"Karena kamu istimewa, Han. Enggak banyak wanita kayak kamu. Kamu kuat, kamu tabah, enggak pernah ngeluh, marah-marah sama abangku walaupun dalam kondisi kekurangan. Kamu beda, Han. Kamu luar biasa," ucap Haris panjang lebar sembari menatap Hani dengan serius.
"Enggak, Ris. Aku biasa aja. Aku juga sering marah-marah sama abangmu," sanggah Hani. Ia tak mau Haris menilainya terlalu baik. Karena Hani pun hanya manusia biasa, tentu banyak sekali kekurangan.
"Enggak, Han. Kamu beda," tegas Harus. "Bang Rahman pernah cerita soal Ibu?"
"Cerita yang gimana?" tanya Hani bingung. Rahman memang jarang cerita masalah orang tuanya kepadanya.
"Ibuku beda banget sama kamu, Han," ucap Haris. Pemuda itu menatap ke depan seolah-olah sedang menerawang. "Waktu kecil, aku ingat banget. Ibu hampir setiap hari marah-marah sama Bapak. Bahkan sampai banting barang-barang," kenang Haris.
"Kenapa bisa gitu?" tanya Hani yang baru mendengar cerita tentang almarhum kedua mertuanya.
"Karena Bapak persis Bang Rahman," ucap Haris sembari tersenyum miris.
"Maksudnya?" tanya Hani tidak mengerti dengan maksud ucapan adik iparnya itu.
"Bapak tahunya cuma berangkat ngojek, Han. Enggak peduli di rumah kebutuhan tercukupi apa enggak. Karena sering kurang, sering kehabisan beras, enggak bisa bayar listrik, dan lain-lainnya, Ibu tiap hari marah-marah. Aku dulu sampai takut, loh, Han, sama perempuan." Haris tersenyum getir. Ingatan tentang masa kecilnya begitu buruk. Sehingga ia sedikit takut dengan perempuan.
Hani merasa miris mendengar kisah adik iparnya itu. Ia tidak menyangka kalau hidup mertuanya dulu seperti itu. Rahman bahkan sama sekali tidak pernah menceritakan perihal itu kepadanya.
"Dulu aku pikir semua perempuan seperti Ibu," ucap Haris sembari tersenyum miris. "Apalagi saat aku terjun di dunia fotografi. Aku ketemunya sama wanita-wanita dengan gaya hidup hedonis. Jadi, aku sama sekali enggak tertarik berhubungan sama mereka. Mau mereka secantik bidadari pun, di mataku tetap menyeramkan."
Haris tertawa sumbang memikirkan wanita-wanita yang selama ini ada di sekelilingnya.
"Tapi, terbukti, kan, enggak semua perempuan seperti itu," ucap Hani. Ia berusaha agar penilaian adik iparnya itu terhadap perempuan tak seburuk itu. Bagaimanapun Hani ingin Haris memiliki masa depan yang bahagia bersama wanita pilihan hatinya. Rasanya miris saat mendengar Haris tidak tertarik dengan teman-teman wanitanya selama ini.
"Iya. Kamu salah satunya," ucap Haris sembari tersenyum menatap Hani. "Beruntung abangku menikahi kamu. Walaupun kamu yang rugi."
"Enggak, lah, Ris! Aku bahagia, kok, jadi istri abangmu," bantah Hani meski dalam hati ia memang mengakui bahwa ia sering dikecewakan oleh sikap masa bodoh Rahman.
"Iya, soalnya kamu bucin! Bucin sama bodoh itu tipis banget, loh, Han, bedanya," ucap Haris sembari tersenyum lebar. Dalam hati ia berandai-andai. Seandainya ia yang lebih awal bertemu Hani, tentu ia akan memperlakukan wanita yang kini duduk di sebelahnya ini dengan baik tidak seperti abangnya.
"Jadi aku bodoh, nih?" canda Hani.
Haris tergelak. "Hani, Hani, kamu lucu banget, sih? Ah, seandainya ...." Haris sengaja tidak meneruskan kalimatnya.
"Apa? Kenapa enggak dilanjut?" tantang Hani.
"Enggak, lah, enggak apa-apa," jawab Haris sembari menatap Hani dalam.
Ditatap seperti itu, jantung Hani pun kontan berdegup tak karuan.
"Ris, jangan menatapku begitu!" pinta Hani dalam hati.
"Ya udah, Han. Pokoknya sekarang kamu harus pikirin mau buka usaha apa. Kamu udah punya keputusan, langsung bilang aja. Nanti aku siapin semuanya," ucap Haris kembali membahas keinginannya tadi.
"Kamu beneran mau pergi dari sini?" tanya Hani sembari menahan sedih.
"Kenapa? Kamu pinginnya aku tetap di sini?"
Hani tak menjawab. Walaupun dalam hati ia berkata, "Iya".
Hani benar-benar tak bisa membayangkan saat Haris sudah tak di sini lagi. Hani takut, kalau ia ternyata merindukan adik iparnya itu. Hani takut pada perasaannya sendiri.
"Kok diam?" tanya Haris.
"Ya, terserah kamu, Ris. Kamu udah dewasa. Kasihan juga kalau kamu terus-terusan di sini. Kamu bakal susah nabung buat nikah," ucap Hani berlawanan dengan kata hatinya.
"Bukan masalah itu, Han. Sama aja, di sini juga aku tetap bisa nabung, kamu tenang aja. Hanya saja, seperti tadi yang sudah aku bilang, hubunganku dengan abangku kamu tahu sendiri, lah. Bakal lebih baik kalau aku enggak di sini lagi," jelas Haris.
Hani mengangguk setuju. Hubungan Haris dan Rahman memang masih belum membaik. Dan Haris benar, yang terbaik ia memang pergi dari sini. Walaupun dalam hati Hani tak rela. Hani ingin Haris tetap ada di sini.
"Makanya, Han. Kamu harus buka usaha, ya! Aku yakin kamu bisa," dukung Haris.
"Nanti aku bicarakan dulu sama abangmu," jawab Hani. "Karena bagaimanapun, Bang Rahman suamiku. Apapun yang akan aku lakukan harus seizinnya."
"Iya, semoga pikiran Bang Rahman terbuka," ucap Haris.
"Ya udah, ini uangnya aku balikin ke kamu dulu, kalau nanti Bang Rahman setuju, baru aku pakai buat modal."
"Bawa aja, Han. Soal modal gampang, nanti aku yang siapin. Ini uang buat kamu, sebagai ganti gaji abangku yang harus kepotong."
"Enggak, Ris! Ini banyak banget," tolakku.
"Enggak apa-apa. Udah, enggak boleh nolak rezeki!"
Hani hanya bisa menatap Haris tanpa bisa berkata-kata lagi.
"Kalau kamu mau, ayo, aku antar kamu belanja sekarang! Beli baju, beli sandal, tas, kayak perempuan-perempuan kebanyakan," ucap Haris.
Hati Hani benar-benar tersentuh. Karena selama ini ia memang jarang sekali membeli baju. Jangankan beli baju, kebutuhan rumah tercukupi saja ia sudah sangat bersyukur.
Hani bisa punya baju baru itu biasanya kalau Haris dari luar kota. Pulangnya ia akan belikan baju untuk Hani sekeluarga. Kalau bukan dari Haris, tidak pernah ada baju baru kecuali lebaran.
"Enggak, lah, Ris. Bajuku udah banyak," tolak Hani. Ia tidak tega menghambur-hamburkan uang dari Haris. Pemuda itu pasti mengumpulkannya sedikit demi sedikit. Meskipun Hani tak tahu berapa bayaran Haris sebagai seorang fotografer.
***
Usai makan malam bersama Dinda dan Rahman, Hani merapikan dapur. Setelahnya, ia menemui Rahman untuk membicarakan saran Haris tadi.
Lelaki itu seperti biasa sedang menonton televisi. Sedang Dinda di kamar sedang belajar. Haris sendiri, sejak sore sudah pergi. Pemuda itu biasanya pulang saat Hani dan Rahman sudah tidur. Haris seolah-olah menghindar dari abangnya itu. Karena saat bersama pasti ada saja yang membuat mereka berdebat. Berbeda sekali dengan dulu.
"Bang!" panggil Hani sambil duduk di sebelah Rahman.
"Hm." Seperti biasa, mata Rahman tak bisa lepas dari televisi.
"Kalau aku buka usaha, gimana, Bang?" tanya Hani hati-hati.
Lelaki itu langsung menoleh. "Buka usaha?" tanya Rahman. "Modal darimana? Yang namanya usaha itu butuh modal, Dek! Jangan ngaco, deh!"
"Haris enggak mau nerima uang itu, Bang. Dia nyuruh ...."
"Oh, Haris!" seru Bang Rahman. "Belum apa-apa sudah sok kaya! Sini mana uangnya?" Rahman tidak suka sekali dengan sikap sok pahlawan dari adik kandungnya sendiri. Ia tidak suka Haris terlalu banyak ikut campur dalam rumah tangganya.
"Tapi, Bang, ini kan buat kebaikan kita juga."
"Oh, kamu lebih nurut sama dia daripada suamimu sendiri?" bentak Rahman.
"Bukan gitu, Bang," bantah Hani.
"Udah! Mana uangnya?"
Terpaksa Hani mengambil uang pemberian Haris dan menyerahkannya pada Rahman.
"Ini, Bang." Hano menyerahkan amplop tersebut.
Rahman pun mengambilnya dengan kasar. "Telpon dia suruh pulang! Bilang, aku mau bicara!"