dengan suaminya itu. Ia malu pada Haris dan Dinda, juga tetangga yang mendengarnya. Hanya soal selimut saja tidak pantas rasanya harus jadi permasalahan besar.

Sehingga Hani membiarkan Rahman tidur di luar. Karena kejadian seperti ini juga sudah biasa dalam rumah tangga mereka. Hani sudah hafal dengan sikap Rahman yang seenaknya sendiri seperti ini.

Wanita yang sedang kedinginan itu memilih untuk melanjutkan tidur setelah menyelimuti tubuhnya. Malam ini badan Hani terasa seperti sedang masuk angin. Ia merasa kedinginan bahkan tubuhnyal sampai menggigil.

Sebenarnya malam ini ia ingin Rahman memeluknya. Memberi kehangatan saat kondisinya seperti ini. Namun, bagaimana lagi, kenyataannya lelaki itu tak bisa diharapkan.

Pikiran Hani kemudian menjadi melantur kemana-mana. Ia jadi mengkhayal jika saja suaminya itu lelaki seperti Haris yang penyayang dan perhatian. Tentu tanpa ia minta, lelaki itu akan memeluknya. Bahkan mungkin tak hanya itu. Ia mungkin akan membuatkan istrinya sesuatu untuk menghangatkan tubuh yang sedang menggigil kedinginan itu.

"Ah, apa-apaan, sih!" gumam Hani sembari menggelengkan kepalanya dengan cepat. Namun, hal itu justru membuat kepalanya semakin pusing dan pandangannya berputar-putar. Akhirnya ia memutuskan untuk memejamkan mata dan kembali tidur.

Pagi hari saat Hani hendak beranjak dari tempat tidur, ia merasa kepalanya berat sekali. Keningnya pening, badannya juga terasa panas. Kehujanan semalam benar-benar membuat dia masuk angin.

Begitu keluar dari kamar, Hani langsung menuju kamar Dinda. Ia takut anak itu sakit juga. Apalagi saat kehujanan semalam Dinda dalam kondisi belum makan malam.

Dinda terlihat masih pulas saat Hani masuk. Wanita yang sebenarnya badannya terasa tak karuan itu meraba kening putrinya. Untung saja Dinda tidak panas. Sehingga Hani bisa bernapas lega.

Hani memaksakan diri melakukan aktivitas pagi seperti biasa. Meskipun sebenarnya badan terasa tidak karuan. Namun, jika bukan dia yang melakukannya siapa lagi? Tak mungkin ia mengandalkan Haris.

Sepulang Hani membeli sayur, Dinda sudah duduk di menonton televisi. Wajah anak itu masih tampak ngantuk dan malas. Wajah rupa bantal istilahnya.

"Mandi, Din! Nanti kesiangan!" titah Hani.

Bocah delapan tahun itu menurut. Ia beranjak dari sofa, mengambil handuk dan pergi ke kamar mandi. Sementara Hani sibuk menyiapkan bahan masakan.

Air yang tadi Hani rebus akhirnya mendidih. Segera ia menyeduh secangkir kopi untuk Bang Rahman. Lalu ia suguhkan kopi tersebut di teras belakang. Pagi-pagi begini Rahman sudah sangat sibuk dengan burung-burungnya.

Selesai memasak, badan Hani terasa semakin tak karuan. Ia akhirnya pamit pada Rahman untuk istirahat lagi setelah berpesan agar Rahman mengantar sekolah Dinda seperti biasa.

Hani menutup tubuhnya yang mulai menggigil dengan selimut tebal. Kemudian ia kembali terlelap pagi itu.

Hani terbangun saat merasakan kakinya sedang dipijat. Ia merasakan enak sekali. Sampai-sampai ia malas untuk membuka mata saking nyamannya. Ia justru semakin menenggelamkan tubuh ke dalam selimut.

Namun, meski berusaha kembali tertidur, otaknya tetap berpikir. Ia merasa sedikit aneh karena tak biasanya Rahman mau memijatnya seperti ini. Biasanya kalau Hani sakit lelaki itu terkesan tidak begitu peduli. Ia hanya sekadar mengantarkan ke puskesmas. Itu juga kalau Hani yang meminta.

"Mungkin Bang Rahman merasa bersalah semalam meninggalkanku tidur di kamar sendirian, jadi sekarang dia berinisiatif memijatku," batin Hani.

"Iya, Bang, bagian situ!" racau Hani yang akhirnya tidak jadi kembali tidur. Ia merasa pijatan Rahman pas sekali. Apalagi saat memijat bagian betis. 

Hani tak mendengar sahutan dari Rahman. Ia hanya merasa kakinya sangat nyaman karena terus dipijat dengan kekuatan yang pas. Tidak terlalu kuat, tidak juga terlalu pelan. Pas sekali.

Hani bahkan berpikir bisa segera sembuh tanpa minum obat jika terus dipijat seperti ini. Hani berencana setelah Rahman selesai memijat, ia akan meminta pria itu untuk membeli tolak angin dan menyeduhnya dalam teh panas.

"Pasti aku segera sembuh," batin Hani.

Tiba-tiba Hani teringat sesuatu. Bukankah Rahman hari ini bekerja? Lantas ia segera bertanya, " Bang, kamu hari ini enggak kerja?" tanya Hani tanpa membuka kelopak matanya.

Ia lantas berpikir mungkin saja suaminya itu tidak jadi berangkat kerja karena tahu dia sakit. Atau mungkin juga Rahman sudah pulang kerja.

Memikirkan tebakan terakhirnya itu, kontan membuat Hani segera membuka mata. Ia sangat terkejut karena berpikir sudah tidur seharian tanpa bangun.

"Bang!" seru Hani. "ini sudah jam bera ...." 

Pertanyaan Hani tiba-tiba terpotong. Karena begitu penglihatannya jelas, yang ia lihat bukanlah Rahman, melainkan Haris. Kontan Hani langsung beringsut menjauhkan kakinya dari adik iparnya itu.

"Haris!" tegurnya. Ia sangat terkejut melihat pemuda itu berada di dalam kamarnya. Tak hanya itu, Haris bahkan berani memijatnya seperti ini.

"Mana Bang Rahman?" tanya Hani yang masih sangat syok dengan keberadaan Haris.

Haris menjadi sedikit kikuk begitu melihat reaksi tak suka dari Hani. Namun, ia berusaha bersikap biasa. "Bang Rahman sudah berangkat, Kak," jawabnya tenang. "Tadi Abang bilang kamu sakit. Itu aku sudah beliin obat sama bikinin teh campur tolak angin."

Haris menunjuk nakas tempat ia menaruh obat dan segelas teh campur tolak angin. "Nih, diminum!" titahnya sembari mengangsurkan segelas besar teh dengan aroma tolak angin itu kepada Hani.

Hani masih mematung. Ia tak merespon ucapan Haris. Dadanya kini berdegup kencang. Bagaimanapun ia sekarang berada di kamar bersama laki-laki lain. Meskipun mereka tidak melakukan hal yang aneh-aneh. Namun, tetap saja buat Hani, Haris sudah keterlaluan.

"Keluar kamu!" titah Hani sembari menatap Haris dengan tatapan dingin. Ia tak mau memberi celah untuk adik iparnya itu. Ia juga tak mau Haris semakin kurang ajar padanya, bahkan tidak menghargainya sebagai kakaknya.

"Kak, tenang dulu," pinta Haris dengan lembut.

"Keluar aku bilang!" tegas Hani.

"Kak, kamu jangan salah paham. Aku bisa jelasin semuanya."

"Enggak! Keluar!"

Haris menghela napas kasar melihat sikap Hani yang sangat tidak bersahabat dengannya.

"Maaf, Kak, tapi empatiku belum mati saat melihat orang lain sedang kesakitan. Terlebih orang itu adalah ...."