Sampai malam hari, Haris tak juga kembali ke rumah abangnya. Pemuda itu kecewa pada dirinya sendiri. Di saat Hani sakit seperti itu, bahkan dokter menyarankan untuk rawat inap, tetapi ia tak bisa melakukan apa-apa. Haris merasa dirinya sangat tidak berguna.
Haris memutuskan untuk menginap di kamar kost-nya yang selama ini ia jadikan studio foto. Pemuda itu sengaja melarutkan diri dalam pekerjaan agar tidak terus menerus memikirkan Hani dan rasa bersalahnya.
Bukankah bekerja adalah cara paling efektif untuk mengalihkan pikirannya dari segala hal yang mengganggu?
Sementara Hani sejak kepergian Haris, terus memasang telinga untuk mengetahui kepulangan adik iparnya itu. Namun, sampai Rahman dan Dinda pulang, bahkan sampai malam, tak ada tanda-tanda kepulangan Haris. Wanita itu kemudian memilih bangkit dari tempat tidur.
Sembari menahan pusing dan lemas ia membereskan dapur. Karena kalau tak langsung dibereskan malam ini juga, keesokan harinya, bekas tikus berpesta terlihat di mana-mana. Jadi meskipun badan Hani sangat lemas bahkan terasa mau pingsan, ia memaksakan untuk membersihkannya.
Di saat seperti itu, Hani kembali mengingat Haris. Biasanya Haris yang membantunya mengerjakan pekerjaan rumah. Bahkan saat Hani sakit belakangan ini, Haris yang melakukan semua pekerjaan rumah. Namun, malam ini Haris tak juga kembali.
"Kemana kamu, Ris?" tanya Hani dalam hati. Di kepalanya pikiran tentang Haris terus-menerus berkecamuk. Hani ingin Haris segera pulang. Entah mengapa rasanya ia merindukan saat-saat membereskan rumah bersama Haris.
Hani tahu ia salah telah merindukan adik iparnya sendiri. Namun, ia sendiri bahkan tidak bisa mengontrol apa yang terjadi dengan hatinya. Mungkin benar jika cinta memang bisa datang karena terbiasa.
Sedangkan selama ini, Hani hampir setiap hari melalui hari bersama Haris. Membereskan pekerjaan rumah selalu bersama adik iparnya itu. Hani pikir ia hanya merindukan kebersamaan dengan adik iparnya itu. Bukan rindu layaknya sepasang kekasih.
"Ma, aku boleh tidur sama Mama?" tanya Dinda sembari mendekati mamanya yang sedang mencuci piring.
Hani yang pikirannya sedang penuh dengan Haris sampai tak mendengar pertanyaan putri semata wayangnya.
"Ma! Kok, enggak jawab, sih?" kesal Dinda karena mamanya tak juga meresponnya.
"Eh, kenapa, Din?" Hani terkejut oleh tepukan putrinya pada punggungnya.
"Ih, Mama ngelamunin apa, sih!"
"Enggak, kok. Mama cuma sedikit pusing aja," dusta Hani.
"Ya udah, Mama enggak usah cuci piring, biar besok Dinda aja."
Hani menoleh sembari tersenyum ke arah Dinda. Ia tak menyangka dengan perhatian yang diberikan Dinda.
"Enggak apa-apa, kok. Bentar juga beres," ucap Hani menenangkan Dinda. "Dinda kenapa belum bobo?"
"Aku mau bobo sama Mama. Boleh?"
Hani menautkan kedua alis. "Kenapa?" tanya Hani kemudian. Karena memang tak biasanya Dinda meminta tidur bersamanya.
"Kasihan, Mama kan sakit. Aku mau temani Mama," jawab Dinda. "Ayah, kan, biasanya ketiduran di depan tivi. Masa Mama sakit tidur sendiri, sih? Biasanya kalau Dinda yang sakit, juga Mama selalu temani Dinda."
Hani tertegun mendengar jawaban Dinda. Wanita itu benar-benar tidak menyangka jika ternyata putrinya selama ini mengamati kebiasaannya dan Rahman. Memikirkan itu, Hani merasa perlu bicara dengan Rahman. Ia tak ingin putrinya mendapat contoh tidak baik dari kedua orang tuanya.
"Boleh, Ma?" tanya Dinda lagi karena Hani tak menjawab perkataannya.
"Boleh," jawab Hani sembari menganggukkan kepala.
"Yey!" sorak Dinda kegirangan.
Hani tersenyum melihat reaksi Dinda.
Karena merasa begitu lemas dan pusing, walaupun belum selesai mencuci piring, Hani memutuskan mencuci tangan dan duduk di meja makan.
"Din, tolong panggilin Ayah, ya!" pinta Hani sembari memijat pelipisnya.
"Iya, Ma." Dinda berlari memanggil ayahnya. Setelahnya gadis sembilan tahun itu langsung menuju kamarnya untuk mengambil boneka yang selalu jadi teman tidurnya, kemudian menuju Hani dan Rahman.
Setelah diperintah Dinda, Rahman dengan malas meninggalkan acara televisi yang sedang ditontonnya menuju dapur.
"Ada apa?" tanya Rahman setelah melihat Hani yang sedang duduk sembari mimijat pelipisnya.
"Bang, aku minta tolong cucikan piring, ya! Aku pusing dan lemas sekali," pinta Hani setengah memohon.
"Kerjain besok aja! Sekarang kamu tidur dulu!" perintah Rahman tak mau memehuni permintaan istrinya.
"Hm, sama aja. Besok pun aku yang nyuci," gerutu Hani karena Rahman sama sekali tak mau membantunya sekadar mencuci piring.
"Seenggaknya kalau besok kamu udah enggak lemas. Lagian ngapain dipaksa harus sekarang kalau kondisi enggak memungkinkan?" ketus Rahman.
"Tikus, Bang. Tikus!" kesal Hani. "Bakal pecah semua besok pagi piring-piringnya."
"Enggak akan." Rahman pergi begitu saja kembali menonton televisi tanpa memedulikan Hani lagi.
"Dosa kali, ya, kalau dia membantu pekerjaan rumah!" gerutu Hani setelah Rahman tak kelihatan lagi. Ia kesal sekali pada suaminya itu.
Akhirnya Hani menuruti perintah Rahman. Hani merasa sudah tak sanggup menyelesaikan pekerjaannya. Untuk berdiri kepalanya begitu pusing dan perutnya terasa mual. Segera Hani kembali ke kamar dan tidur bersama Dinda.
Keesokan paginya Hani bangun dengan tubuh yang semakin lemas serta tulang-tulangnya pegal semua. Demamnya juga semakin tinggi. Bahkan ia sampai menggigil kedingingan dan tak sanggup untuk bangun dari tempat tidur.
"Ma, Mama panas sekali," ucap Dinda yang sudah bangun. Anak itu duduk bersila di samping Hani. Tangannya terulur memegang kening mamanya.
Sementara Hani tak sanggup menjawab dan berkata-kata. Ia benar-benar lemas dan merasa kedinginan. Padahal Hani sudah memakai dua jaket dan selimut tebal.
"Aku panggil Ayah ya, Ma," ucap Dinda. Kemudian turun dari tempat tidur untuk memanggil ayahnya.
Begitu pintu kamar terbuka, terlihat Rahman masih pulas di sofa dengan televisi masih menyala.
"Yah, bangun!" seru Dinda. "Yah!" Gadis itu menggoyang-goyangkan tubuh ayahnya yang masih tertidur pulas. "Yah, bangun!" ulang Dinda berkali-kali sampai Rahman akhirnya membuka kedua bola matanya.
"Ada apa, sih, Din?" tanya Rahman sedikit kesal karena merasa tidurnya terganggu.
"Mama, Yah. Mama!" Dinda bingung harus menjelaskan kondisi mamanya bagaimana pada ayahnya.
"Kenapa emangnya?" Rahman masih acuh tak acuh pada ucapan putrinya.
"Badan Mama panas banget, Yah. Ayo, lihat Mama dulu!" Dinda akhirnya menyeret tangan ayahnya untuk melihat kondisi Hani.
Hani menoleh ke arah pintu saat mendengar suara pintu dibuka. Entah mengapa ia mengharapkan Haris yang datang ke kamarnya. Ia teringat saat Haris memijatnya kemarin. Ia butuh perhatian dan kasih sayang seperti itu saat ini. Namun, Rahman dan Dindalah yang datang.
Dinda langsung duduk kembali di samping Hani sementara Rahman hanya berdiri di samping ranjang tanpa berniat menyentuh kening Hani sama sekali
"Kamu sarapan dulu terus minum obatnya," ucap Rahman tanpa ada rasa khawatir sedikit pun kemudian keluar kamar lagi.
Di saat seperti ini, Hani merasa benar-benar nelangsa. Ia ingin Rahman meski sekadar basa-basi menyentuh keningnya atau membetulkan posisi selimutnya atau bisa juga memijatnya yang saat ini tubuhnya begitu terasa pegal. Namun, yang ia dapat hanya ucapan dengan nada dingin dan tak peduli.
Sekali lagi, Hani jadi kembali mengharapkan kehadiran Haris.
"Apa dia belum pulang?" tanya Hani dalam hati.
Sementara Rahman mengambilkan sepiring nasi putih dan lauk sisa semalam tanpa memanasinya terlebih dahulu. Lelaki itu kemudian kembali ke kamar dengan nampan berisi nasi tersebut beserta segelas air putih.
"Nih, makan dulu!" pinta Rahman seraya menyerahkan piring itu pada Hani begitu saja. Ia bahkan tak peduli posisi Hani yang masih terbaring kedinginan. Di mata Rahman, saat ini Hani yang sedang bersikap manja dan Rahman sangat tidak suka.
Terpaksa Hani akhirnya beringsut untuk duduk dan menerima nampan tersebut dengan dibantu Dinda. Meski sebenarnya tubuhnya masih menggigil kedinginan.
Mencium aroma nasi putih di depannya, perut Hani seperti dikocok-kocok.
"Huekk!" Wanita itu sangat mual dan ingin memuntahkan isi perutnya. Namun, karena ia belum makan apa-apa, tak ada yang keluar dari mulutnya.
"Aku mual, Bang. Nanti aja makannya," ucap Hani lemah sembari memegangi perutnya dengan sebelah tangannya.
Dinda kemudian mengambil alih nampan itu dan menaruhnya di nakas. Gadis itu sangat khawatir melihat kondisi mamanya.
Berbeda dengan Rahman. Ia justru merasa semakin geram melihat Hani. Ia tak suka sekali dengan perempuan yang bersikap lemah dan manja tanpa mau tahu kondisi yang sebenarnya.
"Gimana enggak lemas kalau makan aja susah!" kesal Rahman. Kemudian keluar kamar begitu saja.
"Kamu mandi dulu dan siap-siap ke sekolah sendiri, ya, Din!" pinta Hani kepada Dinda setelah Rahman keluar dari kamarnya.
"Tapi, Ma ...." protes Dinda yang langsung direspon gelengan kepala oleh Hani.
Gadis kecil itu akhirnya dengan berat hati meninggalkan kamar mamanya.
Sementara Hani merasa begitu nelangsa. Saat ia sakit seperti ini bahkan suaminya seperti tidak peduli. Lalu pada siapa ia harus menyandarkan kepalanya?
Buliran bening itu akhirnya satu per satu berjatuhan dari pelupuk mata Hani.