Begitu Harus pergi dari kamar rawat Hani, Rahman menatap Hani penuh curiga. Laki-laki itu kini menuduh kalau istri dan adiknya telah bermain gila di belakangnya.
"Bang, kamu jangan salah paham!" pinta Hani. "Harus itu ngaco! Tolong, Bang, enggak usah kamu dengerin enggak usah kamu masukin hati!"
Namun, Rahman memilih diam tak menanggapi. Ia tidak tahu mana yang benar. Apa dugaannya atau penjelasan istrinya. Yang jelas, apa yang telah Harus ucapkan sangat melukai harga dirinya sebagai laki-laki.
Bahkan setelah Hani pulang dari Rumah sakit, hubungan Rahman dan Haris masih belum membaik. Mereka kini bagai api dalam sekam. Sedikit saja ada percikan, mereka akan kembali bertengkar.
Suasana rumah menjadi tak senyaman dulu. Haris jadi jarang di rumah. Ketika di rumah pun, ia lebih sering menghabiskan waktu di dalam kamarnya. Sikapnya pada Hani pun kini menjadi dingin. Tak ada candaan dan tak ada gurauan yang terdengar dari rumah mereka lagi.
Meskipun sesekali Haris tetap membeli makanan untuk Rahman sekeluarga, tetapi mereka tak pernah lagi makan bersama. Bahkan Rahman tak pernah lagi mau menyentuh makanan yang dibelikan adiknya itu.
Hanya Dinda yang masih bersikap biasa. Anak itu masih tampak manja dengan Haris. Ia pun tak segan minta ini itu pada omnya tersebut.
Sore itu nasi yang Hani masak tadi pagi telah habis. Karena tadi ada teman Rahman yang main ke rumah. Melihat burung-burungnya dan mereka menyuguhkan makan siang. Rahman bilang, temannya mau membeli burungnya satu ekor. Namun, ternyata tidak jadi.
Hani menghela napas panjang melihat tempat penyimpanan beras telah kosong. Bukan sekali dua kali sebenarnya. Akan tetapi, tetap saja rasanya menyesakkan saat uang di dompet menipis bahkan nyaris habi, beras, gas, dan kebutuhan lainnya pun ikut habis.
"Bang, beras kita habis," ucap Hani sembari mendatangi Rahman yang sedang menonton televisi.
"Uang kamu masih, kan?" tanya Rahman tak menoleh sedikit pun. Matanya masih fokus menatap televisi.
"Habis, lah, Bang. Biasanya sejuta lima ratus aja mepet banget, apalagi sekarang, sebulan cuma lima ratus ribu," jelas Hani.
"Ya, gimana lagi, Dek. Kita harus bayar utang juga." Rahman menghela napas berat. Karena memang gajinya saat ini harus dipotong untuk membayar utang untuk biaya rumah sakit Hani kemarin.
"Abang cari kerjaan sampingan, kek! Kalau gini terus, kita mau makan apa? Belum lagi uang saku Dinda. Masa iya Abang tega dia enggak jajan di sekolah!"
"Kerja apa, Dek? Pulang dari pabrik aja badan Abang udah capek banget."
"Kalau gini terus, kita mau makan apa?" kesal Hani. "Ini baru beras. Belum lauknya buat besok, belum gas, belum peralatan mandi dan yang lainnya."
"Kamu yang hemat, dong, Dek! Gimana caranya kamu pintar-pintar ngatur pengeluaran!"
"Yaelah, Bang! Uang lima ratus ribu mau diatur kayak gimana juga enggak bakal cukup buat sebulan!"
"Makanya, Dek, kamu jaga kesehatan. Udah tahu sakit itu biayanya mahal, pakai opname di rumah sakit segala. Di kelas yang mahal pula!"
Dada Hani kontan memanas mendengar perkataan Rahman itu. Di telingan Hani, seolah-olah Rahman tak ikhlas mengeluarkan uang untuk biaya berobat Hani beberapa hari lalu.
Memang dua belas juta untuk mereka bukanlah jumlah yang sedikit. Jumlah segitu sangat banyak. Bahkan, Rahman harus meminjam ke kantor yang akhirnya tiap bulan gajinya dipotong setengahnya selama setahun.
Namun, bukan berarti ia harus mengungkitnya seperti itu. Toh, bukan mau Hani juga untuk sakit. Hani juga ingin bisa selalu sehat. Sudahlah badan rasanya tak karuan, masih disalah-salahkan juga.
"Emang aku yang minta sakit? Aku juga inginnya sehat, Bang!" ucap Hani tak terima. Bahkan matanya kini telah berkaca-kaca.
"Ya, enggak gitu."
Hani menghela napas panjang. Dadanya terasa begitu sesak.
"Aku kerja aja, ya, Bang?" tanya Hani setelah terdiam beberapa saat.
"Kerja apa?" tanya Rahman. "Hari gini cari kerjaan itu susah."
"Buruh cuci atau setrika juga enggak apa-apa, Bang. Toh, di rumah biasa nyuci sama setrika juga."
"Janganlah, Dek! Abang malu sama tetangga kalau kamu sampai kerja kasar gitu. Dikiranya Abang enggak tanggung jawab."
"Kalau ngurusin malu, perut kita lapar, Bang! Emang mereka yang mau nyukupin kebutuhan kita kalau kita kekurangan?"
"Sabar dulu, lah, Dek! Cuma setahun, kok."
"Iya, kayaknya sebentar cuma setahun. Baru jalan belum ada setengah bulan aja udah mau enggak bisa makan gini!"
Hani menoleh saat terdengar pintu kamar Haris terbuka. Rupanya adik Rahman itu ada di rumah. Hani pikir Haris sedang keluar. Hani jadi merasa tidak enak sudah berbicara seperti itu sama Rahman. Karena Haris ternyata mendengar perbincangan mereka.
Haris berjalan mendekati abangnya. Kemudian dia menyerahkan sebuah amplop cukup tebal pada abangnya.
"Nih, Bang. Aku ada rezeki buat ganti biaya rumah sakit kemarin," ucap Haris sembari meletakkan amplop cokelat cukup tebal di hadapan Bang Rahman.
"Enggak usah, Ris!" tolak Hani.
Sementara Rahman tak merespon apa-apa. Melirik pun dia enggan.
"Enggak apa-apa, Han. Yang bawa kamu ke rumah sakit, kan, aku. Jadi aku yang tanggung jawab."
"Ris ...."
Pemuda itu mengacuhkan ucapan Hani. Kemudian Haris berlalu begitu saja keluar dari rumah. Setelah pintu depan tertutup rapat Hani menghela napas kasar.
"Gimana ini, Bang?" tanya Hani pada Rahman.
"Balikin aja!"
Hani tak berani membantah. Karena hubungan Rahman dan Haris masih belum membaik.
"Harusnya, sih, lumayan. Utang Bang Rahman di kantor bisa dilunasi. Kalau sudah tidak punya utang lagi, kan, jatah bulananku kembali seperti dulu. Tapi, gimana lagi. Ini menyangkut harga diri Bang Rahman sebagai suami." Hani membatin sembari memandangi amplop tersebut.
Malam sudah cukup larut malam ketika akhirnya Hani bisa tertidur. Berbagai pikiran berkecamuk dalam kepalanya. Mengenai suaminya ataupun Haris. Dan malam Haris tidak pulang. Hani tidak tahu Haris menginap di mana. Dan ini pun bukan kali pertama Haris tidak pulang sejak Hani pulang dari rumah sakit.
Pagi harinya saat Hani hendak membeli sayur dengan sisa uang bulanan dari Rahman, tampak di meja makan sudah ada ayam goreng lengkap dengan lalapannya. Nasi di magicom juga sudah matang. Hani pun buka kotak penyimpanan beras dan ternyata sudah terisi cukup banyak.
"Pasti Haris," gumam Hani. "Pulang jam berapa dia?"
Penasaran, Hani pun membuka kulkas. Lemari pendingin itu juga terisi dengan berbagai sayur.
"Makasih, Ris," ucap Hani sembari menatap sayuran yang tertata rapi di kulkas.
Pagi itu akhirnya Hani tak perlu memasak. Ia memilih langsung melakukan pekerjaan lainnya seperti mencuci baju, menyapu, mengepel, dan pekerjaan domestik lainnya.
Sampai Rahman dan Dinda berangkat, Haris belum juga keluar kamar. Belakangan ini memang kebiasaannya begitu. Ia keluar hanya saat perlu saja.
Karena ingin mengembalikan uang yang kemarin Haris beri, Hani pun mengetuk pintu kamar Haris.
"Ris!" panggil Hani.
"Masuk, Han! Enggak dikunci, kok," sahut Haris dari dalam kamar.
Ragu-ragu Hani membuka pintu kamar Haris. Hani masih berdiri di ambang pintu, menatap Haris yang sedang fokus menatap layar laptopnya.
"Kenapa? Kangen?" goda Haris sembari beralih menatap Hani. Seperti biasa, bibir ranumnya tersenyum lebar.
"Ah, sudah lama sekali aku tak melihatmu seperti ini, Ris!" Hani membatin.
"Apaan, sih!" sungut Hani. Padahal dalam hati ia bahagia sekali. Seperti tanah gersang yang diguyur hujan semalaman.
"Masuk aja! Pamali berdiri di depan pintu," ucap Haris.
Hani pun menurut, kemudian ia duduk di tepi ranjang Haris.
"Aku minta maaf, ya, Ris! Gara-gara aku, kamu sama Bang Rahman jadi ...."
"Hus! Ngomong apa, sih, kamu!" potong Haris. "Bang Rahmannya aja yang negatife thinking gitu."
"Wajar, lah. Orang cinta pasti cemburu," timpal Hani.
"Percaya!" sungut Haris.
"Ris, Bang Rahman enggak bisa nerima uang dari kamu. Dia nyuruh aku buat balikin ke kamu." Hani mengangsurkan amplop cokelat yang kemarin sore Haris berikan pada Rahman.
"Ya, udah, buat kamu aja kalau dia enggak mau. Lagian dia lagi butuh uang gitu, sok-sokan nolak rezeki. Pamali, tahu!"
"Wajar, Ris. Dia mempertahankan harga diri. Apalagi buat biayai istri."
"Ck! Mana ada orang kayak gitu ungkit-ungkit pemberiannya? Sampai kamu sakit disalah-salahin. Aku enggak terima, Han! Kalau aku punya hak sama kamu, aku pasti udah gampar mulut abangku itu."
"Ris ...."
"Bukannya apa, Han. Orang sakit kok disalah-salahin? Dia pikir, kamu sakit kemauan kamu?"
"Udah, deh! Ngapain bahas itu."
"Terus mau bahas apa? Kita?" goda Haris lagi.
"Ish!" sungut Hani.
Pemuda itu malah tergelak. Haris memang sangat bahagia saat menggoda Hani seperti itu.
"Ini, ya, Ris, uangnya aku taruh di sini. Makasih juga udah dibelanjain."
Hani beranjak dari ranjang Haris. Tak ingin lama-lama di kamar pemuda itu.
"Han!" panggil Haris saat Hani hendak melangkah.
"Apa?"
"Itu uang buat kamu."
"Makasih, Ris. Tapi, aku enggak bisa nerima."
"Mau kayak suamimu? Enggak baik, loh, nolak rezeki," ucap Haris lagi.
"Bukan gitu, tapi ...."
"Tapi apa?" Haris meraih pergelangan tangan Hani. "Duduk sini!" Haris menepuk bibir ranjangnya. Kemudian menarik lengan Hani sehingga ia duduk di sebelah Haris.
"Apaan, sih, Ris?" protes Hani. Ia takut kalau-kalau Rahman tiba-tiba datang. Karena Rahman pasti akan salah paham lagi kalau melihat Hani berada dalam kamar Haris seperti ini.
"Kamu pakai uang ini buat modal usaha, ya!" pinta Haris sembari meletakkan amplop tebal itu pada telapak tangan Hani. "Kamu harus mandiri, Han. Kamu enggak bisa terus-terusin ngandalin abangku. Dia enggak bisa kamu andalin seratus persen."
"Tapi, Ris!"
"Dengar dulu!" Haris menatap Hani dalam. "Aku enggak bisa terus numpang di sini. Apalagi hubunganku dengan Bang Rahman seperti itu. Aku mau pergi, Han. Makanya kamu harus mandiri!"
"Kamu mau tinggal dimana?"
"Enggak usah dipikir dimana aku tinggal. Banyak kamar kost, banyak rumah dikontrakan. Yang aku pikirkan itu kamu, Han."
Haris mengambil kedua jemari Hani. Hani pun jadi terbawa suasana.
"Kamu gimana kalau aku enggak di sini?" tanya Haris.
"Aku ... aku ...." Hani bingung harus menjawab apa. Karena ia cukup kaget dengan apa yang Haris sampaikan.
"Jujur, dari kemarin aku mikir keras, Han. Aku enggak tega ninggalin kamu di sini. Ah, seandainya kamu ...." Haris menggelengkan kepalanya.
"Aku enggak sendiri, Ris. Ada Bang Rahman, ada Dinda."
"Kamu tahu, yang aku khawatirkan bukan itu, Han."
Haris menatap Hani dengan mata berkaca-kaca. "Kamu bisa kalau aku pergi?"
Hani hanya bisa balas menatap Haris. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Karena buat Hani hal itu terasa ... cukup berat.
Sebelah tangan Haris kini memegang bahu Hani. "Makanya, kamu harus merintis usaha, Han. Buka warung kecil-kecilan enggak apa-apa, atau kamu mau jahit juga bisa. Apa kamu mau buka loundry? Kamu pikirkan ingin usaha apa, nanti aku siapin semuanya. Kamu harus sukses! Karena abangku enggak bisa kamu andalkan."
"Ah, Haris. Hatiku meleleh sekarang. Aku harus bagaimana?" batin Hani.
"Kamu simpan aja uang ini. Enggak usah kasih tahu abangku enggak apa-apa. Oke?"
Hani hanya bisa menatap Haris dengan mata berkaca-kaca. Ingin rasanya ia memeluk pemuda yang ada di depannya itu. Namun, itu tak mungkin.
"Kenapa kamu baik banget sama aku, Ris?" Entah bagaimana, pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir Hani.
Haris menatap Hani dalam. "Kamu mau tahu jawabannya?"
Hani menggangguk.