"Kita langsung ke rumah sakit?" tanya Haris pada Hani saat mereka sudah berada di parkiran.
Mendengar pertanyaan Haris, Hani tak langsung menjawab. Wanita berjaket abu tua itu menatap wajah Haris cukup lama. Ia dilema karena menyadari kemampuan ekonomi suaminya. Tanggal tua seperti ini rasanya bukan ide yang tepat untuk rawat inap di rumah sakit. Terlebih Hani tak memiliki asuransi apapun.
Hani merasa begitu sesak. Di satu sisi ia berterima kasih atas kebaikan Haris. Namun, di sisi lain ia juga tak ingin berutang lebih banyak lagi pada adik iparnya itu.
Hani takut, takut sekali kalau lama-lama hatinya akan goyah. Akhirnya ia tak bisa menjaga kesetiaan pada Rahman. Yang jelas pernikahannya menjadi taruhannya. Sedang pernikahan itu adalah janji suci di hadapan Tuhan, bagaimana bisa ia mengkhianatinya?
"Kak, ada apa?" tanya Haris lembut saat melihat Hani tak menanggapi pertanyaannya.
Hani membuang muka sembari menghela napas berat. "Aku bicarakan dulu sama Bang Rahman, Ris. Biaya rumah sakit itu enggak murah. Aku tahu betul kondisi keuangan abangmu," ucap Hani dengan dada sesak.
Sengaja Hani memilih kata "abangmu" agar Haris sadar posisi mereka. Hani adalah istri dari abangnya.
"Bang Rahman pasti setuju. Yang penting kamu sehat dulu. Penyakit itu harus diobati, Kak." Haris tak setuju dengan perkataan Hani.
Baginya yang terpenting Hani segera sehat. Masalah biaya itu urusan belakangan. Jika Rahman tak mampu membiayai biaya rawat inap Hani, Haris siap menanggung sepenuhnya. Buatnya, Hanilah yang paling penting.
"Kita pulang dulu, Ris. Gimana keputusan abangmu saja nanti," ucap Hani tanpa mempedulikan perkataan Haris.
"Enggak!" tegas Haris. "Aku telpon Bang Rahman sekarang juga. Suami apa yang enggak mau tanggung jawab saat istrinya sakit? Sudah jelas dokter nyuruh kamu dirawat! Mana mungkin ada suami yang tega membiarkan istrinya sakit begitu saja!" Haris kesal sekali pada Hani yang bersikeras tak mau langsung ke rumah sakit.
"Bukan enggak tanggung jawab, Ris!" bantah Hani. Wanita itu tak mau adik iparnya menghina suaminya. Bagaimanapun, Rahman suaminya. Hani tak suka orang lain merendahkannya. Walaupun Hani sendiri sering dibuat kesal dengan sikap Rahman.
"Terus apa namanya?" debat Haris.
Belum juga Hani menanggapi, Haris langsung menghubungi abangnya.
"Bang!" ucap Haris begitu sambungan teleponnya terhubung dengan Rahman.
"Gimana, Ris?" sahut Rahman di pos jaga.
"Kak Hani harus dirujuk ke rumah sakit," ucap Haris memberitahu abangnya
"Apa?" seru Rahman. Ia tak pernah berpikir jika istrinya harus opname. Sekadar untuk biaya periksa saja ia mengandalkan Haris.
Bagaimana jika Hani harus opname?
Uang dari mana untuk membayarnya?
"Gimana, Bang? Aku langsung bawa dia ke rumah sakit, ya? Ini udah dibawain surat rujukan dari Dokter Darwin," pinta Haris. Ia harap abangnya langsung mengizinkan sehingga Hani segera ditangani tenaga medis.
"Apa kalau rawat jalan aja enggak bisa?" tanya Rahman dengan pikiran kacau. Ia tak punya bayangan akan dapat uang dari mana di tanggal tua seperti ini untuk biaya berobat istrinya.
"Enggak, Bang. Udah tinggi tipusnya. Kata dokter harus dirawat." Haris berusaha meyakinkan Rahman.
"Dicoba rawat jalan dulu aja, Ris," ucap Rahman dengan berat hati. Ia tak punya pilihan lain. Tak mungkin ia terus-menerus membebankan kebutuhan rumah tangganya pada Haris. Meski Haris tak keberatan, tetapi sebagai kakak dan suami Rahman merasa seperti tak punya harga diri.
"Bang, ini, tuh, penyakit! Masalah biaya Abang enggak usah mikir!" sewot Haris. Ia kesal sekali pada abangnya karena dugaan Hani benar. Abangnya bahkan tega membiarkan Hani yang harus dirawat di rumah sakit. Haris kecewa sekali.
"Iya, aku ngerti, Ris. Tapi ...."
"Udah! Abang enggak usah pusing! Serahin semua sama aku!" potong Haris. Ia tak mau mendengar alasan abangnya lagi. Toh, masalah biaya bisa dicari bersama. Namun, jika sampai Hani tak diobati dengan baik, lalu Hani kenapa-napa, mau cari Hani kemana lagi mereka?
Haris yang sangat kesal, langsung memutus sambungan telepon dengan Rahman. Pemuda itu menghela napas kasar, kemudian membuang muka.
Pikirannya panas. Ia juga malu pada Hani atas sikap abangnya yang pengecut dan bahkan terkesan tidak memedulikan Hani. Ingin rasanya Haris bawa Hani pergi dari kehidupan abangnya.
Haris bahkan berjanji pada dirinya sendiri, jika Hani jadi istrinya, ia akan memperlakukannya seperti ratu. Tidak seperti yang dilakukan abangnya. Wanita seperti Hani terlalu berharga untuk disia-siakan seperti itu.
Melihat wajah kesal Haris, Hani bisa menebak, Rahman tidak setuju ia dirawat di rumah sakit. Rahman pasti meminta agar Hani berobat dari rumah dulu. Hani paham betul kondisi Rahman. Lelaki itu pasti juga tak enak terus menerus merepotkan adiknya.
"Kita pulang dulu, Ris!" pinta Hani dengan lembut. Ia tak mau membuat Haris semakin marah.
Mendengar ajakan Hani dengan suara begitu lembut, Haris menatap wanita yang dicintainya itu lama-lama. Haris merasa sangat iba pada Hani. Abangnya bahkan selama ini tak pernah memperlakukan Hani dengan baik. Namun, wanita itu masih saja sabar dan selalu berusaha menutupi rasa kecewanya kepada Rahman.
Andai saja merebut istri orang bukan sebuah dosa besar. Tentu Haris tak akan banyak berpikir untuk segera membawa Hani pergi jauh dari Rahman. Haris akan bahagiakan wanita itu seperti selayaknya memperlakukan wanita yang ia cintai. Bukan sekadar pembantu gratisan di rumah.
Melihat Haris menatapnya seperti itu, Hani kemudian tersenyum. Ia ingin Haris tidak mengasihaninya. Ia ingin Haris berpikir bahwa Hani baik-baik saja. Ia pasti sembuh meski tidak dirawat di rumah sakit.
"Aku baik-baik aja, Ris. Aku pasti segera sembuh. Kita beli obat di apotek aja, ya?" pinta Hani masih dengan suara yang lembut.
Haris jadi ingat kalau tadi Dokter Darwin tak meresepkan obat untuk Hani karena tadi ia menyetujui Hani dirujuk ke rumah sakit. Ia jadi merasa semakin bersalah pada Hani. Sudahlah ia tak mampu menentang abangnya. Ditambah gara-gara ia menyetujui rujukan itu, Hani jadi tak diresepkan obat.
"Ris!" panggil Hani. Karena sejak tadi Haris hanya terpaku menatapnya. Ia sama sekali tak merespon ucapannya. "Ayo, kita pulang dulu!"
Haris akhirnya bereaksi. Dia menghela napas berat. Berusaha melonggarkan dadanya yang terasa terhimpit.
"Aku enggak mau melukai harga diri abangmu, Ris. Jika aku nekat ke rumah sakit, ia pasti akan merasa ...."
"Oke," potong Haris. "Tapi, kalau sampai dua hari kamu masih sakit, biarkan aku bawa kamu ke rumah sakit."
Hani mengangguk setuju. Ia pun sebenarnya ingin segera sembuh. Sakit seperti ini rasanya sangat menyiksa. Ia masih harus beraktivitas seperti biasa, sementara tubuhnya sangat lemas dan kepalanya begitu pusing.
Haris kemudian mengeluarkan motornya dari barisannya. Lalu menyalakan mesin motornya. Saat Hani hendak membonceng, pemuda itu malah mematikan kembali mesin motornya kemudian turun.
"Pakai jaketku!" titah Haris tanpa mau dibantah. Dia langsung melepas jaketnya dan memberikannya pada Hani.
Mau tidak mau Hani memakainya. Karena dia pun merasa sangat kedinginan. Ia juga tak ingin berdebat lagi pada Haris. Tubuhnya sudah sangat lemas. Rasa-rasanya bahkan ia seperti mau pingsan.
Hani menghela napas panjang melihat sikap Haris tak seceria tadi saat mereka berangkat. Bahkan setelah menyerahkan jaketnya pemuda itu langsung menaiki motornya tanpa berkata-kata lagi.
Hal itu membuat Hani semakin merasa bersalah. Ia tak mau melukai harga diri Rahman. Namun, ia juga tak bisa melihat Haris bersikap seperti itu. Ia ingin semua berjalan seperti biasa. Hani tak mau, sakitnya membuat hubungan mereka bertiga menjadi tidak baik.
Sengaja Hani berdiri berlama-lama. Ia tak langsung menaiki motor Haris. Ia ingin tahu reaksi pemuda itu jika menunggunya berlama-lama. Namun, Haris masih bergeming. Ia seolah-olah tak memedulikan Hani lagi.
"Seperti itukah dia saat marah? Atau seperti apa sebenarnya yang dirasakannya? Benarkah marah?" batin Hani sembari menatap kepala Haris yang sudah ditutup helm dari belakang.
Akhirnya, Hani mengalah dan membonceng Haris. Sepanjang perjalanan ke rumah, mereka sama-sama terdiam. Membuat Hani bingung harus bersikap seperti apa.
Didiamkan Haris seperti ini bukan hal biasa untuk Hani. Mengingat selama ini pemuda itu selalu banyak bicara. Hal itu membuat Hani merasa aneh karena ada hal yang berbeda.
Saat di apotek pun, Haris tak mengatakan apa-apa pada Hani. Lelaki itu hanya menyampaikan keluhan Hani pada apoteker, setelah membayar obatnya langsung kembali ke motor dan melaju ke jalanan.
Hani pun membiarkan Haris bersikap semaunya. Ia tak mau menambah masalah dengan berkata yang tidak-tidak pada Haris. Toh, hubungan mereka hanya sebatas ipar. Jadi, rasanya tidak etis jika Hani menanggapi diamnya Haris terlalu berlebihan.
"Terima kasih, Ris," ucap Hani saat mereka sampai di rumah.
"Hm." Pemuda itu segera membuka kunci pintu dan melesat ke dalam. Ia tak peduli Hani masih berdiri di belakang. Haris merasa kecewa dengan dirinya sendiri yang tidak bisa memperjuangkan Hani.
Setelah Haris tak kelihatan lagi, Hani menyusul memasuki rumah, lalu segera beristirahat di kamar. Saat Hani sudah merebahkan badan, ia mendengar suara pintu dibuka dan ditutup kembali. Diikuti suara sepeda motor Haris.
Dada Hani terasa hampa mendengar suara sepeda motor Haris meninggalkan pekarangan rumahnya. Bahkan Haris tidak mau berpamitan padanya seperti biasanya.
Rasanya di dalam rongga dada Hani seperti ada yang hilang. Namun, Hani sendiri tidak tahu itu apa.
Mungkinkah dia sebenarnya juga ... jatuh cinta pada Haris?