"Kayaknya kamu rada-rada, deh, Ris!" ucap Hani tak mau menanggapi serius perkataan adik iparnya itu. Kemudian wanita itu menempelkan telapak tangannya di kening Haris.
"Kenapa?" tanya Haris sambil menyengir kuda.
"Hhmm pantes," ucap Hani tak menghiraukan pertanyaan Haris. "Ada yang korslet rupanya."
Dikata-katain seperti itu Haris justru semakin terkekeh. Di matanya tingkah Hani yang seperti itu lucu. Apalagi dengan mimik Hani yang serius saat mengatakannya, membuat Haris semakin gemas terhadap kakak iparnya itu.
Saat Hani hendak menarik telapak tangannya, Haris reflek memegangnya. "Biarkan di sini aja!" pinta Haris. "Tangan kamu hangat."
"Hus! Sembarangan!" ketus Hani sambil menarik tangannya dengan cepat. Bisa ikutan gila jika meladeni sikap Haris yang semau sendiri.
Pemuda itu malah terkekeh. "Kalau gini, kan, kamu enggak lemas lagi," ucap Haris sembari menatap wajah Hani yang tampak sedikit lebih segar.
Hani tak membantah perkataan adik iparnya itu. Karena memang benar adanya. Saat ada yang mengajaknya bercanda, ia merasa sakitnya sedikit berkurang. Ia merasa terhibur dan pikirannya tidak terlalu fokus pada rasa sakit yang sedang ia rasakan.
Mungkin ia kini semakin parah karena ada pengaruhnya dengan sikap Rahman juga. Bisa jadi sakitnya yang tak kunjung sembuh karena selama sakit, Rahman selalu acuh tak acuh kepadanya. Tidak ada perhatian apalagi kasih sayang. Bisa jadi Hani sakit seperti ini karena memang kurang kasih sayang.
"Ah, mikir apa kamu, Han! Tugas Bang Rahman itu banyak. Enggak cuma ngurusi kamu aja!" tegur Hani dalam hati.
"Kok, malah bengong?" Haris menggerakkan telapak tangannya di depan wajah Hani saat melihat kakak iparnya itu tak lagi ceria.
"Lama, ya?" tanya Hani mengalihkan perhatian Haris. Hani merasa kepalanya kini berputar-putar. Tulangnya ngilu-ngilu membuatnya merasa ingin rebahan saja.
"Sabar, udah nomor dua tiga, kok. Mau rebahan?" tawar Haris seolah bisa membaca keinginan Hani.
Bukannya menjawab, Hani malah menatap ujung sofa. Ia kecewa karena sofa ini tidak ada lengan sofanya, sehingga dia tidak bisa meletakkan kepalanya di tangan sofa jika harus rebahan.
"Pakai jaketku, nih, buat bantal." Haris melepas jaketnya saat melihat wajah kecewa Hani. Pemuda itu bisa membaca keinginan Hani. Karena di saat sakit, semua orang pasti ingin merebahkan tubuhnya. Begitu juga dengan Hani.
"Enggak, Ris! Malu banyak orang!" Hani berusaha menolak dengan mendorong jaket yang Haris ulurkan.
"Enggak apa-apa. Wajahmu pucat banget, tuh!" ucap Haris sembari memandangi wajah pucat Hani.
Haris melipat jaketnya kemudian menambah tas kecilnya sehingga bisa menjadi bantal. Kemudian pemuda itu pindah untuk duduk di sebelah sofa yang bisa dijadikan tempat tidur Hani.
Hani kemudian menuruti perintah Haris. Karena kepalanya yang memang begitu pusing, ia tak lagi memedulikan sekitarnya. Ia merebahkan diri kemudian memejamkan kedua bola matanya.
Di saat seperti ini Hani merasa begitu membutuhkan kehadiran Rahman. Ia ingin keningnya dipijat. Kepalanya dielus-elus. Sayang, pekerjaan Rahman tak memungkinkan untuk ditinggalkan demi mengantarnya berobat seperti ini.
Akhirnya tanpa sadar Hani telah terlelap.
"Kak Hani! Kak! Kita dipanggil!"
Hani mendengar samar-samar suara Haris memanggilnya. Kontan ia langsung membuka mata.
"Ah, aku sampai tertidur." Hani membatin sembari merapikan rambutnya yang tergerai menutupi wajahnya.
"Kita sudah dipanggil," ulang Haris.
"Iya, Ris. Sebentar." Hani masih sibuk merapikan rambut dan mengusap wajahnya.
"Udah cantik, kok," ucap Haris sembari tersenyum jail.
Hani membalas kejailan adik iparnya itu dengan tatapan sengit. Kemudian keduanya bangkit dan berjalan menuju ruang dokter.
"Silahkan duduk, Bu! Ditensi dulu, ya!" pinta seorang wanita muda berseragam perawat.
Hani mengulurkan tangannya. Kemudian dengan pasrah dipasangi tensimeter.
"Rendah sekali, Bu," ucap perawat tersebut. "Delapan puluh per lima puluh."
"Pantas aku pusing banget," sahut Hani.
Kemudian suhu tubuh Hani diukur juga. Setelahnya ia diminta untuk menimbang berat badan. Setelah dicacat perawat tersebut, Hani dipersilahkan masuk ke ruang periksa.
"Langsung periksa ke dokter, ya, Bu. Silahkan!" Perawat tersebut mempersilahkan.
"Terima kasih."
Haris dengan sigap menemani Hani periksa. Mereka berdua duduk di depan Dokter Darwin. Dokter tersebut meminta Hani duduk di kursi periksa setelah membaca rekam medisnya.
Lelaki berjas putih tersebut meminta Hani menjulurkan lidah. "Wah, sepertinya tipus ini, Bu," ucapnya. "Setelah ini Ibu cek darah di ruangan sebelah, ya! Setelah dapat hasilnya ke sini lagi!" titah Dokter Darwin sembari memberikan surat pengantar untuk cek darah.
"Baik, Dok," ucap Hani kemudian menerima surat pengantar yang diberikan Dokter Darwin.
Setelahnya Hani dan Haris meninggalkan ruangan dokter tersebut untuk menuju laboratorium.
"Nanti disuntik, loh," goda Haris pada Hani "Takut enggak?"
"Udah biasa," ketus Hani tanpa memikirkan perasaan Haris.
"Oh, ya?" Haris bertanya heran. Ia tak mengerti dengan maksud ucapan Hani. Setahu Haris, Hani jarang sakit jadi bisa dibilang tidak pernah suntik.
"Iya, lah. Disuntik Bang Rahman," ucap Hani acuh tak acuh.
Wajah Haris langsung berubah. Senyum yang tadi mengembang saat menggoda Hani lenyap seketika. Jawaban Hani membuat dadanya panas. Meski Haris tahu betul jawaban Hani sesuai kenyataan yang ada. Dia tetap merasa terbakar api cemburu.
Akhirnya mereka berdua berjalan dalam diam. Haris tak berminat menggoda Hani lagi. Sementara Hani tak peduli dengan jawabannya yang ia tahu melukai pemuda di sampingnya itu. Menurut Hani itu harus dilakukannya, agar Haris sadar diri.
Proses pengambilan sampel darah tidak perlu antri. Haris masih setia menutup mulutnya. Ia hanya duduk dan diam di kursi tunggu menunggu Hani yang berada di laboratorium. Pemuda itu kehilangan selera bercandanya.
Setelah selesai pengambilan darah, Hani duduk di samping Haris. Namun, kali ini pemuda itu tampak mengabaikannya. Haris lebih tertarik dengan ponselnya daripada sekadar berbicara pada Hani.
Cukup lama mereka menunggu hasil tes darah Hani. Namun, tak sepatah kata pun keluar dari mulut Haris. Membuat kepala Hani kembali terasa pusing karena tak ada yang mengalihkan perhatiannya.
"Apa Haris marah padaku?" batin Hani sembari melirik Haris yang masih sibuk dengan ponsel di tangannya.
"Ris!" Akhirnya Hani tidak tahan untuk saling diam dengan Haris.
"Hm," sahut Haris terdengar malas di telinga Hani
"Ish!" sungut Hani tak suka dengan respon Haris.
"Apa, sih?" tanya Haris akhirnya. Pemuda itu tak tega juga mengabaikan Hani seperti itu.
"Enggak jadi!" ketus Hani, kemudian memilih kembali diam.
Mendengar jawaban Hani yang ketus seperti itu, Haris pun memilih kembali diam dan tidak berusaha untuk mencairkan suasana.
Posisi mereka saat ini duduk di teras di depan laboratorium. Sehingga tiupan angin membuat tubuh Hani semakin kedinginan. Walaupun suhu tubuhnya panas, tetapi yang Hani rasakan justru dingin sekali.
Wanita itu sampai mengusap-usap kedua lengannya untuk menghalau rasa dingin yang semakin menjadi. Ia merapatkan kedua kaki dan mengeratkan kaitan tangan agar tubuhnya bisa lebih hangat. Namun, tetap saja usahanya sia-sia belaka. Hani tetap merasa sangat kedinginan.
Hani berusaha mengalihkan perhatiannya dengan menatap jalanan. Ia juga berusaha mengusir sepi akibat sikap Haris yang acuh tak acuh padanya. Wanita itu menatap lalu lalang kendaraan yang tiada henti sembari terus mengusap-usap kedua lengannya.
Tiba-tiba Hani merasa sesuatu menempel di punggungnya. Sehingga ia langsung menoleh ke belakang.
"Biar hangat," ucap pemuda yang sejak tadi mengabaikannya itu sembari memakaikan jaketnya menutup punggung Hani.
Hani benar-benar dibuat tak bisa berkata-kata oleh perhatian adik iparnya itu. Ia pikir Haris tidak peduli padanya, tetapi melihat Hani kedinginan Haris melakukan hal semanis ini.
"Ah, Haris! Jangan seperti ini! Bersikap cuek saja terus! Kalau aku jatuh cinta juga bagaimana?" batin Hani sembari menatap wajah tampan Haris.
Dipandang seperti itu oleh wanita yang dicintainya tentu membuat perasaan Haris melambung begitu tinggi. Setelah menutup tubuh Hani, Haris kemudian tersenyum jail. "Jangan liatin begitu, nanti jatuh cinta!" Ia kembali menggoda Hani.
"Ish!" Hani langsung kembali buang muka menatap jalanan. Ia seperti sedang ketahuan karena sejak tadi menatap wajah Haris seintens itu.
Melihat tingkah Hani yang malu-malu seperti itu membuat Haris semakin gemas pada kakak iparnya itu. Haris tersenyum sendiri melihat tingkah Hani. Di mata Haris, Hani begitu polos. Mungkin sebelum menikah dengan abangnya, wanita itu bukan lah petualang cinta. Hal itu membuat Haris semakin tergila-gila padanya.
Di saat perasaannya semakin menggila, terdengar nama Hani dipanggil. "Tuh, kita dipanggil!" ucap Haris sembari menarik lengan Hani.
"Ayo!" ajak Haris lagi saat Hani hanya mematung memandangi tangan Haris yang menarik lengannya.
"Eh, maaf," ucap Haris lagi sembari tersenyum kikuk. Pemuda itu salah tingkah sendiri.
Setelah mengambil hasil tes darah, mereka kembali ke ruang praktek dokter. Hani menyerahkan selembar kertas tersebut pada Dokter Darwin. Sekilas dokter berkepala botak itu membacanya, kemudian menatap Hani beberapa saat.
"Tipusnya sudah tinggi. Saya buatkan rujukan untuk opnam, ya?" ucap Dokter Darwin membuat badan Hani semakin lemas.
"Ha-harus opnam, Dok?" tanya Hani. Ia tentu tidak ingin sampai harus opname. Sekadar untuk periksa saja ia tak punya uang. Bagaimana jika harus opname?
"Iya, kalau tidak, nanti enggak sembuh-sembuh. Ini sudah cukup parah," jelas Dokter Darwin tanpa peduli pada kegalauan pasiennya itu.
"Aduh, gimana, ya?" lirih Hani. Selain masalah biaya, ia juga memikirkan Dinda. Kalau Hani harus opname, siapa yang mengurus keperluan bocah perempuan tersebut? Tak mungkin Rahman bisa mengurus keperluan putrinya itu.
"Gimana?" tanya Dokter Darwin setelah melihat keraguan di wajah Hanu.
"Iya, Dok. Enggak apa-apa. Buatkan saja!" pinta Haris dengan tegas. Di kepalanya, ia hanya ingin Hani segera sehat kembali.
"T-tapi, Ris," lirih Hani.
"Udah, yang penting kamu sembuh dulu! Enggak usah pikirin yang lain!" tegas adik Rahman itu.
"Mau dirujuk ke rumah sakit mana?" tanya Dokter Darwin akhirnya.
"Yang bagus, Dok!" tegas Haris.
Hani merasa semakin lemas. Ia berhutang begitu banyak pada Haris. Karena nanti biaya rumah sakit pasti Haris juga yang membayarnya, karena Hani tahu betul, gaji Rahman tak mungkin cukup untuk membayar biaya rumah sakitnya.
"Ah, Haris, kamu seperti malaikat penolongku, tetapi sekaligus menjadi setan yang memporak-porandakan perasaan wanita bersuami sepertiku," batin Hani dengan mata berkaca-kaca.