Rahman kembali memasuki kamar saat bersiap untuk bekerja. Lelaki itu membiarkan istrinya yang masih berbaring dan belum meminum obat. Di pikiran Rahman, Hani hanya sedang bersikap manja dan ia sangat tidak suka. Nanti saat Hani lapar pasti dia makan sendiri.
"Bang," panggil Hani saat Rahman mengancingkan kemejanya.
"Hm," jawab Rahman acuh tak acuh.
"Haris kemana, Bang?" Hani akhirnya nekat menanyakan adik iparnya itu pada suaminya. Pikirannya terlalu penuh dengan pemuda itu. Jika ia tak bertanya rasa-rasanya kepalanya bisa meledak.
Mendengar Hani menanyakan adiknya, Rahman menoleh. Lelaki itu sedikit heran karena Hani tidak tahu kemana perginya Haris. Karena setahu Rahman selama ini adiknya itu cukup dekat dengan istrinya. Namun, karena mungkin Hani sakit, jadi Haris tak sempat berpamitan dengan Hani.
"Ada kerjaan di luar kota katanya. Emang dia enggak bilang sama kamu?" tanya Rahman akhirnya.
"Mungkin aku tidur pas dia berangkat, jadi enggak pamit," dusta Hani. Padahal Hani tahu kapan terakhir Haris keluar dari rumah ini. Jadi, Haris memang sengaja tidak pamitan pada Hani.
Rahman tak menyahut lagi karena dugaannya benar. Lelaki itu kemudian sibuk memasang ikat pinggangnya.
"Kapan dia pulang?" tanya Hani lagi.
Entah mengapa dia benar-benar tak bisa menahan diri untuk tidak bertanya. Hani merasa ruang di dadanya terasa ada yang kosong tanpa Haris di rumah ini.
"Enggak tahu, dia enggak bilang," jawab Rahman acuh tak acuh.
Setelah menyisir rambutnya, Rahman menghadap ke arah Hani. "Kalau sudah enggak mual, nanti makan sama obatnya diminum! Enggak usah mikirin kondisi rumah! Bersihin kalau udah mampu! Jangan maksa!"
Hani mengangguk lemah. Ia merasa sama sekali tidak memiliki semangat hidup. Entah mengapa ketiadaan Haris di rumah ini, membuat gairah hidup Hani juga menghilang.
"Aku bawa ke sini aja makanannya?" tanya Rahman. Karena makanan yang tadi pagi ia siapkan telah dibawa ke dapur oleh Dinda atas permintaan Hani.
"Enggak usah, Bang. Aku mual bau nasi sama telor," tolak Hani.
"Apa jangan-jangan kamu ... hamil?" tebak Rahman.
"Hah? Masa, sih? Tapi aku, kan, KB!" bantah Hani. Wanita itu memang merasa belum siap untuk hamil lagi. Dengan satu anak saja kondisi ekonomi mereka terbilang kurang, bagaimana jika sampai memiliki anak lagi?
"Apapun bisa terjadi," ucap Rahman. Lelaki itu memang sejak lama berharap akan memiliki anak lagi karena Dinda sudah cukup besar. Di kepalanya keluarganya baik-baik saja dengan uang satu juta lima ratus ribu setiap bulannya. Rahman seolah-olah menutup matanya kalau selama ini Haris lah yang menambal kekurangan materi mereka.
"Ya, udah. Aku berangkat dulu," pamit Rahman tak peduli dengan Hani yang tak menanggapi perkataannya.
Setelah kepergian Rahman, Hani merenung. Tak mungkin ia hamil. Mual yang ia rasakan kata dokter karena efek tipus. Jadi, bukan karena hamil.
"Enggak, aku belum siap untuk punya anak lagi." Hani membatin sembari menggelengkan kepalanya.
Tak berselang lama Dinda masuk ke kamar dan berpamitan untuk sekolah. Selepas Dinda dan Bang Rahman berangkat, Hani merasa rumah benar-benar sepi. Biasanya, walaupun Haris ada di luar kamarnya, akan terdengar aktivitas pemuda itu di luar. Namun, kali ini Hani benar-benar sendiri.
Pikiran Hani kembali dipenuhi adik iparnya itu. Berbagai pertanyaan tentang pemuda itu berdesakan di kepala Hani.
Apa Haris marah padanya?
Mengapa dia pamit pada Rahman, tetapi tidak kepada Hani tidak?
Mengapa?
"Ah, Haris. Kenapa aku terus-menerus mikirin dia, sih?" gerutu Hani pada dirinya sendiri.
Entah berapa lama Hani menghabiskan waktu untuk memikirkan Haris. Ia bahkan sampai lupa waktu.
Matahari terlihat sudah meninggi. Pikiran Hani mulai teralihkan dari Haris saat perutnya sudah terasa perih. Akhirnya perlahan-lahan ia beranjak dari tempat tidur untuk ke dapur. Hani mengingat kalau di kulkas ada mie instan dan beberapa camilan yang Haris beli.
Sembari menahan pusing dan mual yang mendera, Hani berjalan dengan berpegangan pada dinding. Kepalanya terasa berkunang-kunang saat berjalan. Namun, wanita berambut lurus itu berusaha menahannya.
Begitu memasuki dapur, pemandangan yang tersaji membuat mata Hani melebar seketika. Sampah bercecer di mana-mana bekas pesta si tikus. Cangkang telur, bungkus mie instan, berserakan di seluruh lantai dapur.
Hani merasa sangat geram pada Rahman. Bahkan sekedar membuang sampah ke tong depan rumah pun tak ia lakukan.
"Benar-benar lelaki tulen!" umpat Hani.
Tak cukup sampai disitu, piring kotor semalam pun masih utuh. Malah ditambah bekas makan pagi ini. Di meja makan, di wastafel semua berantakan dengan peralatan bekas makan.
"Aduh! Aku pusing!" keluh Hani sembari memijat pelipisnya.
Sudahlah badannya terasa sangat lemas, ditambah ia masih harus membereskan rumah. Hani jadi bertanya-tanya, tidakkah Rahman sedikit saja merasa kasihan padanya?
Kalau lelaki itu peduli, tentu ia tidak akan membiarkan Hani membereskan rumah seperti ini.
Niatnya mau masak malah melihat dapur seperti istana kena gempa. Akhirnya, wanita yang masih mengenakan baju tidur berlapis jaket itu memaksakan diri untuk membersihkan semua kekacauan di dapurnya. Meskipun tubuhnya terasa seperti mau meregang nyawa.
Bagaimana Hani bisa masak kalau semua kotor seperti itu?
Baru saja memunguti sampah yang berserak di lantai, Hani merasa sudah tidak kuat. Pandangannya terasa berputar-putar. Perutnya mual dan keringat dingin keluar dari pori-pori kulitnya. Wanita itu akhirnya terkapar di lantai dapur yang kotor.
"Aku harus minum teh manis agar sedikit bertenaga," batin Hani.
Tak ada yang bisa ia mintai bantuan. Sehingga ia harus bisa bangkit sendiri.
Wanita yang sudah sangat lemas itu mencoba kembali bangkit dengan berpegangan pada meja dapur. Namun, saat tangannya meraih meja dapur, pandangannya semakin berputar-putar. Matanya semakin berkunang-kunang. Keringat dingin keluar dengan lebih deras. Akhirnya Hani terjatuh dan tak sadarkan diri.
Sementara di sebuah kamar kos berjarak sekitar lima kilo meter dari rumah Hani, Haris merasa begitu gelisah. Pikirannya tak bisa lepas sedetik pun dari Hani. Ia mengkhawatirkan kondisi wanita itu. Sangat mengkhawatirkannya.
Pemuda itu akhirnya bangkit dan bergegas kembali ke rumah abangnya. Ia ingin memastikan dengan mata kepalanya sendiri kalau Hani baik-baik saja. Istirahat dan obat yang dibelinya mampu memulihkan kakak ipar yang ia cintai.
Setelah mengenakan jaket berwarna abu tua juga helm hitamnya, Haris keluar dari kamar kos dan mengunci pintu. Pemuda itu berjalan cukup cepat menuju tempat parkir sepeda motor.
Begitu berada di jalan raya, Haris menambah kecepatan sepeda motornya. Entah mengapa ia merasa sangat gelisah. Ia sangat khawatir terjadi apa-apa dengan Hani.
Perjalanan yang biasanya ia tempuh sekitar lima belas menit, kali ini kurang lebih hanya sepuluh menit sepeda motor Haris sudah terparkir di halaman rumah kakaknya. Pemuda itu segera melepas helmnya kemudian berjalan menuju pintu depan.
Sebelum memasukkan kunci, Haris mengintip dari jendela kaca. Rumah tampak begitu lengang seperti tak berpenghuni.
"Kak! Kak Hani!" Haris mencoba memanggil Hani terlebih dahulu. Namun, tak ada sahutan sama sekali.
Karena penasaran ia kemudian bergegas memasukan kunci pintu yang ia bawa dan membuka pintu dengan cepat. Setengah berlari ia memasuki rumah abangnya.
"Kak! Kak Hani!" Haris terus memanggil kakak iparnya, tetapi tak ada jawaban sama sekali. Ia kemudian melihat kamar Hani, tetapi kamar itu kosong. Haris kemudian mencari Hani ke dapur.
Haris sangat terkejut melihat Hani tergeletak di lantai. Tanpa berpikir panjang, ia langsung berlari kemudian mengangkat tubuh Hani dan membawa ke kamarnya.
"Han! Hani!" panggil Haris dengan cemas. Ia bahkan tak memanggil Hani dengan sebutan kakak lagi.
"Han! Bangun, Sayang! Bangun!" Haris menepuk-nepuk lembut pipi Hani yang terasa dingin karena cukup lama berada di lantai. Namun, Hani tak juga membuka matanya.
Akhirnya Haris mencari parfum atau apapun yang baunya menyengat untuk dioleskan pada hidung Hani di kamar Hani. Setelah mendapatkannya, ia langsung mengoleskan pada hidung Hani. Namun, sampai beberapa lama, Hani belum juga membuka matanya. Akhirnya Haris memutuskan untuk menghubungi Rahman.
"Ya, Ris. Gimana?" ucap Rahman begitu menerima panggilan dari Haris.
"Bang, Hani pingsan. Abang cepat pulang, ya!"
Rahman tak langsung menjawab. Ia masih berpikir kalau Hani mudah saja untuk disadarkan.
"Udah kamu kasih bau-bauan di hidungnya?" tanya Rahman akhirnya.
"Udah, Bang. Tapi, enggak juga sadar. Abang cepat pulang sekarang, ya!"
"Tapi, Ris, Abang ...."
"Bang!" bentak Haris memotong ucapan abangnya yang hendak beralasan untuk meninggalkan pekerjaannya. "Hani sakit, sampai pingsan! Abang enggak khawatir sama dia?" geram Haris.
"Bukan gitu, Ris, tapi pekerjaan Abang ...."
"Cukup, Bang!" potong Haris lagi. Rasanya dadanya nyeri mendengar abangnya tidak memedulikan wanita yang ia cintai. "Kalau Abang enggak mau mengurus Hani, ceraikan dia! Aku yang akan mengurusnya!"