Mendengar ungkapan emosi Haris, pikiran Rahman jadi kemana-mana. Lelaki itu bergegas meminta izin untuk pulang karena istrinya pingsan. Setelah mengantongi izin, Rahman bergegas untuk pulang.
Lelaki itu memacu sepeda motornya dengan kecepatan tinggi. Entah mengapa ia merasa takut kalau-kalau sebenarnya adiknya itu menyukai istrinya. Sehingga Haris akan nekat benar-benar mengambil Hani darinya. Rahman tidak mau itu terjadi. Hani istrinya, ia tidak mau orang lain sampai mengambilnya. Termasuk Haris, adik kandungnya sendiri.
Begitu tiba di rumah, Rahman langsung menuju kamar. Di sana ia melihat Haris sedang mengoleskan parfum pada hidung Hani. Setelahnya, pemuda itu menekan-nekan sela-sela jemari Hani. Tampak Haris begitu mengkhawatirkan Hani.
"Ris," panggil Rahman membuat Haris seketika menoleh. Namun, pemuda itu hanya menoleh sekilas kemudian fokus kepada Hani lagi.
"Apa aku panggil Bu Bidan Ari saja, ya?" tanya Rahman hati-hati. Ia tidak ingin membuat adiknya berkata-kata yang tidak ingin didengarnya lagi. Bagaimanapun mereka hanya dua bersaudara. Rahman tidak ingin hubungan keduanya sampai tidak baik.
"Kondisi Hani itu parah, Bang. Dokter aja nyuruh dia opname. Gimana bisa Abang sesantai itu, dia pingsan seperti ini cuma mau panggil bidan?" geram Haris. Ia benar-benar tak habis pikir pada abangnya itu.
"Ris, kondisi keuanganku se ...."
"Bang!" potong Haris langsung. Ia bahkan sampai membentak abangnya sendiri. "Uang itu urusan gampang. Bisa dicari! Tapi kalau sampai Hani kenapa-napa, kemana Abang akan cari istri kayak dia lagi?"
Rahman menghela napas kasar. Haris benar, tetapi ia juga tak enak terus-terusan merepotkan adiknya itu. Apalagi Rahman juga takut, kalau-kalau Haris begitu baik pada istri dan anaknya karena sebenarnya ada maunya.
"Ya udah, kita bawa ke puskesmas aja, Ris," ucap Rahman akhirnya.
"Dengan kondisi Hani separah ini mau dibawa ke puskesmas, Bang?" tanya Haris tidak percaya pada Rahman. "Apa Abang sangat takut untuk sekedar mencarikan uang buat berobat istri Abang sendiri? Kalau Abang tidak sanggup, aku yang akan membiayai semua biaya rumah sakit, Bang. Abang tenang aja. Bagiku yang penting Hani cepat sembuh."
"Ya sudah, Ris," ucap Rahman pasrah. Ia sebenarnya malu kepada adiknya. Namun, bagaimana lagi, pekerjaannya sebagai sekuriti gajinya hanya UMR saja.
Akhirnya dengan meminjam mobil Pak RT, Rahman dan Haris membawa Hani ke rumah sakit swasta yang cukup baik di kota itu. Begitu tiba di rumah sakit, Hani langsung dibawa ke IGD. Kondisi Hani benar-benar sangat lemah. Ia bahkan tak kunjung sadarkan diri sampai selesai diperiksa dan dipasang berbagai peralatan medis.
"Kamu lihat, Bang. Bahkan sampai sudah diinfus dan pakai selang oksigen pun Hani belum sadar. Gini Abang cuma mau panggil Bidan?" tanya Haris sangat sinis pada abangnya. Haris sebenarnya tidak bermaksud menyakiti abangnya. Ia hanya sangat kecewa pada sikap abai abangnya itu pada Hani.
Haris sebenarnya berharap, setelah Hani mengikuti kemauan Rahman agar tidak opname, lelaki itu akan mengurus istrinya dengan baik. Namun, yang terjadi tidak begitu. Bahkan di saat Haris sengaja pergi dari rumah itu, tampak sekali Rahman sama sekali tidak menyentuh pekerjaan rumah untuk sekadar membantu Hani.
Justru Hani ia temukan pingsan di lantai dapur yang begitu kotor. Itu artinya, wanita itu meski dalam kondisi yang tidak baik-baik saja, berusaha tetap mengerjakan tugasnya. Bahkan tanpa meminta bantuan kepada Rahman, suaminya.
"Hah, Hani ...," lirih Haris saat di kamar Hani hanya ada ia dan Hani. Sementara Rahman sedang mengembalikan mobil Pak RT.
Pemuda itu menatap wajah Hani yang begitu pucat. Bibir yang biasanya merah merona itu bahkan tampak pecah-pecah dan sangat pucat. Seolah-olah wajah Hani sekarang ini sedang menunjukkan betapa ia menderita menjadi istri Rahman yang sangat tidak peduli dan perhatian.
"Hani, andai saja kamu istriku, bukan istri abangku. Enggak perlu kamu menderita seperti ini," lirih Haris sembari menyelipkan anak rambut Hani ke telinga. Ditatapnya lama-lama wajah pucat Hani. Haris benar-benar merasa tidak tega.
Lelah menunggu Hani yang masih saja tak sadarkan diri, tanpa sadar akhirnya Haris tertidur. Kepalanya ia sandarkan di ranjang tempat Hani terbaring. Terlebih pemuda itu memang semalaman tidak bisa tidur karena terus memikirkan Hani.
Beberapa saat kemudian akhirnya Hani perlahan-lahan mengerjapkan matanya. Perlahan ia melihat suasana yang berbeda. Tempat ini bukan di rumah.
"Aku dimana? Apa aku sudah mati?" batin Hani sembari melihat sekelilingnya.
Akhirnya pandangannya bertemu pada sosok yang beberapa saat lalu menghilang. Haris. Pemuda itu terlihat tertidur dengan kepala di tepi ranjang.
Akhirnya Hani menyadari bahwa ia saat ini berada dalam rumah sakit. Saat ia melihat sofa di belakang tubuh Haris dan juga tangannya kini terpasang jarum infus.
Hani berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi dengannya. Kapan ia berangkat ke rumah sakit. Akhirnya ia mengingat bahwa tadi ia sempat tak sadarkan diri.
"Lalu kapan Haris pulang? Dimana Bang Rahman? Kenapa Haris yang di sini? Bukan Bang Rahman?" Kini di kepala Hani banyak sekali pertanyaan. Apalagi di ruangan ini ia hanya melihat Haris. Tidak ada Rahman, suaminya.
Hani menoleh pada dinding sebelah kanan. Di sana tertempel jam dinding berwarna putih. Ia berguman, "Ternyata jam sembilan. Berarti Haris baru saja pulang."
Hani menoleh saat merasakan kepala Haris bergerak. Pemuda itu mengangkat kepalanya, kemudian meraup wajahnya.
"Hani, kamu sudah bangun?" tanya Haris dengan kedua bola mata berbinar. Meski kantuk masih terlihat jelas pada kedua matanya.
Hani mengernyitkan dahi. Tak biasanya Haris memanggilnya Hani. Biasanya ia menyebutnya Kak Hani. Lalu kenapa ia berubah memanggilnya hanya nama?
"Apa aku mimpi?" batin Hani. Seolah-olah ini semua tidaklah nyata.
"Kenapa menatapku begitu?" tanya Haris sembari menatap Hani heran. Pasalnya wanita itu terus menatapnya seperti sedang banyak berpikir.
"Mana Bang Rahman?" tanya Hani akhirnya. "Kamu yang bawa aku ke sini? Bang Rahman enggak tahu?" Hani khawatir kalau-kalau Haris nekat membawanya ke rumah sakit ini tanpa meminta izin suaminya.
Ditanya seperti itu, Haris lantas menatap Hani dengan lekat. "Kenapa kamu peduli sama orang yang enggak peduli sama kamu?" tanyanya dengan sinis.
Hani merasa bingung. Ia tak mengerti mengapa Haris bertanya seperti itu. Wanita itu menautkan kedua alisnya kemudian bertanya, "Maksud kamu apa?"
"Bahkan kalau kamu mati pun mungkin suamimu enggak peduli," lanjut Haris semakin membuat hati Hani miris.
"Ngomong apa kamu, Ris!" bentak Hani. Ia tidak suka Haris menjelekkan abangnya sendiri. Bagaimanapun, Rahman adalah suami Hani dan juga abang Haris. Maka Haris harus menghormati Rahman.
"Kemarin, aku menemukanmu pingsan di dapur. Kata dokter kemungkinan kamu pingsan dari pagi. Kamu sampai hipotermia karena aku baru datang setelah kamu pingsan cukup lama. Kalau aku sampai terlambat, nyawa kamu bisa bablas," jelas Haris dengan geram.
"Apa dia separah itu?" batin Hani.
Kini ia menyadari kalau di hidungnya telah terpasang selang oksigen saat Hani meraba selang itu.
"Gila kalau aku nurutin suamimu itu buat enggak bawa kamu ke sini! Dia lebih baik liat kamu mati daripada sekedar cari uang untuk berobat!" geram Haris lagi pemuda itu begitu kesal pada abangnya.
Sementara Hani hanya diam mendengarkan Haris meluapkan amarahnya. Kesadaran wanita itu bahkan rasanya belum kembali seratus persen.
"Kalau dia enggak sanggup tanggung jawab sama kamu, tinggalin dia!" lanjut Haris membuat Hani melebarkan kedua bola matanya. "Lebih baik kamu jadi istriku saja!"