Sudah hari ketiga Max berada di desa kecil ini, namun dalam tiga hari ini tak pernah sekalipun Max bertemu lagi dengan pemuda berkulit putih berambut cokelat cerah yang ia temui sore itu.
Padahal Max selalu menanti di Padang rumput tempat pertemuannya dengan Miky.
Hal ituoun membuat Max, entah mengapa menjadi kesal dan emosinya naik turun. Ada perasaan di dalam hatinya yang menginginkan dia untuk bertemu dan mendengar suara merdu dari pemuda yang Max kenali sebagai Kiky.
Max masih tak menyerah, dia memang tak tahu tentang Kiky, maka dari itu Max akan menghabiskan harinya dengan duduk di bawah pohon apel, dia berharap hari ini Max dapat bertemu dengan si manis.
Kalian tahu? Sedikit banyak, Max sudah merasa nyaman dengan si manis, dia bahkan hampir menganggap jika si manis yang ia temui itu adalah kakak kembarnya Miky.
Namun tidak, Max masih meyakini jika kali ini hatinya salah, tidak mungkin jika Kiky adalah Miky.
Di saat Max sedang melamun dengan segala pikirannya yang kompleks, sebuah suara membuyarkan lamunan Max.
"Tuan Max?" sapa Joe yang berjalan tak jauh dari Max dengan membawa kawanan domba berbulu putih nan lebat.
Joe kemudian mendekat ke arah Max yang hanya terdiam dengan wajah dinginnya menyambut sapaan dari Joe barusan.
"Kukira kau sudah kembali ke Kristiansand ...," ucap Joe dengan mengelap beberapa butir keringat di pelipisnya.
"Belum."
Jawaban singkat yang Max berikan membuat Joe merasa sedikit canggung.
Pasalnya apa kalian tahu bagaimana cara Max mengucapkannya barusan? Tidak ya? Max memandang Joe dengan mata merahnya yang tajam, belum lagi ditambah dengan struktur tegas wajah Max yang membuat semua ekspresi yang terlihat di wajah Max sangat mengerikan dan mengintimidasi.
"Oh begitu, baiklah jika kau butuh sesuatu kau bisa memberitahukan padaku, Tuan."
Di saat Joe akan melangkah mendekati dombanya lagi, Max memanggilnya.
"Kau! Kemari!" Aucap Max dengan sedikit berteriak.
Joe sedikit merinding, namun ia tetap berbalik dan mendekati Max.
"I-ya?" jawab Joe dengan gelagapan.
"Di mana pemuda berambut cokelat dengan kulit putih yang bersamaku sore itu tinggal?" Max bertanya to the point.
"Apa yang kau maksud adalah adiknya Gidion?" tanya pria tua itu polos.
Sayang sekali, Joe belum tahu ada hubungan apa antara Max, Miky, dan Gidion yang namanya baru ia sebut barusan.
"Gidion?" gumam Max.
Deja Vu.
Ingatan Max membawanya jauh ketiga belas tahun yang lalu. Max mengingat jika dulu pernah ada seorang bernama Gidion yang seusia dengan dirinya dan Miky.
"Iya, Gidion dia pemuda pekerja keras. Dia hanya tinggal bersama adiknya, selama yang kutahu mereka tak memiliki keluarga." jawab Joe secara terang-terangan.
Pikiran Max kembali mengelana. Apa mungkin? Apa mungkin jika Gidion itu adalah orang yang sama dengan Gidion dalam ingatan Max?
Tapi bukankah Gidion yang Joe maksud, adalah seorang pemuda berkulit Tan yang memperkenalkan namanya sebagai Lioner?
Yang mana yang benar? tanya Max dalam batinya.
"Tidak, dia mengatakan jika namanya adalah Lioner," ucap Max yang tersadar jika beberapa hari lalu pemuda berkulit Tan itu memperkenalkan namanya sebagai Lioner dan bukan Gidion.
"Lioner?" raut wajah binggung tercetak jelas di wajah tua Joe.
"Dia bukan Lioner. Kau mungkin salah Tuan. Dia Gidion, dan adiknya Miky--"
Deg
Deg
Deg
"Miky?!" batin Max berteriak disertai dengan degup jantungnya yang sangat keras.
"Apa?!" Max memotong kalimat Joe.
"Katakan sekali lagi?!" Max menarik kerah pakaian Joe.
Mata Max yang merah dan tajam semakin terlihat menakutkan, apalagi dengan aura mengintimidasi yang sarat akan emosi dan amarah, membuat Joe semakin bergetar.
"Gi-dion dan adiknya, Miky," ucap Joe lagi dengan suara bergetar.
"Sialan!" ucap Max, dia kemudian melepaskan cengkraman tangannya dari kerah baju Joe, hingga membuat si tua itu jatuh.
Max mengepalkan tangannya, dia sangat marah. Bahkan urat-urat di lehernya nampak terlihat sangat jelas.
Kali ini pasti tak mungkin salah. Selama ini bahkan di awal pertemuan Max dan Kiky. Max merasa nyaman dan itu semua tak lain dan tak bukan adalah karena sebenarnya Kiky adalah Miky.
Pikiran negatif mulai masuk ke dalam pikiran Max. Bagaimana bisa kakaknya nampak berbeda? Mata heterochromia itu menjadi cokelat cerah, rambut silvernya pun menjadi cokelat. Ada apa itu? Dan lagi tentang tanda yang Max buat. Max sangat yakin jika tanda itu tak akan bisa dihapus. Itu permanen!
"Kau menyembunyikan dirimu dariku kak? Sungguh?!" batin Max yang mulai menarik kesimpulan.
Kali ini Max bertekad, dia akan menemukan orang paling berharga dalam hidupnya. Dia akan dan dia harus, maka semuanya akan terwujud. Tunggulah sebentar lagi dan nantikan Max kejam yang kembali seperti tiga belas tahun lalu, namun dalam versi yag jauh lebih kuat.
"Kak Miky, tunggu aku!" desis Max. Dia memandang sinis kepada Joe yang masih jatuh di tanah kering itu.
"Bawa aku ke tempat mereka?" ucap Max dengan nada yang akan membuat siapa saja merasa takut akan perintah mutlaknya.
Dengan kaku dan terbata-bata Joe mengangguk, "ay-o,"
Joe membawa Max ke tempat Miky berada, tanpa mengetahui apapun. Tanpa ada yang tahu apa yang mungkin Max lakukan setelah ia mendapatkan Mikynya sebentar lagi.
"Akhirnya, aku tahu aku terlalu bodoh untuk mengenalimu di awal pertemuan kita, kak. Tapi kali ini aku yakin, aku akan menemukan dirimu."
.
.
Di lain tempat Arabella sedang dibuat panik akibat Max yang sama sekali tak mengangkat telpon darinya, di tambah lagi dengan acara yang harus mereka hadiri.
Mau ditaruh di mana muka Arabella?!
Calon suaminya meninggalkannya di Norwegia untuk berjalan-jalan?! Apa itu akan masuk akal?!
"Seharusnya aku tahu ini akan terjadi! Kak Max kau membuatku dalam masalah!" Arabella menjatuhkan tubuhnya di sebuah sofa besar yang mewah. Dia memijat keningnya yang berkedut.
"Tenanglah Nona," sentuhan lembut dari tangan Lia mendarat dengan sempurna di pundak Arabell.
Dua orang gadis cantik itu saling menatap.
"Lia," Arabella tanpa diduga menjatuhkan kepalanya di dada Lia.
Dia menangis dalam pelukan Lia. Tangisan yang sangat jarang Arabell ungkapkan pada siapapun.
"Lia, hiks...." Lia paham dengan kondisi dan situasi yang harus Arabella hadapi.
Lia tahu seberapa jahat dan kejam takdir Arabella. Dan Lia juga tahu pengorbanan sebanyak apa yang sudah dilakukan Arabella untuk keluarganya.
Tangan dengan jemari panjang nan ramping milik Lia membelai lembut rambut indah Arabella, dia tak akan mengatakan apapun. Tidak, Lia hanya akan memberikan dukungan secara mental dan sentuhan lembut kepada Arabella.
"Aku, aku lelah Lia ... mereka semua tak tahu rasanya, mereka semua tak merasakan sakitku. Aku, aku lelah untuk selalu baik-baik saja...." semua itu hanya mampu Arabella ungkapkan kepada Lia.
Arabella tak tahu, tapi di saat dia mengatakan kesedihan, dan bebannya kepada Lia. Arabella merasakan sedikit banyak dari rasa sakit dan kesedihan itu menguap. Arabella merasa jika Lia mampu menetralkan kembali emosinya.
"Lia, katakan sesuatu!" Arabella mendongkrak dan menatap wajah tirus Lia.
Lia hanya diam dengan mata sayunya dengan tangan yang masih membelai rambut Arabell.
"Apa yang harus aku katakan Nona?" tanya Lia.
"Aku bahkan tak berhak untuk berbicara padamu, aku hanya pelayan--"
"Tidak!" Arabella memotong ucapan Lia dia membekap bibir Lia dengan kedua tangannya sendiri.
"Kau bukan pelayan. Aku tak ingin mendengar itu darimu, Lia ...." kemudian Arabella memilih untuk mendekap lebih erat tubuh Lia.
"Semua yang tak sejalur akan berakhir dengan kepedihan, Nona. Aku tak ingin kau selalu menderita." ucap Lia yang memiliki cukup banyak arti di dalamnya. Hanya jika kalian paham.
"Apa kau ingin mendengarkan aku?" tanya Lia dengan pelan. Arabella mengangguk namun tak melepaskan pelukannya.
"Batalkan pertunanganmu dengan Tuan Max,"
Deg
Deg
Deg
"Aku tak bisa, Lia ...," jawab Arabella dengan tak yakin.
Lia tersenyum, dia tahu jika Arabella pasti akan mengatakan itu.
"Apa kau mulai mencintai Tuan Max, Nona Ara?"