Secepat kilat Hani langsung mendorong dada Haris. Hani sangat takut Rahman akan marah melihat ia dan Haris. Bagaimanapun Hani tak mau Rahman salah paham dan bermusuhan dengan adiknya.
Sementara Haris berkali-kali menggaruk leher belakangnya. Pemuda itu tampak salah tingkah sembari memandang abangnya.
Wajah dan mata Rahman tampak memerah. Dadanya naik turun dan tangannya mengepal. Seolah siap bertarung dengan adik kandungnya.
"Bang, ini ... enggak seperti yang Abang lihat," ucap Haris sambil melangkah pelan mendekati abangnya.
Sementara Rahman masih mematung di ambang pintu. Matanya masih melotot tajam menatap adik kandungnya itu.
"Keterlaluan kalian!" geram Rahman sembari menatap tajam pada Hani dan Haris.
"Bang, dengar dulu! Aku ... aku terpeleset," jelas Haris. "Aku terpeleset dan tak sengaja ...."
"Diam!" bentak Rahman. Tatapan matanya menghunus dada Haris. "Pergi kamu dari sini!" usir Rahman tanpa mau dibantah.
"Bang, tolong! Dengarkan dulu!" bujuk Haris. Ia tidak mau abangnya salah paham dan abangnya itu akan marah pada Hani yang masih sakit.
"Pergi! Aku enggak mau melihat wajahmu lagi!" seru Rahman sembari mengacungkan jari telunjuknya ke arah pintu.
"Bang, ini benar-benar kecelakaan!" Haris masih berusaha menjelaskan pada Rahman. Namun, lelaki yang kini mengenakan jaket hitam ini sudah menutup telinga. Mengingat apa yang tadi dilihatnya dengan mata kepala sendiri.
"Pergi! Jangan sampai aku berbuat kasar sama kamu!" ancam Rahman.
Haris menjatuhkan bahu. Pemuda itu mengalah. Ia tak mau ribut dengan abangnya. Haris kembali ke sofa mengambil jaket dan kunci motornya.
Sebelum pergi, Haris menatap Hani dalam-dalam. Kemudian ia berkata, "Maaf, ya!"
Hani mengangguk, "Pergilah!"
Haris menatap Hani dengan lekat, kemudian melangkah menuju pintu. Ketika posisinya tepat di samping Rahman dia berhenti. Kemudian berkata, "Kamu salah paham, Bang. Aku harap, kamu tidak gegabah pada Hani!" ucap Haris. Kemudian menepuk pundak abangnya dan berlalu pergi.
Kini dada Hani berdebar tak karuan. Lebih dari sebelumnya. Hani takut Rahman marah dan sampai menuduhnya yang tidak-tidak, bahkan melakukan hal yang fatal akibat emosi yang saat ini menderanya.
Namun, lelaki berpenampilan sederhana itu masih mematung di ambang pintu. Tanpa mau menatap Hani.
"Bang!" panggil Hani akhirnya.
Lelaki itu merespon dengan menghembuskan napas kasar. Namun, belum juga menatap istrinya.
"Haris benar, dia terpeleset," jelas Hani. "Enggak mungkin adikmu macam-macam sama aku."
Hani berusaha meyakinkan Rahman. Meskipun ia tahu, yang ia ucapkan dusta belaka. Namun, Hani tak mau hubungan Rahman jadi buruk dengan adik kandungnya.
Bagaimanapun mereka hanya memiliki satu sama lain. Kedua orang tuanya sudah tiada. Jadi, Hanu tak mau hanya gara-gara salah paham membuat hubungan mereka buruk.
Rahman mulai bergerak. Ia menutup pintu kemudian berjalan menuju sofa. Tanpa kata.
Dia membanting tubuhnya dengan keras. Sehingga sampai terlihat tubuhnya memantul. Ia meraup kasar wajahnya. Tanpa Hani tahu, apa yang sedang dipikirkan suaminya.
"Dinda dimana?" tanya Hanu. Karena Hani menduga, Rahman kembali ke sini karena ada sesuatu. Bukan berniat untuk menjaganya malam ini.
Rahman langsung menoleh ke arah Hani. Tanpa menjawab, ia langsung berkata, "Aku turun dulu!"
Bergegas Rahman meraih ponselnya di sofa, kemudian melangkah lebar keluar dari kamar.
"Oh, jadi hape Bang Rahman ketinggalan," batin Hani.
Selepas Rahman pergi, bayangan peristiwa beberapa menit lalu berputar di depan mata Hani. Meskipun itu hanya kecelakaan, tetapi tetap saja Hani sampai panas dingin. Hani benar-benar merasakan debaran yang selama ini belum pernah ia rasakan.
"Ah, Haris. Bagaimana kalau ternyata aku juga jatuh cinta sama kamu? Bagaimana pernikahanku? Abangmu? Juga anakku?" Hani bermonolog dalam hatinya sendiri.
"Huh! Ini tak boleh terjadi!" tekad Hani.
Bagaimanapu ia tidak akan tega menyakiti Rahman. Sedang selama ini, walaupun sikapnya sedingin salju, Hani tahu kalau sebenarnya Rahman sayang dan cinta padanya. Buktinya tadi. Dia terlihat begitu marah. Dia pasti cemburu.
Namun, belakangan ini, kepala dan dada Hani selalu dipenuhi dengan Haris. Wajahnya, senyumnya, tingkahnya. Ah, hanya beberapa jam saja tak melihatnya, Hani seperti orang yang sedang menanggung rindu.
"Aduh, benar-benar tak tahu malu!" gerutu Hani dalam hati.
Selang beberapa menit, Rahman kembali ke ruangan Hani bersama Dinda. Anak itu tersenyum lebar melihat ibunya.
"Kata Ayah, Dinda nginep di sini, Ma!" serunya dengan wajah ceria. Bertolak belakang dengan ayahnya. Wajah yang saat tak marah saja dingin, apalagi saat marah. Beku.
"Ya, sudah. Dinda mau di sini sama Mama atau di bawah sama Ayah?" tawar Hani.
Anak itu menoleh pada ayahnya. Menatap wajah beku ayahnya untuk meminta persetujuan.
"Di bawah saja sama Ayah," ucap Rahman akhirnya.
Rahman langsung membuka sofa lipat. Sementara Dinda berdiri menunggunya.
Mereka menoleh ke arah pintu saat pintu diketuk. Ternyata dua orang perawat jaga yang hendak mengecek Hani.
Melihat di sini ada Dinda yang sudah rebahan, perawat itu mengingatkan.
"Maaf, ya, Pak, Bu, anak di bawah 12 tahun tidak boleh ikut menunggu pasien. Apalagi sampai menginap," ucap salah seorang perawat tersebut.
"Iya, Pak, Bu, sebaiknya adik dititipkan dulu sama kerabatnya," imbuh perawat satunya.
Hani dan Rahman saling berpandangan. Namun, mau tak mau mereka harus mematuhi peraturan yang ada. Apalagi ini memang untuk kebaikan Dinda.
Setelah mengganti botol infus Hani dengan yang baru, kedua perawat itu pamit keluar.
"Gimana, Din?" tanya Rahman pada Dinda. Lelaki itu masih marah pada Hani. Itu sebabnya ia memilih langsung bertanya pada Dinda.
Dinda yang kini duduk bersila menatap Hani. Ia kasihan jika ibunya harus bermalam di rumah sakit sendiri.
"Kalian pulang aja, enggak apa-apa," ucap Hani tak mau egois.
"Tapi, kalau Mama butuh apa-apa, gimana?" tanya Dinda.
"Ini, kan, udah cukup malam. Tinggal tidur aja. Besok pagi baru kalian ke sini," ucap Hani menenangkan Dinda.
"Enggak apa-apa di sini sendiri?" tanya Rahman. "Soalnya Sanum pasti sudah tidur jam segini. Enggak enak kalau bangunin dia."
"Iya, enggak apa-apa," jawab Hani. Sebenarnya Hani ingin bilang, biar Dinda di rumah sama Haris, lalu Rahman kembali ke sini. Namun, Hani takut menyebut nama Haris. Takut memancing amarah Rahman lagi.
Akhirnya setelah bermusyawarah mereka berdua pamit pulang.
Kini, Hani benar-benar sendirian di ruang perawatan itu. Begitu suara langkah kaki Rahman dan Dinda menghilang, Hani mulai merasa gelisah.
Hani sangat takut sendirian di sini. Memikirkan kalau ruangan ini pernah dihuni pasien yang meninggal. Bahkan bed yang ia tiduri pun, kemungkinan bekas ditiduri orang yang meninggal.
Jiwa penakut Hani meronta-ronta. Bahkan ia sampai mengeluarkan keringat dingin.
"Bagaimana malam ini aku bisa tidur sedang pikiran kemana-mana?" gerutu Hani.
Hani kemudian naikkan volume televisi, tetapi kembali ia turunkan karena takut mengganggu pasien lain.
"Tapi, apa di ruang sebelah dihuni orang juga? Belum tentu, kan?" Hani bermonolog sembari menoleh ke arah samping.
"Jangan-jangan ... kanan kiriku kamar kosong!" lanjutnya membuat dia tambah ketakutan.
Kontan Hani menarik selimut yang ia pakai sampai menutupi kepala. Matanya ia pejamkan dengan rapat. Namun, lama-lama terasa panas. Akhirnya Hani membukanya.
Entah sampai berapa lama Hani berkali-laki mencoba memejamkan mata, kemudian membuka kembali. Terus seperti itu sampai alisnya terasa sakit.
"Tuhan, bantu aku agar bisa tidur!" Hani berdoa dalam hati.
Hani menoleh pada jam di dinding. Sudah pukul sebelas lewat. Sebentar lagi tengah malam dan ia belum tidur!
"Bagaimana kalau .... Haaa! Aku takut! Haris! Eh, kenapa aku mengharapkan dia? Sadar, Han! Sadar! Kamu istri abangnya!" Hani dengan kacau membatin sendiri.
Lalu tiba-tiba terdengar suara handel pintu dibuka membuat Hani semakin ketakutan. Ia langsung memejamkan matanya dengan rapat lalu berteriak, "Siapa?"
"Hantu, jauh-jauh kamu!" batin Hani.
Ia masih memejamkan mata dengan rapat. Lalu mengintip sedikit untuk memastikan siapa yang datang. Karena pertanyaannya tidak dijawab.
"Kan, dugaanku benar! Kamu pasti ketakutan. Hahahahaha!" Suara yang begitu Hani kenal menguapkan rasa takutnya seketika.