Hani menatap Haris dengan kedua bola mata melebar. Ia benar-benar tak menyangka Haris akan mengatakan itu.
Sementara Haris menarik napas dalam sembari memundurkan tubuhnya ke sandaran kursi. Kemudian menghembuskan napasnya dengan kasar.
"Maaf, aku emosi," ucap Haris dengan lemah.
Hani hanya menatap Haris penuh arti.
"Aku tahu yang kamu ucapkan memang keinginanmu, Ris. Tapi, kamu harus ingat, bagaimanapun aku istri abangmu," batin Hani. Ia merasa miris. Tidak tahu harus sedih atau bahagia.
"Makan, ya!" tawar Haris pada Hani setelah mereka saling terdiam cukup lama.
Namun, Hani masih menatap Haris dengan lekat. Beberapa saat kemudian Hani mengangguk. Karena perutnya memang lapar.
"Mau bubur yang aku beli atau bubur dari rumah sakit?" tawar Haris.
"Yang kamu beli aja."
"Oke."
Dengan cekatan Haris mengambil bubur di nakas. Kemudian kembali duduk di kursinya.
"Bentar," ucap Haris.
Haris kemudian meletakkan kembali mangkuk buburnya dan berjalan ke ujung bed Hani. Dia membuat posisi agak meninggi di bagian atas bed. Sehingga posisi Hani setengah duduk.
"Gimana, pas?" tanya Haris.
"Iya."
Haris kembali mengambil mangkuk bubur, kemudian duduk di kursinya.
"Aku suapin, ya?"
"Enggak, Ris. Aku makan sendiri aja," tolak Hani.
"Bakal susah, tanganmu diinfus gitu," tentangnya.
"Enggak!"
"Udah, nurut aja! A!" perintahnya sembari menyuapkan sesendok bubur ke mulut Hani.
"Ris, aku makan sendiri aja!" pinta Hani setelah menelan satu suapan dari Haris. Karena disuapi Haris seperti itu ternyata membuat dada Hani berdebar tak karuan. Rahman saja tak pernah seperti ini, bagaimana bisa Haris yang begini kepada Hani?
"Udah, makan aja! A!" perintah Haris lagi sembari menyuap suapan kedua. Hani menekuk wajah karena permintaannya tak diindahkan oleh Haris, tetapi tetap menerima suapan dari Haris.
"Seandainya Bang Rahman semanis ini. Seribu pria menggoda tak akan membuatku berpaling," batin Hani.
Setengah mangkuk bubur telah berpindah ke perut Hani. Wanita itu merasa perutnya penuh dan mual. "Udah, Ris. Aku mual."
"Oh, iya, harusnya sebelum makan minum obat dulu," ucap Haris.
"Enggak apa-apa, udah terlanjur."
Haris menyiapkan obat-obatan yang harus Hani minum. Sementara Hani hanya memandangnya sembari tiduran.
"Bang Rahman tahu aku di sini?" tanya Hani. Bagaimanapun Hani adalah istri Rahman. Hani tak mau Haris sembarangan membawanya tanpa memberitahu Rahman.
"Hm," sahut Haris dengan malas.
"Semalam siapa yang menjagaku di sini?" tanya Hani lagi.
Haris menaruh obat, kemudian menatap Hani dengan lekat. "Mau kamu siapa? Bang Rahman?"
Hani memilih tak menjawab, hanya membalas tatapan Haris.
Sejurus kemudian, Haris kembali sibuk dengan obat-obatan.
"Ya, aku harap dia. Bagaimanapun aku istrinya," ucap Hani akhirnya sembari membuang muka.
Dada Hani berdenyut nyeri memikirkan kalau semalam Rahman tidak di sini. Benarkah, lelaki itu tak peduli padanya? Wanita yang sudah bertahun-tahun menjadi istrinya?
Haris duduk kembali di kursinya. Kemudian memberikan segelas air minum dan obat-obatan yang harus Hani minum tanpa berkata-kata.
Hani menerimanya, menelan seketika lima butir obat yang Haris berikan. Salah satu cara melampiaskan kekesalannya pada Rahman.
Haris tersenyum melihat tingkah Hani. "Segitu cintanya ya kamu sama abangku?" tanyanya.
"Tentu. Dia suamiku."
Haris menghela napas panjang. Matanya masih lekat menatap Hani. "Iya, semalam Bang Rahman yang di sini. Aku di rumah sama Dinda," jelasnya. "Puas?"
Haris tersenyum manis. Membuat Hani mau tak mau tertular tersenyum juga.
"Kamu enggak kerja?" tanya Hani akhirnya.
"Kerja. Jagain istri orang."
"Ish!"
"Kenapa? Iya, kan? Apa jangan-jangan kamu ngarep jadi istriku?" goda Haris sembari tersenyum jail.
"Ngaco!"
Haris terbahak.
"Teruslah seperti itu, Ris! Hatiku damai saat melihatmu ceria begitu," batin Hani.
Sepanjang hari, Haris mengajak Hani bercanda. Adik Rahman benar-benar mampu menaikkan imun Hani. Bisa jadi kemarin Hani sampai drop karena tidak ada dia di rumah. Seandainya Haris tidak pergi, mungkin Hani tak perlu dirawat di disini.
Habis maghrib, Rahman datang bersama Dinda. Gadis yang duduk di bangku kelas dua SD itu terlihat sedih.
"Mama cepat sembuh," ucap Dinda.
"Iya. Dinda doain Mama, kan?"
Anak berambut lurus itu mengangguk cepat.
"Semalam Dinda di rumah sama siapa?" Sengaja Hani bertanya. Siapa tahu Haris berdusta.
"Sama Om. Kan, Ayah di sini jagain Mama."
Haris menatap Hani seperti ingin berkata, "Huh! Enggak percayaan!"
"Jangan ngerepotin Om, ya!" pesan Hani.
"Iya, Ma."
Sampai pukul delapan, Rahman dan Haris berbincang ringan. Sedang Hani tiduran bersama Dinda.
Seandainya boleh, Hani ingin mereka semua menginap di sini. Namun, aturan rumah sakit hanya memperbolehkan satu orang yang menjaga.
Haris mengajak Dinda makan malam. Sementara Rahman menunggui Hani di ruangan.
"Bang!" panggil Hani.
"Hm." Mata Bang Rahman tak beralih dari televisi.
"Kemarin gimana aku bisa dibawa ke sini?" korek Hani. Ia ingin memastikan apa yang Haris katakan. Benarkah Bang Rahman tak peduli padanya?
"Haris enggak cerita?" tanya Rahman dengan malas.
"Cuma bilang aku pingsan."
"Ya, gitu."
"Ya gitu, gimana?" kejar Hani.
"Haris pulang, lihat kamu sudah pingsan."
"Terus?"
"Dia telepon abang."
"Terus?"
"Ya abang izin pulang."
"Udah, gitu aja?"
Bang Rahman menoleh kepada Hani. Manatap wanita yang berstatus menjadi istrinya itu. "Abang bingung, abang enggak pegang uang."
Lelaki itu menghela napas berat. "Abang enggak enak terus-menerus merepoti Haris. Dia juga punya banyak kebutuhan," imbuhnya.
Mata Rahman tampak menerawang. Bibirnya dimanyunkan.
"Abang tadinya mau bawa kamu ke puskesmas aja, atau kalau enggak, undang Bu Bidan Deden ke rumah. Tapi, Haris bersikeras bawa kamu ke sini."
"Oh, jadi tak sepenuhnya yang Haris katakan benar. Aku paham dengan kondisi Bang Rahman," batin Hani.
"Abang khawatir kamu kenapa-napa, akhirnya setuju saja. Tadi abang ngajuin pinjaman ke kantor. Semoga besok bisa disetujui. Enggak apa-apa, ya, beberapa bulan ini gaji abang enggak full?"
"Iya, Bang. Enggak apa-apa. Maafin aku ya, Bang."
"Enggak apa-apa."
Rahman kembali fokus ke televisi. Sementara, hati Hani menjadi lega. Hani tahu, di balik sikap dingin Rahman, dia tetap peduli padanya. Hanya saja memang pembawaannya dingin seperti kulkas. Berbeda dengan adiknya.
Beberapa saat kemudian, Haris dan Dinda kembali ke kamar. Mereka membawakan makanan untuk Rahman. Langsung saja, Rahman menyantapnya.
"Dek, nanti abang jadwal ronda. Kamu dijaga Haris enggak apa-apa, kan?" tanya Rahman setelah selesai makan.
Mendengar itu dada Hani terasa panas. "Apa rondanya enggak bisa diganti sama orang lain, Bang? Istri di rumah sakit masa malah ronda!" kesal Hani.
"Abang belum cari orang yang mau tukeran, Dek. Tadi begitu pulang langsung ke sini," jelas Rahman.
"Tapi, kan ...."
"Udah. Sama Haris juga, kan, sama aja. Malam gini tinggal tidur aja," ucap Rahman sepele.
Ingin rasanya Hani katakan kalau sebenarnya Haris suka kepadanya, tetapi itu tak mungkin. Bisa perang dunia ketiga nanti.
"Terus Dinda?" tanya Hani.
"Tadi abang sudah bilang sama Mbak Sanum buat tidur di rumah kita nemenin Dinda," jawab Rahman.
Bahu Hani terkulai lemas. Bagaimana bisa Rahman membiarkannya menghabiskan malam satu ruangan dengan laki-laki lain? Meskipun itu adiknya, tetapi tetap saja laki-laki.
"Ya, sudah. Abang pulang dulu, ya! Bentar lagi jam besuk habis," pamitnya. Kemudian mengulurkan tangannya untuk Hani cium.
"Dinda pulang dulu, ya, Ma!" pamit Dinda.
"Iya, hati-hati, ya!" Hani mencium kening Dinda.
"Titip Hani, ya, Ris!" ucap Rahman pada adiknya.
"Siap, Bang!"
Setelah mengucap salam Rahman dan Dinda keluar dari ruangan.
Habi mendengkus kesal. Sementara Haris tersenyum jail.
"Kenapa, Han?" tanya Haris sembari cengar-cengir.
"Tahu!" kesal Hani. "Aku ini kakakmu, panggil yang sopan!"
"Hehehehehe. Tapi aku lebih nyaman panggil kamu Hani. Tau gitu, dari dulu, ya?"
"Dasar!"
"Jangan marah-marah terus, Han. Nanti cepat keriput, loh!" goda Haris.
"Biarin. Emang aku udah tua!"
"Tua tapi menggoda. Hahahahaha. Bercanda, bercanda!"
Hani semakin menekuk wajah.
"Bang Rahman benar-benar keterlaluan. Kalau Haris nanti malam macam-macam saat aku tidur, bagaimana?" gerutu Hani dalam hati.
"Nanti malam kamu tidur di luar aja, Ris!" pinta Hani.
"Enggak! Dingin."
"Masa iya, kita satu ruangan?"
"Emang kenapa? Aku enggak akan macam-macam, Han. Aku cowok baik-baik." Kembali Haris tersenyum jail. "Kecuali ...."
"Apa?" bentak Hani sambil melotot.
"Duh, galak banget, sih!" Haris kembali terbahak. "Eh, kamu belum minum obat, ya?"
Haris langsung beranjak dari sofa menyiapkan obat untuk Hani.
"Kenapa bukan Bang Rahman tadi, sih! Apa-apa Haris, Haris, Haris, dan Haris. Bagaimana kalau aku benar-benar menjadi bergantung dengan dia?" gerutu Hani dalam hati lagi.
"Nih, diminum dulu." Haris mengangsurkan obat dan gelas berisi air putih kepada Hani.
"Aduh, hati-hati!" ucap Hani saat gelas yang ia terima hampir terlepas. "Tuh, kan, tumpah."
"Enggak apa-apa, nanti aku pel."
Hani melirik celana Haris sedikit basah. Kemudian ia meminum obat. Dari ujung mata Hani bisa melihat Haris memandanginya sambil duduk di kursi samping ranjang. Dada Hani jadi dag dig dug tak karuan.
"Udah?" tanya Haris setelah Hani minum obat.
Hani mengangguk dan memberikan gelas itu kembali pada Haris. Pemuda itu meletakkannya di nakas.
"Aku ambil pel dulu, ya!" pamit Haris.
Hani mengangguk.
Haris berdiri dari kursinya. Ia hendak melangkah, tetapi tiba-tiba ia seperti terpeleset. Kejadian itu sangat cepat. Hani bahkan tak sempat mengelak, hingga akhirnya wajah mereka begitu dekat dan kedua bibir mereka bertemu.
"Tuhan, apa ini?" tanya Hani dalam hati. Badan Hani menjadi panas dingin. Dadanya bahkan seperti mau meledak.
"Haris! Hani!"
Hani dan Haris terperangah saat melihat bariton yang sangat mereka kenal.
"Bang Rahman?" gumam Hani "Oh, Tuhan! Bagaimana ini? Suamiku itu bisa salah paham!"