"Apa kalian berdua yakin, Nak?"
Sarah, wanita yang menua dengan cantik itu masih tak percaya dengan apa yang Miky katakan.
Miky saat itu sedang berada di rumah Sarah guna berpamitan kepada Sarah. Miky tahu jika Sarah pasti juga akan sangat sedih atas kabar yang begitu tiba-tiba ini, namun Miky juga tak bisa berbuat apapun. Gidion yang memutuskan.
Miky hanya akan mengikuti semua keputusan dari orang yang sudah menyelamatkan nyawanya dan juga merawat Miky dalam tiga belas tahun pelarian Miky dari keluarganya.
"Bunda, Miky dan Ion akan pergi, tapi jika Bunda menangis seperti ini, rasanya akan sangat sulit bagi Miky untuk pergi," ucap Miky yang matanya sudah berkaca-kaca.
"Miky, kenapa kalian harus pergi? Ini sangat tiba-tiba, sayang. Ada masalah apa memangnya?" tanya Sarah yang masih tak memahami apa yang terjadi.
"Ion yang membuat keputusan, Bunda. Miky tak memiliki hak untuk menolak Keputusannya."
"Gidion?" Sarah menghapus air matanya. Dia lalu bangkit dan berdiri seraya melepaskan tangan Miky.
"Di mana dia? Bunda akan berbicara kepadanya."
Dapat Miky lihat jika Sarah nampak menahan emosinya. Sarah merasa marah atas apa yang akan Gidion putuskan.
Miky menggeleng, dia lalu ikut berdiri dan memeluk tubuh Sarah dengan erat. Selama tiga belas tahun ini Sarah adalah sosok wanita yang sudah Miky anggap seperti Bundanya sendiri. Miky sangat menyayangi Sarah.
Dia tak ingin jika Sarah merasa sedih, kecewa, atau bahkan membenci Miky dan Gidion.
"Bunda, Ion tak salah. Ion bilang ini semua demi kebaikan kita, Ion tidak mungkin mengambil keputusan yang akan membuat Miky sedih dan terluka--"
"Lalu bagaimana dengan Bunda? Apa kalian akan tega meninggalkan Bunda?" tanya Sarah yang sudah memotong kalimat Miky.
Miky terdiam, dia tak memiliki jawaban atas pertanyaan dari Sarah.
"Bukan seperti itu, Bunda," ucap Miky dengan sangat pelan.
"Lalu apa? Apa Miky?!" tanya Sarah yang sudah berada di puncak emosinya.
Baik Sarah ataupun Miky semakin tak kuasa untuk menahan emosi dan perasaan sedih yang sedang menyelimuti hati mereka.
"Apa kalian Setega ini kepada Bunda? Sungguh, Miky?" Sarah membingkai wajah Miky yang sudah memerah karena tangisan. Dia mencari kebenaran dan ketulusan dari mata Miky yang tak memakai kontak lensa.
Miky menggeleng, dia menyentuh tangan Sarah yang masih berada di wajahnya.
"Mana bisa seperti itu, Bunda?"
"Miky dan Ion sangat menyayangi Bunda. Kami menganggap Bunda sebagai Ibu kami."
Sarah memejamkan matanya, air mata penuh kesedihan masih saja merembes keluar dari balik kelopak mata itu. Sarah tak ingin berpisah dengan Miky dan Gidion yang sudah menemaninya selama tiga belas tahun ini. Sarah tak bisa.
"Bunda jangan menangis," jemari kecil Miky mengusap pelan butir-butir air mata yang Sarah keluarkan.
"Bunda, kita masih bisa tetap berkomunikasi. Nanti Miky akan membujuk Ion untuk meminjamkan ponselnya kepada Miky. Sehingga nanti Miky akan menelpon unda setiap harinya."
Sarah dengan kekeh tak ingin semua perpisahan ini terjadi. Sarah merasa ada yang benar-benar salah dan janggal di sini. Karena sebelum hari ini tak ada masalah apapun yang membuat Gidion gelisah dan takut seperti ini hingga membuat pemuda Tan itu mengambil sebuah keputusan yang besar dalam sekejap.
Sarah membawa Miky untuk kembali duduk, dia menghapus air mata Miky dengan jemari lentiknya.
Cup
Sarah mengecup dahi Miky dengan penuh kasih sayang, ditatapnya lagi mata indah yang dimiliki Miky.
"Jujurlah Miky, ada apa sebenarnya? Gidion tak akan seceroboh ini dalam memutuskan segalanya."
Miky nampak ragu untuk mengucapkan segalanya. Miky tak ingin menambah beban pikiran Sarah dengan mengatakan yang sebenarnya.
"Miky?! Jangan diam saja, Nak!" Sarah sedang berusaha membuat Miky menceritakan segalanya.
"Sebenarnya--"
"Max sudah kembali, Bunda."
Itu bukan suara Miky, tapi Gidion. Pemuda berkulit tan itu berdiri di ambang pintu dengan dua buah tas jinjing dan ransel yang ia gendong di pundaknya.
"Max sudah menemukan Miky," ucapnya lagi dengan lirih.
Langkah kaki Gidion membawanya berjalan mendekati Sarah dan Miky yang menangis dengan berpelukan di depan perapian.
"Sudah tak ada lagi keamanan di tempat ini. Cepat atau lambat Max bisa saja mengetahui tentang Miky."
Gidion memilih untuk duduk di samping Miky, Mikypun langsung masuk ke dalam pelukan Gidion. Miky melanjutkan tangisannya di sana.
"Hiks ... Ion ...." Miky semakin merapatkan wajahnya kepada dada Gidion.
Gidion yang paham langsung mengusap rambut Miky dengan penuh kasih sayang. Dia tahu betul keputusannya saat ini akan menyakiti hati Miky, da mungkin juga Sarah.
"Bagaimana bisa monster itu menemukan kalian?!" Sarah bertanya dengan derai air matanya.
Monster itu?
Bagaimana Sarah bisa tahu?
Tentu saja Sarah tahu, bahkan secara lengkap dan detail.
"Hiks .... " tangisan Miky mulai kembali terdengar menjadi lebih kuat.
"Bunda! Max bukanlah monster! Hiks ...."
"Max bukan monster!" teriak Miky di hadapan Sarah.
Sarah sampai terkejut di buatnya, ini adalah kali pertamanya Miky berteriak marah dengan tangisan di depan wajah Sarah secara langsung.
"Miky?" Sarah memegang dadanya yang merasa tersentak kaget. Dia kemudian menjatuhkan dirinya ke kursi dan menutup wajahnya yang tengah menangis dengan segala emosi yang ia rasakan kala itu.
"Hiks ... hiks."
Miky justru semakin menangis, dia tak bermaksud untuk membentak Sarah seperti saat ini, semua yang ia katakan adalah spontanitas.
"Bun-da, hiks ... maafkan Miky. Hiks ... hiks."
Di saat Miky ingin menyentuh tangan Sarah, wanita itu dengan sengaja menghindari tangan Miky. Sarah dengan air matanya menatap Miky dengan penuh kekecewaan.
Walau Sarah bukanlah ibu yang telah melahirkan Miky, namun kalian harus tahu hal ini. Sarah adalah orang yang merawat Miky dan Gidion selama tiga belas tahun ini. Sarah yang menyelamatkan dua anak kecil malang berusia lima tahun yang saat itu mencoba untuk lari dan bersembunyi dari rumah dan keluarga monster mereka.
"Bun-da?"
Tangan Miky masih berada di udara, tangannya seolah merasa mati rasa, karena Sarah menolak sentuhannya.
"Kalian ingin pergi, kan?!" tanya Sarah dengan menatap Miky dan Gidion secara bergantian.
Sayangnya kedua pemuda itu hanya membisu. Mereka benar-benar merasa bersalah kepada Sarah.
"Gidion, kau sudah besar sekarang, kan? Kau sudah bisa menghasilkan uang dengan tenagamu sendiri? Pergilah, kalian tak lagi membutuhkan aku."
Sarah membalikan badannya sehingga kini wanita itu berdiri dengan membelakangi Miky dan Gidion. Punggung sempit Sarah nampak bergetar di saat ia mengatakan semua hal itu.
"Miky, kau lebih menyayangi keluarga gilamu, dan juga Max, kan? walaupun kaau tahu jika Max adalah monst--"
"Tidak Bunda! Miky mohon, jangan ucapkan lagi. Max bukan monster, dia bukan ... bukan."
Biar bagaimanapun tetap saja Miky tak bisa menerima di saat ada seseorang yang menganggap adik kembarnya sebagai monster. Walau sejahat, dan segila apapun Max kepada Miky, namun yang Miky tahu dan pahami adalah semua kasih sayang dan perlindungan yang Max berikan kepadanya dulu adalah yang terbaik. Miky tak bisa berdiam diri jika itu menyangkut Max yang dijelaskan seperti saat ini.
"Pergilah kalian."
Sarah berbalik dengan wajahnya yang kini terlihat datar dan tanpa ekspresi. Wajah cantik wanita itu kini terlihat tak bernyawa.
"Bunda, maaf--"
"Pergi!"
Miky dan Gidion tersentak karena Sarah yang berteriak bahkan hingga urat-urat di leher jenjangnya terlihat dengan sagat jelas.
"Bunda ....."
"Pergilah dan semoga kalian bahagia. Pergilah dan jangan pernah masuk lagi ke dalam kehidupanku. Miky ... Gidion."
"Tidak, Bunda jangan seperti in--"
"Pergi!!"