"Apapun alasanmu, aku enggak suka kamu lancang sampai kayak gini, Ris!" potong Hani dengan kemarahan yang tertahan.
Haris menatap Hani yang tampak marah padanya. Kemudian dia menjelaskan bagaimana dia bisa sampai ada di kamar Hani.
"Aku minta maaf. Aku tadi sebenarnya enggak berani masuk, tapi dari luar aku dengar kamu meracau kesakitan sama kayak kedinginan gitu, jadi aku masuk," jelas Haris. "Pas aku masuk, ternyata selimutmu jatuh, makanya kamu kedinginan. Aku enggak tega liat kamu sakit kayak gitu, makanya aku inisiatif buat pijitin juga. Aku enggak ada niat jelek sama sekali."
Hani kini hanya mampu menatap Haris. Dalam hati ia membatin, "Ah, Haris. Harusnya kamu jangan seperhatian itu sama aku! Kalau akhirnya aku juga jatuh cinta sama kamu, gimana?"
"Ya udah, diminum dulu ini tehnya!" titah Haris karena Hani tak merespon ucapannya. Pemuda itu kembali mengangsurkan gelas teh itu kepada Hani.
"Makasih," ucap Hani sambil menerima gelas tersebut. Kemudian ia meminum dengan hati-hati karena tehnya masih lumayan panas.
"Sudah sarapan?" tanya Haris sembari mengambil gelas teh dari Hani begitu wanita itu selesai minum.
Hani menggeleng. Tadi begitu selesai masak, ia langsung tidur. Sekarang ia baru merasakan kalau perutnya sudah memberi kode minta diisi.
"Ya, sudah, aku ambilin dulu, ya!" tawar Haris.
"Enggak usah, Ris!" tolak Hani. "Aku ambil sendiri aja. Aku masih bisa jalan, kok."
Hani tak mau larut dalam perhatian dan kebaikan Haris. Bagaimanapun ia istri abang Haris, ia tak mau main gila dengan adik suaminya sendiri.
"Ya, sudah. Kamu pakai jaket yang tebal, ya! Jangan cuma sweater gitu!" pinta Haris.
"Iya, Ris," sahut Hani sembari beringsut turun dari kasur.
"Bentar!" seru Haris saat kedua kaki Hani sudah menjutai ke bawah.
Pemuda itu berlari kecil keluar dari kamar. Tak berselang lama ia kembali sembari membawa sandal bulu.
"Pakai ini!" titahnya sembari menaruh sandal bulu berwarna abu tua di bawah kaki Hani. "Biar telapak kakinya enggak langsung nempel ke lantai," lanjutnya.
Hani menurut saja, karena ia memang merasa kedinginan. Perlahan wanita itu berjalan. Walaupun sesekali terhuyung. Karena kepalanya sangat pusing dan badannya pun masih lemas sekali. Efek karena belum sarapan juga.
"Hati-hati!" ucap Haris saat badan Hani kembali terhuyung.
Pemuda itu ragu-ragu memegangi bahu Hani. Takut kakak iparnya itu menganggapnya lancang dan kembali marah padanya. Haris tak bisa jika Hani sampai marah kepadanya. "Maaf, ya!" ucap Haris saat kedua tangannya memegangi bahu Hani dari samping.
Mendengar Haris bicara begitu dekat di telinga, bulu kuduk Hani seketika meremang. Ada perasaan tak biasa muncul di dada. Karena kini ia tahu perasaan Haris yang sebenarnya.
Mereka sama-sama terdiam saat melangkah menuju pintu. Sementara Hani sibuk mengendalikan detak jantung yang tak tahu malu.
"Ingat, Han! Kamu sudah nikah! Sudah punya anak! Umur juga sudah enggak muda lagi! Kendalikan dirimu!" batin Hani agar pikirannya tidak melayang kemana-mana.
Begitu sampai di pintu kamar, Haris meraih jaket yang tergantung di balik pintu. "Pakai jaketnya!" titahnya seraya memakaikan jaket itu pada Hani.
"Aku pakai sendiri aja, Ris!" tolak Hani. Kemudian mengambil jaket berwarna hitam itu dari tangan Haris.
Setelah memakai jaket, mereka berjalan bersama menuju dapur. Tiba di ruang tengah Hani tertegun. Ruangan itu sudah berubah rapi. Bantal-bantal sofa bekas dipakai tidur Rahman, sudah tidak berserak lagi. Lantainya juga sepertinya sudah dipel.
"Pasti Haris yang melakukannya," tebaknya dalam hati.
Begitu memasuki dapur, pemandangannya pun serupa. Peralatan masak yang tadi masih kotor bercampur dengan piring kotor dan teman-temannya sudah tak ada. Semua sudah bersih dan tertata rapi di tempatnya.
"Kenapa dua bersaudara ini sangat berbeda? Haris sangat rajin dan rapi, sedang Rahman .... Ah, suamiku itu terlalu santai hidupnya. Seperti tak punya cita-cita," batin Hani seraya menatap dapurnya yang kini telah rapi.
"Kak, duduk aja! Biar aku ambilin piring!" titah Haris.
Tanpa menunggu persetujuan Hani, pemuda itu sudah melenggang ke arah rak piring. Sejurus kemudian pemuda itu sudah kembali di meja makan. Setelah piring dia taruh di atas meja, Hani segera mengambil nasi.
"Dikit banget?" protes Haris saat melihat nasi yang Hani ambil cuma seujung centong nasi.
"Lidahku pahit, Ris. Dikit dulu takut enggak habis, sayang kalau buang-buang makanan," jawab Hani.
"Tapi, nanti kalau belum kenyang nambah!" titah Haris.
"Aku sudah tua, Ris! Enggak usah diingetin gitu juga tahu!" ketus Hani.
"Dih, galak banget!" canda Haris.
Namun, tak seperti biasanya, Hani tak merespon. Ia menyibukkan diri dengan makanan di piring yang terasa pahit di lidahnya. Sup tahu yang biasanya gurih, kali ini pun terasa pahit.
Namun, Hani tetap berusaha untuk makan. Ia tak mau sakit lama-lama. Apalagi ini masih tanggal tua, tak ada dana untuk berobat. Jadi ia berusaha harus cepat sehat.
Haris menunggui Hani makan. Persis seperti orang tak punya kerjaan.
"Kamu enggak kerja?" tanya Hani sambil mengunyah makanan.
"Kerja," jawab Haris cuek.
"Ya, udah, sana berangkat!" usir Hani.
Wanita itu merasa tidak nyaman diperhatikan seperti itu oleh adik iparnya itu. Kemarin, saat ia belum tahu perasaan Haris, hal seperti ini lumrah mereka lakukan. Bahkan mereka bisa bercanda sampai lupa waktu, tetapi sekarang, Hani jadi merasa kaku saat bersama Haris.
"Nih, lagi kerja," sahut Haris sembari tersenyum lebar. "Kamu sakit gini, kalau aku tinggal terus butuh apa-apa gimana? Aku enggak setega itu sama kamu, Kak Hani."
"Lebai! Mana ada aku butuh sesuatu!" ketus Hani.
"Buktinya tadi?"
"Mana?"
"Tidur sampai meracau enggak jelas. Kalau aku enggak di rumah, bakal makin demam kamu, Kak. Enggak ada yang bikinin teh, enggak ada yang mijitin, selimut jatuh aja enggak sadar," ujar Haris.
"Tapi, jangan diulangi lagi masuk kamarku, ya, Ris!" pinta Hani.
"Iya, Kak. Maaf."
Hani mengangguk. Kemudian kembali menyuap makanan.
***
Tiga hari berlalu, tetapi sakit Hani belum juga sembuh. Mungkin karena setiap pagi ia masih beraktivitas seperti biasa. Karena tak mungkin ia tidak berbelanja sayur, memasak, mencuci baju. Meski Haris melarangnya melakukan itu, tetapi Habi tak mau berutang terlalu banyak pada adik Rahman itu.
Hani tahu diri. Kemarin saja habis diberi lima ratus ribu. Masa mau nyusahin Haris lagi? Meskipun Hani tahu, Haris tidak merasa terbebani.
Apalagi Rahman gajian masih beberapa hari lagi. Jadi Hani harus benar-benar memanfaatkan uang pemberian Haris itu dengan baik. Kalau makanan beli matang, bisa-bisa tak cukup sampai nanti Rahman gajian.
Pagi ini Hani merasa badannya semakin lemas. Karena memang sejak kemarin, perutnya terasa mual. Panasnya juga tak kunjung turun meski sudah mengkonsumsi penurun panas.
Hani duduk di dapur, sembari menahan kepala yang seperti berputar-putar. Teh yang tadi ia seduh, terasa pahit di lidah.
"Kenapa aku harus sakit di tanggal tua begini?" keluh Hani dalam hati.
Hani menatap Rahman yang berjalan ke arah teras belakang. Laki-laki itu sudah mengenakan seragamnya. Seperti biasa, dia akan mengurus burung-burungnya.
"Bang!" panggil Hani dengan suara lemah.
"Hm."
"Kalau kamu pinjam uang teman, gimana?" tanya Hani.
"Kenapa? Uang dari Haris sudah habis?" Rahman balik bertanya.
"Belum, sih. Tapi, aku ingin berobat."
"Duh, pinjam siapa, ya?" Rahman tampak berpikir. "Tanggal tua gini, teman-temanku juga pasti kondisinya kayak kita, Dek."
Rahman benar. Namun, kalau Hani tidak juga berobat, mungkin sakitnya semakin lama. Kalau ia sampai parah, kerjaan rumah bakal keteteran. Tak mungkin ia biarkan Haris yang mengerjakan semua.
"Nanti nitip Haris beli obat di apotek lagi aja, Dek!" usul Rahman.
"Haris lagi!" kesal Hani dalam hati.
"Aku enggak enak, Bang. Kita udah ...."
"Enggak apa-apa, Kak." Tiba-tiba orang yang disebut Rahman langsung menyahut. "Kayak sama siapa aja. Nanti biar Kak Hani aku antar ke dokter, Bang."
"Kamu ada uang, Ris?" tanya Rahman.
"Ada, Bang. Tenang aja!"
"Tapi, Ris ...."
Haris langsung memotong kalimat protes Hani. "Udah, yang penting kamu sehat! Yang paling penting itu sehat."
"Besok kalau aku gajian, aku ganti, Ris," ucap Rahman.
"Udah, Bang. Kayak sama siapa."
"Ya, sudah. Abang titip Hani, ya, Ris!"
"Siap, Bang!"
Setelah Rahman dan Dinda berangkat, Hani dan Haris langsung ke klinik. Seperti biasa, mereka berboncengan dengan sepeda motor Haris.
"Dingin, Kak?" seru Haris di tengah suara deru kendaraan.
"Enggak," dusta Hani. Karena ia tak mau Haris memintanya memasukkan tangan ke saku Haris seperti kemarin.
"Kita ke klinik Dokter Darwin, ya?" usul Haris.
"Jangan, Ris!" tolak Hani. Dokter itu terkenal mahal. Sekali berobat biayanya di atas lima ratus ribu. "Puskesmas aja!"
Namun, Haris tak peduli dengan penolakan Hani. Ia tetap menuju klinik tersebut.
"Kok ke sini, sih, Ris?" protes Hani.
"Yuk!" ajaknya tak peduli protes Hani lagi.
Mau tak mau Hani mengikuti adik iparnya juga. Mereka berjalan berdampingan menuju pintu masuk.
Begitu memasuki ruangan, Haris meminta Hani duduk di kursi tunggu. Sementara pemuda itu mendaftar di bagian pendaftaran. Sejurus kemudian Haris berjalan ke tempat duduk Hani.
Mereka duduk berdua. Sementara Hani memilih diam dan memejamkan mata. Ia merasa tak nyaman duduk berdua sedekat ini dengan Haris.
"Kak, lihat, deh!" bisik Haris.
Penasaran, Hani pun segera membuka mata. "Apaan?"
"Tuh!" Haris menunjuk sepasang suami istri yang sudah berusia senja dengan dagunya.
"Kenapa?" tanya Hani bingung. Di matanya itu hal biasa saja.
"Senang, ya, bisa menua bersama orang yang kita cintai," ucap Haris sembari tersenyum manis.
"Makanya buruan nikah!" ketus Hani.
"Jodohku masih jadi jodoh orang," ucap Haris begitu saja. Ia sendiri bahkan kaget mendengar ucapannya itu. Namun, sudah terlanjur terucap gimana lagi.
"Ngaco, kamu! Dosa mencintai istri orang!" omel Hani.
Haris justru semakin menjadi. "Dosa itu kalau aku ganggu dia, kalau aku cuma mencintai dalam diam dan hanya mencoba untuk berusaha selalu ada buat dia aku pikir itu boleh saja."