"Miky..."
Miky merasakan detak jantungnya berdetak lebih cepat, aliran darahnya berdesir, "apa Max mengenali Miky?!" batinnya.
"Itu adalah nama kakakku, sangat mirip dengan namamu, Kiky." lanjut Max dengan senyuman sendu.
Miky menghembuskan nafasnya, dia merasa lega.
Setidaknya Miky bisa melihat Max saat ini, walau nyatanya mereka kembali seperti dua orang asing yang bertemu, tapi ini sungguh jauh lebih baik ketimbang harus lari dan bersembunyi dengan identitas yang baru.
"Sebenarnya namanya Mikhael, tapi aku dan orangtuaku memanggilnya dengan nama Miky, " ucap Max dengan memandangi wajah putih Miky, yang semakin merona dengan terpaan sinar matahari sore itu.
"Kau tahu Kiky, dia sangat manis saat itu, dulu sekali. Semua yang ada di dalam dirinya sangat indah," ungkap Max.
Max kembali terduduk, dia menyentuh pelan pipi putih Miky, "dan bagian yang sangat indah selain mata heterochromia yang ia miliki adalah, sentuhan hue dan rona merah di pipinya."
Blush
Miky merona tanpa mau ia tahan, wajah hingga ke telinganya menjadi merah di saat Max dengan terang-terangan mengatakan semua hal itu.
"Hei? Apa ini? Wajahmu memerah? Dan semakin merah saat ini?" Max semakin mendekatkan wajahnya ke wajah Miky, Miky bahkan hingga berusaha menahan nafasnya. Dia gugup.
"Jangan tahan nafasmu, Kiky," ucap Max yang mengelus hidung mungil Miky, dia tahu jika pemuda di hadapannya saat itu sedang menahan nafas.
Max tersenyum, Miky yang Max tahu sebagai Kiky membuat sebuah perasaan baru tumbuh di dalam dadanya.
Ada apa?
Apa Max jatuh hati pada Kiky? Kiky atau Miky? Lihatlah saja nanti.
"Suatu hari nanti aku akan mempertemukan kakakku denganmu, aku yakin kalian akan menjadi teman yang baik," ucap Max spontan. Dia membayangkan bagaimana rupa Miky jika bersanding dengan Kiky.
Ah, bodohnya. Bahkan Kiky itu adalah Miky, Max terlalu terlena dengan mata coklat cerah itu sehingga ia melupakan mata heterochromia yang tersembunyi di balik kontak lensa Miky.
Tapi satu yang pasti, Max hanya ingin membagi cerita tentang Miky kepada Kiky, terlepas dari Max yang belum mengetahui jika orang itu adalah Miky, namun Max, dia merasa nyaman berbicara dengan Kiky, walau ini adalah pertemuan pertama mereka.
"Dia pasti adalah orang yang sangat beruntung, " celetuk Miky dengan sendu, Miky menatap kepada bayi domba yang tertidur akibat semilir angin di Padang rumput ini.
"Bukan dia yang beruntung, tapi diriku," ungkap Max.
Max mukai membuka sebuah buku kecil yang tak terlalu tebal sehingga pas ia masukan di saku jas mewahnya.
"Aku selalu merasa menjadi manusia paling beruntung karena memiliki orang sepertinya disisiku."
Miky terharu mendengar semua itu secara langsung dari bibir Max.
Mungkinkah pertahanan Miky goyah? Apa Miky akan menyerahkan dirinya secepat itu kepada Max? Tidak. Itu akan menjadi kisah yang terlalu indah jika seperti itu, dan kisah indah bukanlah sesuatu yang nyata. Tak ada satu pun yang berakhir dengan indah, karena kematian selalu membawa kesedihan.
"Aku selalu membuat sketsa wajahnya, kau mau lihat?" Max membuka halaman pertama dari buku kecil yang dia keluarkan.
"Aku tahu gambar ini tak cukup sempurna saat aku menggambarnya, namun hanya ini yang dapat aku ingat. Aku dan dia berpisah saat kami berusia lima tahun," perasaan Max sungguh kembali teriris disaat dia mengingat dan memutar ulang kejadian buruk yang menimpa keluarganya saat itu.
Miky melihat gambar di kertas yang berwarna coklat pudar itu. "Itu... Begitu indah," ungkap Miky dengan mata yang berkaca-kaca.
"Max menggambar Miky dengan sangat sempurna, Max... Maafkan Miky," batin Miky.
Dia sungguh tak menyangka jika Max mengingat setiap detail dari wajah Miky, karena Miky bahkan sudah melupakan wajahnya ketika ia kecil dulu.
"Kau benar, di sini..." Max menyentuh permukaan kertas berisi gambaran Miky berusia lima tahun itu Max mengatakan, "rona pipinya terasa sangat indah dan kontras di kulit putih susunya."
"Aku selalu mengingat dia setiap saat, aku takut untuk melupakannya. Aku takut jika sampai usiaku benar-benar habis aku belum menemukannya-"
"Tidak!" Miky memotong kalimat Max, dia dengan matanya yang bergetar dengan jemari tangan rampingnya membingkai wajah Max.
"Usia tidak boleh dibicarakan seperti itu. Kau masih muda, untuk apa membicarakan kematian-"
"Aku masih muda, kau benar. Tapi tiga belas tahun aku mencari kakakku ke berbagai negara, dan aku sama sekali tak menemukannya. Aku takut walau aku mengelilingi dunia ini aku tak mampu menemukannya," ucap Max dengan menunduk, lalu bersamaan dengan itu air matanya jatuh menentes.
Max menangis.
"Aku sangat takut, aku takut tak lagi mampu bertemu dengannya, hiks..." tangis Max pecah, dia memeluk Miky saat itu juga, menangis dan membiarkan air matanya jatuh membasahi pundak kecil Miky.
"Seandainya Max tahu, Miky ada di hadapan Max saat ini," Miky mengelus punggung bergetar Max, dia mencoba untuk menenangkan adik kembarnya itu.
Suasana sore hari yang tenang di 0adamg rumput kali itu berlangsung seolah sangat lambat, lambat sekali hingga membuat Max dan Miky tak menyadari dua jam sudah berlalu. Langit di atas sudah mulai berubah warna menjadi jingga.
"Ah, maaf," Max yang tersadar segera melepaskan Miky dari pelukannya, dia mengusap air matanya dengan tangan.
"Pakai ini," Miky dengan tangannya sendiri menghapus air mata yang menodai pipi Max.
"Terima kasih, Kiky."
Miky mengangguk, "Max, jangan menangis seperti itu lagi."
"Memangnya kenapa?" entah mengapa kini Max merasa sangat, sangat nyaman berada dekat bersama pemuda di hadapannya.
"Orang yang kau tangisi pasti akan sangat bersedih jika tahu kau menangis karenanya," ucap Miky.
Max terdiam dan tertawa ringan, "aku bahkan sedikit takut, aku takut dia justru membenciku," suara Max memelan di ujung kalimatnya barusan.
"Membencimu?" beo Miky.
"Ya, aku melakukan hal gila padanya, aku tahu aku sudah menyakiti dia. Tapi kau tahu aku melakukan semua itu karena aku takut kehilangannya, aku takut dia pergi dariku, tapi yang terjadi setelah itu justru semakin buruk. Dia benar-benar pergi dan menghilang tanpa jejak, bukan hanya itu, kau tahu Kiky, sejak kakakku itu pergi dan seolah lenyap entah kemana keluargaku tak pernah bahagia, bahkan hingga detik ini Mommyku terbaring koma,"
Deg
"Mommy, Miky rindu Mommy..." Miky menekan perasaan di dadanya, matanya semakin memanas di saat Max mulai menceritakan kondisi Marie.
"Daddy juga menjadi seperti mayat hidup saat ini, dia selalu menemani Mom di rumah sakit." nada suara Max terdengar sangat dipenuhi oleh kesedihan.
Miky tak pernah mengira dia akan mendengar semua ini dari Max, semua kesedihan dan penderitaan ini ternyata tidak hanya dirasakan oleh Miky, namun Max dan keluarganya juga merasakan hal yang sama.
"Ini begitu berat bagiku, Kiky, aku sama sekali tak memiliki tempat untuk membagi bebanku,"
"Aku tak memiliki siapapun, aku tak memilikinya lagi,"
Tes
Tes
Tes
Cukup sudah.
Air mata Miky tak mampu lagi ia tahan, dengan menangis kini gantian Miky yang memeluk tubuh pemuda yang lebih besar darinya itu, "bagilah bebanmu kepadaku, aku mungkin bisa memahaminya. Aku tahu pasti sangat berat," lirih Miky.
Bukannya mereda, tangisan Max selama tiga belas tahun ini pecah, Max si dingin yang kejam menangis di pelukan seorang pemuda desa lemah.
"Shut... Tak apa, tenanglah Max," Miky mengelus punggung Max.
"Aku sangat takut tak bisa bertemu dengannya, ak-u takut sekali," sekali lagi Max mengutarakan rasa takutnya.
"Max, Miky memelukmu saat ini, jangan menangis seperti ini, Max..." Miky hanya mampu mengungkapkan semuanya di dalam hatinya.
"Kiky, bisakah kau berjanji satu hal?" Max bertanya di sela tangisannya.
"Ya," jawab Miky pelan.
"Aku tak memiliki siapapun untuk mengadu, tidak seorangpun, aku belum menemukan kakakku. Tapi aku begitu nyaman berbicara denganmu, aku tak tahu mengapa tapi aku merasa tenang saat menceritakan keluh kesahku padamu,"
"Ya, aku paham Max," Miky berucap lirih karena dia sedang mencoba menahan perasaannya.
"Berjanjilah untuk menjadi temanku, berjanjilah untuk ada saat aku membutuhkan pelukanmu seperti saat ini, berjanjilah bantu aku hingga aku menemukan kakakku, "
"Iya, aku berjanji kepadamu Max," jawab Miky.
"Aku berjanji untuk semuanya Max, sebagi Kiki dan bukan Miky," tambah Miky di dalam hatinya.
Senja itu berlalu, bahkan Max dan Miky masih dalam dunia merek sendiri.
Mereka tak menyadari jika ternyata selama ini Gidion berada tak jauh dari tempat Max dan Miky, Gidion memperhatikan dan mendengar hampir semua isi percakapan mereka.
Tangan Gidion mengepal, namun wajahnya masih ia coba untuk tak menampilkan emosi yang berlebihan.
"Cukup untuk hari ini," desis Gidion ya g melangkahkan kakinya mendekati dua orang di bawah pohon apel itu.
"Kiky!" panggil Gidion dengan keras.
Miky menoleh, dia menghapus air mataya dan melepaskan pelukan Max di tubuhnya.
"Hampir petang,ayo pulang."
"Aku pulang dulu Max, sampai jumpa,". ucap Miky dengan canggung.
Tanpa memperhatikan Max atau mempedulikan kehadiran pemuda itu, Gidion langsung menarik tangan Miky pergi dari sana dengan bayi domba yang Miky gendong.
Max mengamati Miky dan Gidion yang menjauh, Max tak mengerti bagaimana dia bisa menceritakan hampir seluruh bagian hidupnya kepada pemuda asing itu.
"Siapa kau sebenarnya Kiky?" gumam Max.
"Siapapun kau, itu tak akan merubah apapun, karena aku hanya menginginkan Miky, hanya dia," ucap Max yang kemudian pergi meninggalkan Padang rumput yang sudah gelap dengan kunang-kunang yang mengiri jalan Max pulang.