"Pulang kamu, Bang!" seru Hani dengan sangat marah. Ia benar-benar kecewa, sejak tadi Rahman tidak mengangkat telepon dari Haris. Tidak tahunya lelaki itu sedang asyik bermain kartu seperti ini. Bahkan ia tidak peduli sama sekali anak dan istri belum pulang di tengah hujan deras malam-malam begini.
"Apa yang sebenarnya ada di kepala suaminya itu?" geram Hani dalam hati. "Apakah sebenarnya laki-laki itu tidak pernah mencintai anak dan istrinya ini?"
Rahman salah tingkah. Ia membenarkan posisi sarung yang dikalungkan di lehernya. Kemudian beringsut mundur menuruni pos ronda mendekati motornya. Ia memakai jas hujan, lalu mendekati Hani.
"Ayo!" ajak Rahman. Ia tidak berani menoleh ke arah Hani yang sedang murka. Dengan santai laki-laki itu menaiki motornya.
Dengan menyentakkan tubuh, Hani duduk di bocengan motor Bang Rahman. Segera wanita bertubuh mungil itu tutup tubuhnya dengan jas hujan kelelawar yang dipakai suaminya.
"Ayo, Ris, pulang!" teriak Hani saat menoleh ke arah Haris dan pemuda itu hanya tertegun.
Motor mereka akhirnya melesat menembus hujan. Tak sampai lima menit, mereka sudah tiba di depan rumah.
Rahman melepas jas hujannya, kemudian membuka kunci pintu rumah. Hani, Haris dan Dinda menyusul di belakang.
Begitu pintu terbuka, Hani langsung mengajak Dinda mandi. Wanita yang kini bajunya basah kuyup itu menuang air termos ke ember untuk mandi putrinya. Hani takut, kalau mereka tidak langsung mandi bisa masuk angin.
Usai mandi, Hani baru menyadari kalau ia tak membawa baju ganti ke kamar mandi. Tadi dia terburu-buru dan juga emosi. Jadi, ia sampai tak memikirkan baju gantinya. Dengan terpaksa Hani keluar dari kamar mandi satu-satunya di rumah ini hanya dengan handuk yang melilit tubuh dari dada sampai lutut.
"Ayo, Din! Cepat!" seru Hani pada Dinda sembari berlari kecil menuju kamar. Karena di dapur yang mereka lewati ada Haris masih dengan pakaian basahnya sedang menunggu giliran mandi.
Haris sangat terkejut saat melihat Hani keluar kamar mandi hanya mengenakan handuk. Tak biasanya kakak ipar yang dicintainya itu tidak berganti baju di kamar mandi. Tubuh pemuda itu kontan menegang melihat pemandangan yang selama ini hanya ada dalam khayalannya. Pemuda itu pun langsung menunduk menatap jari-jari kakinya.
Haris memasuki kemar mandi dengan pikiran kacau gara-gara melihat tubuh Hani yang hanya dibalut handuk. Bayangan itu tidak bisa lepas dari kepalanya. Terlebih saat ini hujan masih mengguyur dan tubuhnya pun kedinginan. Tentu hal itu membuat pikirannya jadi kemana-mana.
"Gila kamu, Ris!" umpatnya pada diri sendiri sembari mengguyur air dingin dari gayungnya. Ia harap dengan diguyur air dingin, pikiran kotor di kepalanya segera hilang. Namun, kenyataannya sampai dia selesai mandi pikiran itu tidak juga pergi.
Pemuda itu pun segera ke kamarnya. Berganti baju kemudian mengeringkan rambutnya. Tiba-tiba ia mengingat foto Hani yang ia simpan. Pemuda berkaos hitam itu kemudian mengambil kotak yang ada di meja kerjanya.
Dahi Haris mengernyit saat membuka kotak itu. Ia paham betul barang-barang yang ia susun di kotak tersebut. Dan sekarang susunan itu berubah.
"Apa ... Hani membuka kotak ini?" gumamnya dengan dada berdegup kencang. "Apa itu alasan sikap Hani jadi berubah kepadanya?"
Haris menepuk keningnya. "Aduh! Ceroboh sekali aku!"
Pemuda itu menyalahkan dirinya sendiri karena telah menyimpan foto itu di tempat yang bisa dijamah dengan mudah oleh orang lain.
"Harusnya aku simpan di lemari dan kukunci!" gumamnya lagi. "Bodoh!"
Haris memandangi foto Hani sembari menggigit bibir bawahnya. Hanya melalui foto itu ia bisa memandangi wanita yang dicintainya itu sampai puas. Karena jika memandangi orangnya langsung, tak mungkin ia berani berlama-lama seperti ini.
Pemuda itu kemudian memasukkan foto itu kembali ke dalam kotak dan menyimpannya di laci yang berkunci. Dia tidak mau kalau sampai ada orang lain lagi yang tahu tentang itu. Ia harap, dugaannya benar kalau yang telah melihat isi kotak itu adalah Hani, bukan abangnya ataupun Dinda.
Namun, Haris cukup yakin mengingat sikap Hani yang tiba-tiba berubah padanya. Ia pun paham kalau Hani bersikap seperti itu. Haris juga tahu diri jika apa yang ia rasakan ini memang gila dan tak masuk akal, tetapi ini masalah hati, yang bahkan ia sendiri tidak bisa mengaturnya.
Haris kemudian keluar untuk membuat teh panas. Tubuhnya yang kini masih kedinginan butuh untuk dihangatkan.
Saat ia membuat tiga gelas besar teh panas, Dinda datang. Anak itu mau makan malam. Haris pun dengan senang hati menemani keponakannya itu makan sembari mengobrol.
Sementara pada saat yang sama Hani keluar dari kamar. Ia melihat Rahman sedang asyik menonton televisi dengan segelas kopi yang masih mengepulkan asap di depannya. Lelaki itu tak menoleh sedikit pun ke arah istrinya itu.
"Kamu itu ya, Bang! Hujan deras begini bukannya khawatir anak istri belum pulang malah asyik main kartu!" omel Hani begitu ada di dekat Rahman.
"Ya, emang aku harus gimana, Dek? Kalian ada dimana juga aku enggak tahu," kilah Rahman dengan santai tanpa mengalihkan pandangannya dari televisi.
"Emang hape kamu enggak ada fungsinya?" omel Hani lagi. "Kamu itu memang kebiasaan! Punya hape atau enggak, enggak ada bedanya. Buat apa, sih, hape kamu!"
"Hape abang, kan, di rumah, Dek!" Rahman beralasan lagi.
"Ah! Udah, lah! Percuma kamu punya hape! Lebih baik besok aku jual aja buat beli beras!" Hani bersungut kemudian berjalan ke dapur untuk menaruh handuk dan juga membuat teh panas.
Ini bukan kali pertama Rahman susah dihubungi. Sebelum-sebelumnya juga sering terjadi hal seperti ini. Ponsel hanya sekedar pelengkap hidupnya saja. Jarang sekali kalau Hani menelepon diangkat olehnya. Jika Hani mengirim pesan pun baru dibuka saat Rahman sudah sampai rumah. Jadi percuma.
Lelaki itu selalu beralasan kalau ponselnya ditaruh di tas. Jadi dia tidak tahu jika ada yang menghubungi. Membuat Hani sering sekali merasa kesal.
Begitu Hani tiba di dapur, ia melihat Dinda sudah duduk di meja makan. Anak itu sedang makan malam ditemani Haris. Sementara di meja sudah ada tiga gelas teh yang asapnya masih mengepul.
"Kak, ini aku buatin teh!" seru Haris saat Hani menaruh handuk di jemuran baju berukuran kecil di pojok dapur.
"Kenapa, sih, mesti Haris buatin?" gerutu Hani dalam hati. Dia tidak mau terus-menerus menerima kebaikan dari Haris. Hani takut sendiri. Ia takut lama kelamaan hatinya akan luluh. Karena ia tak mendapatkan perhatian seperti itu dari suaminya.
Terlebih bagaimanapun, Haris adalah adik Rahman. Jadi Hani tidak mau menjadi gila dengan jatuh cinta kepada adik iparnya sendiri. Ia juga tak mau pernikahannya sampai berantakan karena ia ikut hanyut dengan perasaan cinta Haris.
"Makasih!" sahut Hani tanpa menoleh pada adik iparnya.
Setelahnya ia langsung mengambil gelas teh tersebut dan membawanya ke ruang keluarga. Ia biarkan Dinda makan malam ditemani Haris. Hani tak mau dekat-dekat dengan pemuda itu lagi.
Hani menghempaskan tubuh di samping Rahman. Kemudian menyesap teh yang sudah tidak terlalu panas itu.
"Bang, tolong, lah, kamu perhatian sedikit sama anak istri!" pinta Hani memulai pembicaraan dengan suaminya. "Kalau terjadi sesuatu sama aku dan Dinda, apa kamu enggak khawatir?"
"Kan, kalian pergi juga sama Haris. Enggak mungkin kalian gimana-gimana," sahut Rahman acuh membuat Hani mendelik.
"Bang! Suamiku itu kamu bukan Haris!" bentak Hani. Ia sudah sangat kesal dengan sikap cuek suaminya itu. "Harusnya itu kamu yang bertanggung jawab sama aku dan Dinda bukan Haris!" Serunya meluapkan amarah yang sejak tadi meledak-ledak di dadanya.
"Emang aku enggak bertanggung jawab?" tanya Rahman dengan santainya. Lelaki itu seperti tak terpancing oleh amarah Hani. "Aku selama ini kerja keras juga buat kalian."
"Udah, lah! Capek ngomong sama Abang!" Hani menenggak teh yang tinggal separuh, kemudian beranjak tidur.
Ia sangat kesal pada Rahman. Memang selama ini lelaki itu suami yang bertanggung jawab. Bekerja buat mereka sekeluarga. Namun, tidak cukup hanya dengan memberi nafkah lahir seperti itu. Bukannya nafkah batin bukan cuma hubungan suami istri saja, tetapi perhatian dan yang lainnya juga?
Memiliki suami secuek Rahman memang sering membuat Hani makan hati. Selama ini saat ia kesal dengan suaminya, Haris selalu menghiburnya dengan mengajaknya dan Dinda sekedar jalan keluar. Kadang cuma beli es krim, atau makan bakso, tetapi hal itu sudah bisa membuat mood Hani kembali baik.
Dan wanita itu benar-benar tidak pernah berpikir yang macam-macam dengan perhatian Haris itu. Ia pikir hal yang wajar adik iparnya bersikap baik pada dia dan Dinda. Terlebih pemuda itu tinggal di rumah mereka.
Namun, sekarang Hani tahu, kalau ternyata pikirannya selama ini salah. Perhatian Haris itu bukan sekadar perhatian adik ipar kepada kakak dan keponakannya, melainkan perhatian seorang lelaki pada wanita yang dicintainya.
Memikirkan itu membuat Hani bergidik ngeri.
Bagaimana mungkin Haris segila itu?
Hani bahkan lebih tua darinya. Banyak wanita muda yang sepadan untuk pemuda itu. Bukan wanita bersuami dan beranak satu seperti dia.
"Gila emang itu anak!"